Pada saatnya...
Aku akan kembali
Membawa mimpi yang pernah aku kisahkan
Mimpi yang membuatmu jenuh....
Sampaikan salamku pada mimpimu yang tak pernah membuatku jenuh saat engkau kisahkan
Mimpimu yang sudah engkau gapai..
Entalah nanti...
Apakah mimpiku dan mimpimu bisa mengukir bianglala (Milla Ate)
Aku
mengawali coretan ini dengan sangat hati-hati menorehkan huruf demi
huruf menjadi kata, kemudian kata-kata itu aku rangkai menjadi kalimat
yang mudah engkau mengerti. Tulisan ini sengaja aku susun dengan bahasa
yang sangat sederhana sepadan dengan kemampuanku yang standar. Harapan
besar yang mendorong aku menulis kisah ini adalah sebagai jawaban atas
sikapku yang banyak membisu dan liar dalam kebersamaan kita. Yang paling
penting, jika tiba waktunya sang pemilik hayat memanggilku
keharibaanNya, engkau bisa membaca tulisan ini lalu menerjemahkan dengan
penuh kasih dan pengertian atas sikapku yang mungkin tak sempurna
selama hidup bersamamu. Aku juga hendak mengisahkan harapan terbesarku
tentang kita, berharap engkau dapat mewujudkan cita-citaku jika
seandainya belum tercapai setelah kematianku.
Sulit bagiku
mengartikan kesempurnaan dalam cinta. Kesulitan itu membuatku kaku
untuk bersikap selayaknya suami idaman para istri sejati. Seluruh
hidupku aku serahkan secara total untukmu dan tentu juga denganmu.
Maksudku, ketika kerap kau temukan sikapku yang jarang romantis dalam
keseharian kita, itu bukan berarti aku tidak mencintaimu. Itu memang
sikapku. Cinta soal rasa. Rasa itu soal hati. Jadi, bukan soal sikap.
Walau orang sering menafsirkan bahwa cinta yang tulus meski dicerminkan
dengan sikap.
Ada kekhawatiran yang mendalam
bahwa intensitas rasamu akan menurun menyaksikan sikapku yang tak pernah
mencerminkan kasih sayang. Aku lebih banyak diam. Aku lebih banyak
menghabiskan waktu melakukan hal-hal yang sulit engkau pahami.
Keseharianku sibuk dengan membaca, mencari teman diskusi, berkelana,
menulis dan mementingkan urusan orang banyak. Sehingga jarang sekali
waktu untuk bercumbu mesra membelaimu.
Aku
tahu ada tanya dalam benakmu tentang sikapku yang tidak mencerminkan
rasa. Pertanyaan tentang tuluskah aku menjadikanmu tulang rusukku? Yah,
aku selalu dihantui oleh fikiran tentang tanyamu yang aku tafsir
sepihak. Melalui tulisan ini aku akan menjawabnya.Untuk menjawabnyapun
aku bingung harus memulainya darimana agar meyakinkanmu. Karena yang aku
mau, cintamu tetap seperti semula kita jumpa. Tak kurang sesuatu apapun
hingga mungkin jika Tuhan mengijinkan kau menjadi ratu bagiku kelak
disuatu masa yang kekal.
Tapi, begini saja.
Bagaimana kalau aku mengawali ceritanya saat awal kita jumpa lalu
menguraikan semua sikapku ketika kita mengikat hubungan secara resmi
hingga saat sekarang ini? okelah…, aku menganggapnya kau sepakat meski
saat menulis catatan ini aku tak disampingmu.
