Sabtu, 24 Januari 2015

KELUARGA MADANI(Tentang Mimpi Bersama Hikmah & Nafisah)

Pada saatnya...
Aku akan kembali
Membawa mimpi yang pernah aku kisahkan
Mimpi yang membuatmu jenuh....

Sampaikan salamku pada mimpimu yang tak pernah membuatku jenuh saat engkau kisahkan
Mimpimu yang sudah engkau gapai..
Entalah nanti...
Apakah mimpiku dan mimpimu bisa mengukir bianglala (Milla Ate) 


Aku mengawali coretan ini dengan sangat hati-hati menorehkan huruf demi huruf  menjadi kata, kemudian kata-kata itu aku rangkai menjadi kalimat yang mudah engkau mengerti. Tulisan ini sengaja aku susun dengan bahasa yang sangat sederhana sepadan dengan kemampuanku yang standar. Harapan besar yang mendorong aku menulis kisah ini adalah sebagai jawaban atas sikapku yang banyak membisu dan liar dalam kebersamaan kita. Yang paling penting,  jika tiba waktunya sang pemilik hayat memanggilku keharibaanNya, engkau bisa membaca tulisan ini lalu menerjemahkan dengan penuh kasih dan pengertian atas sikapku yang mungkin tak  sempurna selama hidup bersamamu. Aku juga hendak mengisahkan harapan terbesarku tentang kita, berharap engkau dapat mewujudkan cita-citaku jika seandainya belum tercapai setelah kematianku.

Sulit bagiku mengartikan kesempurnaan dalam cinta. Kesulitan itu membuatku kaku untuk bersikap selayaknya  suami idaman para  istri sejati. Seluruh hidupku aku serahkan secara total untukmu dan tentu juga denganmu. Maksudku, ketika kerap kau temukan sikapku yang jarang romantis dalam keseharian kita, itu bukan berarti aku tidak mencintaimu. Itu memang sikapku. Cinta soal rasa. Rasa itu soal hati. Jadi, bukan soal sikap. Walau orang sering menafsirkan bahwa cinta yang tulus meski dicerminkan dengan sikap.

Ada kekhawatiran yang mendalam bahwa intensitas rasamu akan menurun menyaksikan sikapku yang tak pernah mencerminkan kasih sayang. Aku lebih banyak diam. Aku  lebih banyak menghabiskan waktu melakukan hal-hal yang sulit engkau pahami. Keseharianku sibuk dengan membaca, mencari teman diskusi, berkelana, menulis dan mementingkan urusan orang banyak. Sehingga jarang sekali waktu untuk bercumbu mesra membelaimu.

Aku tahu ada tanya dalam benakmu tentang sikapku yang tidak mencerminkan rasa. Pertanyaan tentang tuluskah aku menjadikanmu tulang rusukku? Yah, aku selalu dihantui oleh fikiran tentang tanyamu yang aku tafsir sepihak. Melalui tulisan ini aku akan menjawabnya.Untuk menjawabnyapun aku bingung harus memulainya darimana agar meyakinkanmu. Karena yang aku mau, cintamu tetap seperti semula kita jumpa. Tak kurang sesuatu apapun hingga mungkin jika Tuhan mengijinkan kau menjadi ratu bagiku kelak disuatu masa yang kekal.

Tapi, begini saja. Bagaimana kalau aku mengawali ceritanya saat awal kita jumpa lalu menguraikan semua sikapku ketika kita mengikat hubungan secara resmi hingga saat sekarang ini? okelah…, aku menganggapnya kau sepakat meski saat menulis catatan ini aku tak disampingmu.

