Selasa, 18 November 2014

SELINGKUH(Nikmat Membawa Sengsara)

Sebuah Cerpen
Oleh : Emde Mallaow


"JAHANNAM, LAKNAT!! Rupanya begini kelakuanmu setiap aku tinggalkan. Dasar perempuan yang tak tahu diuntung..!!"

Plakk..!! Plak..!!

Tubuh indah Paijem jatuh terhuyung. Dua tamparan keras tangan kekar Ngatiman, suaminya, mendarat tepat di kedua pelipisnya, mencetak gambar acak kemerahan di pipinya yang putih mulus bak telur dikupas. Darah segar merembes dari kedua lubang idungnya yang setengah bangir, menggantikan ingus. Tapi sang ibu muda tak meraung, hanya sesengukan sambil duduk menutupi wajahnya di sela-sela kedua lututnya.

"Aku kerja gak mengenal waktu, eh kamu malah hanyut menikmati terong lain di rumah. Tempat tidur suci kita kamu najiskan sedemikian rupa! Perempuan assuu,,,!!"
Bukkk...!!

Satu tendangan keras ala penendang penalty menghantam bokong Paijem. Andaikata bokongnya gak bulat besar, mungkin berikut tubuhnya telah goal di gawang pintu. Paijem bertahan, gak nangis. Meringkuk di pojokan kamar dengan wajah kian merunduk. Paijem hanya pasrah, menanti tindakan lebih lanjut dari sang suami yang sangat dia cinta. Cinta? Ah,,,

"Mulai detik ini, aku haramkan rumah ini untuk kamu tempati! Sepulang aku nnanti malam, aku berharap kamu sudah tidak ada lagi di sini. Aku sudah putuskan akan menceraikanmu!"
Paijem tak berani membantah, apalagi meraih kedua kaki suaminya buat memohon ampun. Percuma, pikirnya. Perbuatan yang dia lakukan memang sungguh sebuah tindakan bodoh pamungkas! Sebego apa pun suami, jika menyaksikan istrinya berbuat sangat nista demikian dengan laki-laki lain, bakal murka. Bahkan tindakan fatal pun bisa berlaku. Mudah-mudahan parang Sumbawa tidak mendarat di leherku, berharap Paijem.
"Ingat, kamu harus segera tinggalkan rumah ini. Kemasi semua hartamu..!" kata Ngatiman lagi kemudian, sebelum keluar dari pintu rumahnya. Tak lupa satu jitakan ia daratkan lagi di uyeng-uyeng Paijem.

* * *

Kemurkaan Ngatiman cukup beralasan. Betapa tidak, ia menangkap basah Paijem sedang ngos-ngosan dan berkuyup keringat dengan Wagiran, pacar gelapnya. Sungguh sebuah perbuatan yang benar-benar di luar dugaan Ngatiman. Wanita cantik bertubuh semok, mantan bunga kampung, yang telah dinikahinya hampir lima tahun, yang selama ini senantiasa memperlihatkan diri sebagai seorang istri yang sangat setia itu, ternyata telah menghianatinya habis-habisan. Sekali lagi, tak bisa disangkal, suami mana pun akan murka jika menyaksikan istrinya bergumul dengan laki-laki lain. Tak peduli, walau dirinya juga bukanlah seorang suami yang setia di luaran, seperti juga alnya Ngatiman. Namun ego Ngatiman sebagai seorang laki-laki tetap jua menahtai emosinya.

Ya, setelah berkali-kali berhasil mencurangi Ngatiman, kali ini Paijem benar-benar ketiban sial. Ia sama sekali tak menduga Ngatiman pulang secara mendadak. Padahal biasanya, sang suami --yang suka ngaku-ngaku mirip Roy Marten--itu selalu pulang menjelang subuh. Paijem menduga, laki-laki pendamping hidupnya itu telah mencium aroma busuk dari perbuatannya, lalu menjebaknya. Atau ada orang lain yang tau, lalu diam-diam melaporkannya kepada Ngatiman.

