Oleh : R. Aria Bima Sakti,
SH., MH.
(Staf Komisi Hukum dan Hak Asasi Manusia PB HMI MPO)
(Staf Komisi Hukum dan Hak Asasi Manusia PB HMI MPO)
Dalam aturan hukum terkait penghinaan dan
pencemaran nama baik diatur dalam KUHP dan secara khusus dalam UU nomor 11
tahun 2008 tentang Informasi dan Transksi Elektronik (UU ITE) perlu dibedakan
antara disseminasi informasi yang bermautan pencemaran nama baik, serta yang
berkaitan dengan SARA.
Dalam UU ITE, ketentuan penghinaan dan pencemaran
nama baik diatur dalam Pasal 27 ayat (3), sedangkan ketentuan SARA diatur dalam
Pasal 28 ayat (2). Berdasar pasal 43 ayat (1) UU ITE, delik-delik tersebut
dapat dilaporkan kepada Penyidik Polri atau kepada Penyidik Pegawai Negeri
Sipil Informasi dan Transaksi Elektronik/ PPNS ITE Kementerian Komunikasi dan
Informatika.
Laporan kepada PPNS ITE juga dapat disampaikan
melalui email cybercrimes@mail.kominfo.go.id. Sanksi dapat dijatuhkan apabila
pelaku memenuhi seluruh unsur dan telah melalui proses peradilan pidana. Bunyi
Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah sebagai berikut:”SEtiap orang dengan sengaja
dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/ atau membuat
dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan
dan/ atau pencemaran nama baik.”
Sedangkan bunyi Pasal 28 (2) UU ITE adalah
sebagai berikut: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
individu dan/ atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras
dan antargolongan (SARA).”
Perlu dibahas pada topik ini bahwa banyak pihak
menganggap Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan delik biasa. Pemahaman ini keliru
dari dua hal, yaitu dari segi esensi delik penghinaan dan dari sisi historis.
Secara esensi penghinaan, pencemaran nama baik
merupakan perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, sehingga
nama baik orang tersebut tercemar atau rusak. Dalam menentukan adanya
penghinaan atau pencemaran nama baik, konten dan konteks menjadi bagian yang
sangat penting untuk dipahami. Tercemarnya atau rusaknya nama baik seseorang
secara hakiki hanya dapat dinilai oleh orang yang bersangkutan. Dengan kata
lain, korbanlah yang dapat menilai secara subjektif tentang konten atau bagian
mana dari informasi atau dokumen elektronik yang ia rasa telah menyerang
kehormatan atau nama baiknya.
Konstitusi memberikan perlindungan terhadap
harkat dan martabat seesorang sebagai salah satu hak asasi manusia. Oleh karena
itu, perlindungan hukum diberikan kepada korban, dan bukan kepada orang lain.
Orang lain tidak dapat menilai sama seperti penilaian korban. Sedangkan konteks
berperan untuk memberikan nilai objektif terhadap konten.
Pemahaman akan konteks mencakup gambaran
mengenaisuasana hati kroban dan pelaku, maksud dantujuan pelaku dalam
mendisseminasi informasi serta kepentingan-kepentingan yang ada dalam
pendisseminasian (penyebarluasan, ed). Oleh karena itu untuk memahami konteks,
mungkin diperlukan pendapat ahli, seperti ahli bahasa, ahli psikologi, dan ahli
komunikasi.
Secara historis ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU
ITE mengacu pada ketentuan penghinaan atau pencemaran nama baik yang diatur
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana/ KUHP, khususnya Pasal 310 dan pasal 311
KUHP. Dalam KUHP diatur dengan tegas bahwa penghinaan merupakan delik aduan.
Tidak adanya ketentuan yang tegas bahwa Pasal 27
ayat (3) UU ITE merupakan delik aduan kerap dipermasalahkan dalam menerapkan
ketentuan ini. Akan tetapi dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
50/PUU-VI/2008 mengenai konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan
delik aduan. Dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi butir [3.17.1] dijelaskan
bahwa terlepas dari pertimbangan mahkamah yang telah diuraikan dalam paragraf
terdahulu, keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak
dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP
sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk
dapat dituntut, harus juga diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang dalam
Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sehingga Pasal a quo juga harus ditafsirkan
sebagai delik yang mensyaratkan pengaduan (klacht)
untuk dapat dituntut di depan Pengadilan.
Pasal 28 ayat (2) UU
ITE juga sudah pernah diuji konstitusionalitasnya terhadap UUD NRI 1945 dalam
perkara Nomor 52 PUU-XI/2013. Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa Pasal
28 ayat (2) UU ITE tidak bertentangan dengan Konstitusi. Namun, dalam putusan
MK tidak memberikan penjelasan mengenai apakah ketentuan ini merupakan delik
laporan atau delik aduan atau bukan.