Oleh : Rangga Babuju
Ulasan bagian pertama kemarin (Klik dan Baca: http://hmi-lotim.blogspot.com/2015/01/menyongsong-kegagalan-peringatan-dua.html)
dalam catatan yang saya posting mendapat komentar yang beragam,
demikian juga beberapa Inbox yang masuk tentang ‘Kegagalan’ yang
dimaksud. Hari ini saya mencoba mengetengahkan indicator Kegagalan
tersebut bila saja kondisi seperti hari ini kian terus berlangsung
hingga sebulan sebelum pelaksanaan. Atau semangat mensukseskan Event ini
dibawah 40 porsen.
Peringatan “Dua Abad Tambora Meletus”
semestinya menjadi ‘pintu’ masuk bagi pencitraan postif Bima dan Dompu
dimata Nasional, bahkan dunia sekalipun. Hanya orang yang pesimis dan
‘gagal paham’ saja yang menganggap serangkaian kegiatan ‘Tambora Menyapa
Dunia’ sebagai peringatan ‘Dua Abad Tambora Meletus” sebagai kegiatan
seremonial dan menghambur-hamburkan uang.
Penulis bukanlah
Budayawan ataupun Sejarahwan yang menilai bahwa meletusnya Tambora
masuk ke dalam deretan 100 Bencana terdahsyat dunia, atau masuk dalam
10 Peristiwa mematikan di Indonesia. Penulis hanya melihat sisi potensi
yang tak dilirik dan tak disentuh sebagai sebuah peluang ekonomi dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar wilayah Tambora. Minimal
‘Tambora’ yang menjadi momok bagi aparat pemerintah Kabupaten Bima
selama ini atau menjadi kecamatan tertinggal bagi kabupaten Dompu hari
ini, menjadi lebih baik kedepannya, semakin menjadi 'surga' bagi banyak
orang yang inginkan ketenangan.
Peringatan “Dua Abad
Tambora” yang digaungkan oleh pemerintah Propinsi NTB saat ini, tidak
singkron dengan semangat Pemerintah Daerah dalam mensukseskan kegiatan
yang ‘dibandrol’ dengan target kunjungan 2 juta wisatawan domestic
maupun mancanegara tersebut. Lihat saja, rencana kegiatan yang dirancang
untuk menjadi Draft Rundown acara berjumlah 17 item kegiatan. Antara lain berbagai kegiatan yang kurang menarik dalam event ini adalah Festival surfing/lomba volly pantai di lakey dan Lomba lari maraton/lari 10k. Sudah sejauh itukah kita kehilangan ide dalam merancang sebuah kegiatan?
Maksud
Penulis, Kegiatan Festival Surfing serta Volly pantai itu sesungguhnya
tidak ada kaitannya dengan Tambora itu sendiri. Selain persoalan
keterkaitan, antara Tambora dengan Lakey itu jauhnya sekitar 3 Jam
berdasarkan jalur Hotmix saat ini. Kecuali, memang hal ini adalah item bargaining pemerintah kabupaten Dompu ‘numpang’ moment. Lalu bagimana dengan Lari Marathon 10 km, apa yang mau ditunjukin..?
Kenapa
bukan kegiatan kunjungan ke Situs Penggalian Perkampungan Tambora yang
terkubur, misalnya. Atau Pemerintah malu, karena jalannya masih tak
karuan dan belum disentuh dengan perbaikan yang memadai? Atau Malam
Pentas Teater Kolosal tentang Tambora yang diangkat dari cerita rakyat?
Atau Pameran Potensi Dana Mbojo? Jika dilihat dari Draft Rundown
acara, kesannya memang ‘buang uang’ yang artinya, menghabiskan anggaran
tanpa berdampak terhadap kesejahteraan rakyat lingkar Tambora secara
tidak langsung.
