Sabtu, 25 Oktober 2014

MENYINGGUNG SARA DAN MEMPROVOKASI PENGGUNA MEDSOS, BAGAIMANA KONSEKUENSI HUKUMNYA?

Oleh : R. Aria Bima Sakti, SH., MH.
(Staf Komisi Hukum dan Hak Asasi Manusia  PB HMI MPO)

Dalam aturan hukum terkait penghinaan dan pencemaran nama baik diatur dalam KUHP dan secara khusus dalam UU nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transksi Elektronik (UU ITE) perlu dibedakan antara disseminasi informasi yang bermautan pencemaran nama baik, serta yang berkaitan dengan SARA.

Dalam UU ITE, ketentuan penghinaan dan pencemaran nama baik diatur dalam Pasal 27 ayat (3), sedangkan ketentuan SARA diatur dalam Pasal 28 ayat (2). Berdasar pasal 43 ayat (1) UU ITE, delik-delik tersebut dapat dilaporkan kepada Penyidik Polri atau kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil Informasi dan Transaksi Elektronik/ PPNS ITE Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Laporan kepada PPNS ITE juga dapat disampaikan melalui email cybercrimes@mail.kominfo.go.id. Sanksi dapat dijatuhkan apabila pelaku memenuhi seluruh unsur dan telah melalui proses peradilan pidana. Bunyi Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah sebagai berikut:”SEtiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang  memiliki muatan penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik.”
Sedangkan bunyi Pasal 28 (2) UU ITE adalah sebagai berikut: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/ atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).”

Perlu dibahas pada topik ini bahwa banyak pihak menganggap Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan delik biasa. Pemahaman ini keliru dari dua hal, yaitu dari segi esensi delik penghinaan dan dari sisi historis.

Secara esensi penghinaan, pencemaran nama baik merupakan perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, sehingga nama baik orang tersebut tercemar atau rusak. Dalam menentukan adanya penghinaan atau pencemaran nama baik, konten dan konteks menjadi bagian yang sangat penting untuk dipahami. Tercemarnya atau rusaknya nama baik seseorang secara hakiki hanya dapat dinilai oleh orang yang bersangkutan. Dengan kata lain, korbanlah yang dapat menilai secara subjektif tentang konten atau bagian mana dari informasi atau dokumen elektronik yang ia rasa telah menyerang kehormatan atau nama baiknya.

Konstitusi memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat seesorang sebagai salah satu hak asasi manusia. Oleh karena itu, perlindungan hukum diberikan kepada korban, dan bukan kepada orang lain. Orang lain tidak dapat menilai sama seperti penilaian korban. Sedangkan konteks berperan untuk memberikan nilai objektif terhadap konten.

Pemahaman akan konteks mencakup gambaran mengenaisuasana hati kroban dan pelaku, maksud dantujuan pelaku dalam mendisseminasi informasi serta kepentingan-kepentingan yang ada dalam pendisseminasian (penyebarluasan, ed). Oleh karena itu untuk memahami konteks, mungkin diperlukan pendapat ahli, seperti ahli bahasa, ahli psikologi, dan ahli komunikasi.
Secara historis ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengacu pada ketentuan penghinaan atau pencemaran nama baik yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana/ KUHP, khususnya Pasal 310 dan pasal 311 KUHP. Dalam KUHP diatur dengan tegas bahwa penghinaan merupakan delik aduan.

Tidak adanya ketentuan yang tegas bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan delik aduan kerap dipermasalahkan dalam menerapkan ketentuan ini. Akan tetapi dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 mengenai konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan delik aduan. Dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi butir [3.17.1] dijelaskan bahwa terlepas dari pertimbangan mahkamah yang telah diuraikan dalam paragraf terdahulu, keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut, harus juga diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sehingga Pasal a quo juga harus ditafsirkan sebagai delik yang mensyaratkan pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di depan Pengadilan.

Pasal 28 ayat (2) UU ITE juga sudah pernah diuji konstitusionalitasnya terhadap UUD NRI 1945 dalam perkara Nomor 52 PUU-XI/2013. Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa Pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak bertentangan dengan Konstitusi. Namun, dalam putusan MK tidak memberikan penjelasan mengenai apakah ketentuan ini merupakan delik laporan atau delik aduan atau bukan.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Kritik & Saran konstruktif Pembaca sangat Kami harapkan