Kau dan aku tau persis kapan dan seperti apa awalnya kita jumpa. Aku
rasa tidak penting untuk menyebut waktunya. Ada hal yang lebih penting
yang perlu dikenang tentang awal pertemuan kita menurutku. Yaitu,
romantisme yang teramat sangat menjanjikan. Indah memang kan sayang? Aku
jadi terharu dan tersenyum sendiri mengingatnya. Hehehe….iyah…sangat
indah. Rasaku dan rasamu seutuhnya saling memadu menyulam kebahagiaan
yang amat sangat. Akh, tak usah dilanjutkan. Intinya kaulah yang lebih
awal menembakku tanpa kau sadari juga bahwa aku begitu besar menaruh
rasa padamu saat pertama melihatmu. Hanya saja aku telat
mengungkapkannya dan kau menyalibnya dengan mengungkapkan rasamu lebih
awal.
Sepanjang perjalanan hubungan lajang
kita sudah kerap diwarnai problematika. Hari demi hari kita lalui dengan
air mata, tekanan bhatin dan juga fisik. Ruang seakan redup. Semua
tentang indah jarang membingkai dan bahkan nyaris sirna. Satu hal yang
tak pernah redup. Ketegaran kita untuk bertahan dalam terpaan kehidupan
yang begitu keras. Sangat keras. Tak perlu jua aku uraikan hal itu
disini. Cukup kau dan aku yang tahu lalu memetik ibrah dari rentetan
kisah yang memilukan itu. Aku percaya itulah cara Tuhan mengajari kita
tentang makna kehidupan.
Satu hal yang aku
syukuri disetiap sujud simpuhku sayang. Bahwa karirku mengalir tanpa ada
hambatan meski kita kerap menghadapi kelamnya hidup yang sengaja kita
ciptakan. Pencarian diriku tak pernah berhenti dan bahkan kau terus
menyulut semangatku. Bagiku deretan kisah kita juga merupakan bagian
dari pendewasaan diri. Suatu proses pendidikan diri yang sangan efektif.
Kuharap kau juga meyakininya sebagai cara Tuhan mendidik kita tanpa
harus mengutuk masa lalu. Disanalah indah itu sesungguhnya agar kita
terus bersyukur. Hal teristimewa sebagai catatan alamat meretas masa
depan yang gemilang dan madani.
Waktu
merangkak menggiring kita kejenjang pernikahan. Coba perhatikan setiap
pohon yang beranjak tinggi membesar itu sayang. Orang bijak kerap
menjadikan Pohon sebagai perumpamaan. Semakin tinggi dan besar sebatang
pohon, semakin besar pula angin menerpanya. Sebuah petuah yang syarat
akan makna filosofis. Sama seperti pertumbuhan cinta kita. Terpaan
masalah terus mendera. Air mata, beban bathin dan raga belum berakhir.
Tanggung jawabpun semakin menantang saat kita dianugerahi si putry bulan
suci, NAFISAH PUTRY RAMADHANI. Putry yang lucu dan menggemaskan. Lahir
tepat dibulan Ramadhan saat hamba Tuhan hendak sujud sholat Jum’at.
Bulan dan hari yang penuh berkah. Kau dan aku menyebutnya sebagai Kado Terindah Dari Tuhan. Lahir disaat musim yang mencangkok gairah hidup. Memantik kembali semangat kita seperti sedia kala.
Cukup kau dan aku yang tahu tentang alur perjalanan hidup kita. Aku tak
perlu mengumbarnya disini. Melalui tulisan ini aku mengajakmu
berselancar dalam lautan hikmah yang terbentang oleh kisah masa silam.
Ibroh itu yang penting dipetik. Faktualitas ceritanya cukup dikenang.
Kekuatan untuk tegar dan sabar menghadapi gelombang kehidupan yang
hingga kini masih kita miliki adalah anugerah yang tentunya kita
syukuri.
Aku rasa kita sudah memasuki segment
usia dimana seharusnya kita dituntut untuk dewasa menyikapi hidup.
Tanggung jawab mewajibkan kita untuk bijak. Lingkungan sosial kita bukan
lingkungan kekanak-kanakan lagi. kita telah melewati fase hidup itu.
kita harus menjadi patron dilingkungan sosial. Setidakya diawali dari
lingkup keluarga. Menjadi uswatun khasannah bagi sang buah hati.