Kau dan aku tau persis kapan dan seperti apa awalnya kita jumpa. Aku rasa tidak penting untuk menyebut waktunya. Ada hal yang lebih penting yang perlu dikenang tentang awal pertemuan kita menurutku. Yaitu, romantisme yang teramat sangat menjanjikan. Indah memang kan sayang? Aku jadi terharu dan tersenyum sendiri mengingatnya. Hehehe….iyah…sangat indah. Rasaku dan rasamu seutuhnya saling memadu menyulam kebahagiaan yang amat sangat. Akh, tak usah dilanjutkan. Intinya kaulah yang lebih awal menembakku tanpa kau sadari juga bahwa aku begitu besar menaruh rasa padamu saat pertama melihatmu. Hanya saja aku telat mengungkapkannya dan kau menyalibnya dengan mengungkapkan rasamu lebih awal.

Sepanjang perjalanan hubungan lajang kita sudah kerap diwarnai problematika. Hari demi hari kita lalui dengan air mata, tekanan bhatin dan juga fisik. Ruang seakan redup. Semua tentang indah jarang membingkai dan bahkan nyaris sirna. Satu hal yang tak pernah redup. Ketegaran kita untuk bertahan dalam terpaan kehidupan yang begitu keras. Sangat keras. Tak perlu jua aku uraikan hal itu disini. Cukup kau dan aku yang tahu lalu memetik ibrah dari rentetan kisah yang memilukan itu. Aku percaya itulah cara Tuhan mengajari kita tentang makna kehidupan.

Satu hal yang aku syukuri disetiap sujud simpuhku sayang. Bahwa karirku mengalir tanpa ada hambatan meski kita kerap menghadapi kelamnya hidup yang sengaja kita ciptakan. Pencarian diriku tak pernah berhenti dan bahkan kau terus menyulut semangatku. Bagiku deretan kisah kita juga merupakan bagian dari pendewasaan diri. Suatu proses pendidikan diri yang sangan efektif. Kuharap kau juga meyakininya sebagai cara Tuhan mendidik kita tanpa harus mengutuk masa lalu. Disanalah indah itu sesungguhnya agar kita terus bersyukur. Hal teristimewa sebagai catatan alamat meretas masa depan yang gemilang dan madani.

Waktu merangkak menggiring kita kejenjang pernikahan.  Coba perhatikan setiap pohon yang beranjak tinggi membesar itu sayang. Orang bijak kerap menjadikan Pohon sebagai perumpamaan. Semakin tinggi dan besar sebatang pohon, semakin besar pula angin menerpanya. Sebuah petuah yang syarat akan makna filosofis. Sama seperti pertumbuhan cinta kita. Terpaan masalah terus mendera. Air mata, beban bathin dan raga belum berakhir. Tanggung jawabpun semakin menantang saat kita dianugerahi si putry bulan suci, NAFISAH PUTRY RAMADHANI. Putry yang lucu dan menggemaskan. Lahir tepat dibulan Ramadhan saat hamba Tuhan hendak sujud sholat Jum’at. Bulan dan hari yang penuh berkah. Kau dan aku menyebutnya sebagai Kado Terindah Dari Tuhan. Lahir disaat musim yang mencangkok gairah hidup. Memantik kembali semangat kita seperti sedia kala.

Cukup kau dan aku yang tahu tentang alur perjalanan hidup kita. Aku tak perlu mengumbarnya disini. Melalui tulisan ini aku mengajakmu berselancar dalam lautan hikmah yang terbentang oleh kisah masa silam. Ibroh itu yang penting dipetik. Faktualitas ceritanya cukup dikenang. Kekuatan untuk tegar dan sabar menghadapi gelombang kehidupan yang hingga kini masih kita miliki adalah anugerah yang tentunya kita syukuri.

Aku rasa kita sudah memasuki segment usia dimana seharusnya kita dituntut untuk dewasa menyikapi hidup. Tanggung jawab mewajibkan kita untuk bijak. Lingkungan sosial kita bukan lingkungan kekanak-kanakan lagi. kita telah melewati fase hidup itu. kita harus menjadi patron dilingkungan sosial. Setidakya diawali dari lingkup keluarga. Menjadi uswatun khasannah bagi sang buah hati.