Melihat berbagai kesiapan yang ada, hanya
Pemerintah Kabupaten Dompu yang sudah melakukan berbagai rapat persiapan
atas rencana kegiatan Dua Abad Tambora ini. Sedangkan pemerintah
Kabupaten Bima, nampaknya tidak terlalu peduli. Mungkin ini karena
anggaran yang dialokasikan terbatas dan sangat minim, sehingga sebagian
besar pejabat kita tidak ‘doyan’ menyiapkan kegiatan dengan skala
Internasional ini. lebih-lebih hiruk pikuk kegiatan di Dinas Pariwisata
dan Kebudayaan pemerintah Kabupaten Bima yang ogah-ogahan dibawah
'Nakhoda' Drs Syarifuddin.
Setahun dan dua tahun yang
lalu, pemerintah kabupaten Bima dari berbagai pemangku kepentingan yang
ada, seperti Dinas Pariwisata, Dinas Perkebunan, Dinas kelautan dan
Perikanan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan serta Dinas Pendidikan,
Pemuda dan Olah raga, begitu gesitnya mendorong masyarakat untuk
menyogsong Pelaksanaan Dua Abad Tambora ini dengan bangga. lobby sana,
Lobby sini, (anggaran), namun setelah diketahui, besaran anggaran yang
dialokasikan, semua pihak nampaknya menyingkir satu persatu dan
mengalihkan dengan berbagai alasan kondisi dan keadaan lain. Tapi, ya
sudahlah, hal ini sudah biasa menjangkiti mental Birokrasi Kita… tidak
perlu dan tidak penting juga kita perdebatkan.
Tentu hari
ini, masyarakat kita (Dana Mbojo) menunggu (kembali) semangat sebagian
dari aparat pemerintah yang sebelumnya ini memang sudah semangat atau
kadung semangat? Masyarakat kita menunggu apa yang mesti disiapkan untuk
dilakukan. Masyarakat Tambora sendiri sesungguhnya sedang bingung saat
ini tentang kegiatan peringatan ini, jadi apa tidak. Sebab, gaungnya
saja mulai pudar. Gerakan yang selama ini menjadi tumpuan semangat mulai
redup dan hilang ditengah jalan.
Masyarakat kita saat ini
tidak semuanya ‘Tiba masa tiba akal’ karena keterbatasan segala
sesuatunya. Sehingga perlu gambaran apa saja yang harus segera disiapkan
sejak awal. Apa lagi nanti akan ada Kemah Budaya sebanyak 10.000 Siswa
se Pulau Sumbawa. Ada juga Pawai Budaya 10.000 rimpu, demikian juga
dengan rencana kegiatan Festival Kopi Tambora.
Untuk
Festival Kopi Tambora ini, Pemerintah Kabupaten Bima dan Dompu sudah
melakukannya lebih dari 4 tahun terakhir. Namun kesannya selalu
‘seremonial’, tidak pernah menjadi ‘magnet’ tersendiri untuk para
wisatawan maupun warga masyarakat lain layaknya ‘Festival Moyo’ di
Sumbawa atau Festival Gendang Belek yang ada di Lombok. Pertanyaan saya,
apakah anda yang membaca ini pernah mendengar adanya Festival Kopi
Tambora yang ternyata sudah berlangsung selama 4 tahun terakhir ??
bayangkan Setiap kali Festival Kopi Tambora diadakan, Pemerintah daerah
menghabiskan dana 100 – 200 juta rupiah, dan tanpa efek positif
pengembangan kreatifitas dan kesejahteraan masyarakat sekitar itu.
Tapi mungkin pikiran dan gagasan kita yang ‘freedom’
beda dengan pikiran kawan-kawan kita yang lain yang terkungkung dalam
sistim dan pola yang ter-koridor dalam kebiasaan yang ada. Tetapi apapun
itu, mari kita nantikan perhelatan Dua Abad Tambora ini dengan
Kreatifitas yang memiliki nilai jual atau dengan ‘gigit jari’ sebagai
penonton yang memenuhi gelanggang saja.
===========
Kota Bima. Diambang Sore menanti lembayung senja, 4 Januari 2015