Dari beberapa teori sosial yang aku pahami dengan daya analisa yang
dangkal, menempatkan lingkungan keluarga sebagai unsur utama dalam
membangun masyarakat. Keluarga merupakan unsur terkecil dari masyarakat.
Pengaruh pembinaan keluarga berefek pada terwujudnya masyarakat yang
baik. Aku mulai menyulam ilusi tentang keluarga kita sayang. Suatu
nuansa keluarga yang aku idam-idamkan dalam hidup ini. Bingkai keluarga
yang merampok perhatianku selama ini. Itulah sebabnya kenapa aku lebih
banyak diam dan menyibukkan diri diluar rumah. Aku sedang sibuk
merangkai serpihan pengalaman dan pengetahuan untuk mewujudkan harapanku
itu. Keluarga yang aku namai Keluarga Madani. Jadi,
sampai disini arti diam dan sibukku membaca, menulis, diskusi serta
berkelana selama ini terjawab sudah. Aku bukan tidak mencintaimu.
Hidupku seutuhnya untukmu dan anak kita.
Seperti apakah persisnya keluarga madani yang aku maksud itu? tentunya
kau bertanya. Keluarga madani yang aku idamkan itu seperti ini sayang.
Kita bangun keluarga kita dengan nuansa masjid dan sekolah. Aku berilusi
bagaimana jika suasana rumah kita seperti masjid yang pengurusnya juga
adalah kita. Kita akan tekun beribadah berdasarkan tuntutan agama. Semua
persoalan agama kita pelajari bertiga(aku, kau dan si kado terindah
dari Tuhan). Sesekali kita bisa undang ustadz atau ulama untuk
menyampaikan ceramah atau tausiah dirumah kita. Sekalipun kita harus
bayar mahal untuk mendapatkan ilmu agama dari mereka. Dengan demikian,
keluarga kita akan menjadi keluarga yang religius. Keluarga yang
memancarkan nilai-nilai Ilhiah dilingkungan tempat tinggal.
Selain itu, hal yang sulit aku tinggalkan dalam hidup ini adalah
membaca, diskusi dan menulis sayang. Kau tau sendirikan? Selama ini aku
menghabiskan waktu untuk itu diluar maupun di rumah. Kenapa kita tidak
jadikan saja rumah kita ibarat suatu lembaga sekolah atau ruang
komunitas intelektual ? Yah, pengelola dan muridnya adalah kita-kita
juga. Kita akan punya perpustakaan sendiri, ruang Informasi dan
Tekhnologi sendiri, ruang belajar atau diskusi dan berbagai fasilitas
pendidikan yang memadai untuk menunjang terbentuknya keluarga yang
Ilmiah atau keluarga intelektual. Saya membayangi seandainya itu bisa
kita wujudkan, aku akan tetap dirumah saja sayang. Kau tidak akan
melihat aku diam dan liar seperti selama ini. Kita akan melahirkan
penulis-penulis handal, pembicara handal dan ilmuan handal yang tentunya
dari kalangan kita sendiri. Kita akan adakan pelatihan-pelatihan khusus
terhadap segala bidang. Banyak aktor-aktor teladan dan intelektual yang
aku kenal akan aku hadirkan untuk mengamalkan ilmu mereka. Anak kita
akan terkonstruksi menjadi pribadi yang luar biasa. Waktu kita tidak
akan terbuang sia-sia.
Sekali lagi untuk kau
pahami sayang. Itulah arti diam dan pengelanaanku selama ini. Aku sedang
mempersiapkan diri untuk membangun keluarga madani yang menyita
imajinasiku selama ini. Tiada keindahan dan kedamaian bagiku di dunia
ini selain berada pada situasi dan kondisi seperti itu sayang. Semoga
Tuhan mengijabah do,aku dalam ikhtiar mewujudkan keluarga madaniku. Wallahualam Bissahwab…!
Kamar Kost, 24 Januari 2015