Dari beberapa teori sosial yang aku pahami dengan daya analisa yang dangkal, menempatkan lingkungan keluarga sebagai unsur utama dalam membangun masyarakat. Keluarga merupakan unsur terkecil dari masyarakat. Pengaruh pembinaan keluarga berefek pada terwujudnya masyarakat yang baik. Aku mulai menyulam ilusi tentang keluarga kita sayang.  Suatu nuansa keluarga yang aku idam-idamkan dalam hidup ini. Bingkai keluarga yang merampok perhatianku selama ini. Itulah sebabnya kenapa aku lebih banyak diam dan menyibukkan diri diluar rumah. Aku sedang sibuk merangkai serpihan pengalaman dan pengetahuan untuk mewujudkan harapanku itu. Keluarga yang aku namai Keluarga Madani. Jadi, sampai disini arti diam dan sibukku membaca, menulis, diskusi serta berkelana selama ini terjawab sudah. Aku bukan tidak mencintaimu. Hidupku seutuhnya untukmu dan anak kita.

Seperti apakah persisnya keluarga madani yang aku maksud itu? tentunya kau bertanya. Keluarga madani yang aku idamkan itu seperti ini sayang. Kita bangun keluarga kita dengan nuansa masjid dan sekolah. Aku berilusi bagaimana jika suasana rumah kita seperti masjid yang pengurusnya juga adalah kita. Kita akan tekun beribadah berdasarkan tuntutan agama. Semua persoalan agama kita pelajari bertiga(aku, kau dan si kado terindah dari Tuhan). Sesekali kita bisa undang ustadz atau ulama untuk menyampaikan ceramah atau tausiah dirumah kita. Sekalipun kita harus bayar mahal untuk mendapatkan ilmu agama dari mereka. Dengan demikian, keluarga kita akan menjadi keluarga yang religius. Keluarga yang memancarkan nilai-nilai Ilhiah dilingkungan tempat tinggal.

Selain itu, hal yang sulit aku tinggalkan dalam hidup ini adalah membaca, diskusi dan menulis sayang. Kau tau sendirikan? Selama ini aku menghabiskan waktu untuk itu diluar maupun di rumah.  Kenapa kita tidak jadikan saja rumah kita ibarat suatu lembaga sekolah atau ruang komunitas intelektual ? Yah, pengelola dan muridnya adalah kita-kita juga. Kita akan punya perpustakaan sendiri, ruang Informasi dan Tekhnologi sendiri, ruang belajar atau diskusi dan berbagai fasilitas pendidikan yang memadai untuk menunjang terbentuknya keluarga yang Ilmiah atau keluarga intelektual. Saya membayangi seandainya itu bisa kita wujudkan, aku akan tetap dirumah saja sayang. Kau tidak akan melihat aku diam dan liar seperti selama ini. Kita akan melahirkan penulis-penulis handal, pembicara handal dan ilmuan handal yang tentunya dari kalangan kita sendiri. Kita akan adakan pelatihan-pelatihan khusus terhadap segala bidang. Banyak aktor-aktor teladan dan intelektual yang aku kenal akan aku hadirkan untuk mengamalkan ilmu mereka. Anak kita akan terkonstruksi menjadi pribadi yang luar biasa. Waktu kita tidak akan terbuang sia-sia.

Sekali lagi untuk kau pahami sayang. Itulah arti diam dan pengelanaanku selama ini. Aku sedang mempersiapkan diri untuk membangun keluarga madani yang menyita imajinasiku selama ini. Tiada keindahan dan kedamaian bagiku di dunia ini selain berada pada situasi dan kondisi seperti itu sayang. Semoga Tuhan mengijabah do,aku dalam ikhtiar mewujudkan keluarga madaniku. Wallahualam Bissahwab…!
Kamar Kost, 24 Januari 2015
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Kritik & Saran konstruktif Pembaca sangat Kami harapkan