Untunglah tadi Wagiran cepat kabur lewat pintu belakang sebelum Ngatiman sampai di depan pintu kamar tidur mereka. Sehingga yang terlihat oleh Ngatiman hanyalah kelebatan bagian belakang tubuh selingkuhan istrinya itu. Tubuh yang setengah telanjang, karena tak sempat mengenakan kembali pakaiannya.

Sebenarnya, kecurangan tersebut dilakukan oleh Paijem secara sadar. Kesibukan sang suami, Ngatiman, sebagi seorang wartawan foto di sebuah koran lokal, adalah penyebab awal dari penyimpangan Paijem terjadi. Ngatiman jarang pulang. Kalaupun pulang, hanya sekedar mandi atau mengambil sesuatu yang berhubungan dengan profesinya. Sehingga, Paijem merasakan tidur bersama dengan suaminya itu bisa dihitung dengan jari. Dan itu pun belum tentu sempat memberinya nafkah bathin. Jadi, penyimpangan tersebut terjadi akibat Paijem tak mampu lagi menanggung kesepian yang berkepanjangan. Sikap ketidakpedualian sang suami telah menggoyahkan iman dan janji setia Paijem kepada suaminya itu. Paijem merasa dirinya hanya dianggap sebagai pelayan yang melayani segala kepentingan sang suami, tanpa mampu menuntut sesuatu yang seharusnya menjadi haknya. Dan Paijem sendiri sudah lama mendengar cerita dari orang yang sangat dia percaya, bahwa suaminya itu suka jajan di luaran sana, dan memiliki beberapa selingkuhan. Pada mulanya Paijem ingin tetap bersetia janji, tak ingin menodai kesucian perkawinan mereka. Namun ulah Ngatiman yang kian hari kian membuat batinnya tersiksa, maka semuanya pun jadi runtuh. Dan Paijem tak hendak menyesalinya! Nasi telah menjadi bubur mau diapakan lagi, semua telah terjadi!

Malam itu Paijem numpang tidur di rumah tetangga. Bagaimana pun ia masih ingin menjadi istri sahnya Ngantiman, dan berharap pula bara kebencian di hati suaminya itu memadam. Namun semalaman Paijem tak mampu untuk memincingkan matanya sedetik pun. Peristiwa hari tadi kembali tertayang jelas dalam pikirannya. Ia mencoba menghubungi nomor ponsel suaminya, tapi ternyata lagi di-off-kan. Atau sengaja sudah diganti, agar diairinya tak bisa menghubungi lagi? Dan keesokan harinya, setelah Ngatiman berangkat kerja, Paijem kembali ke rumah. Di atas meja komputer Paijemn mendapati sepucuk surat yang ditulis dengan tinta merah diletakkan terbuka. Rupanya Ngatiman sengaja melakukan demikian agar Paijem bisa langsung melihat dan membaca surat tersebut:

"Jem, Sri Paijem Wulandari binti Warso Tukijo, kebersamaan kita cukup sampai di sini. Berpisahan adalah satu-satunya jalan terbaik buat kita. Kesalahanmu benar-benar tak bisa kumaafkan. Kedurhakaanmu sudah pada titik batasnya kedurhakaan seorang istri. Karena itu, kemasi semua barang-barangmu. Dalam lemari ada amplop berisi uang secukupnya buatmu. Hari ini, pikiranku telah bulat untuk menyerahkanmu kembali ke kedua orang tuamu. Dan teruskanlah hubunganmu dengan laki-laki durjana keparat itu. Semoga engkau akan mendapatkan yang lebih segala-galanya daripada aku,,!!"

Mantan suamimu
(Ngatiman bin Kasiman Sihono).

Terhenyak Paijem seketika sehabis menelaah isi surat tersebut. Perasaannya benar-benar koyak. Ia merasakan tengah terjatuh ke dalam sebuah jurang curam yang amat dalam dan tak akan mampu untuk keluar lagi. Ya, ia terjatuh dan terbanting ke dalam kedalaman yang teramat dalam dan suram karena perbuatannya sendiri. Buah dari kenikmatan-kenikmatan haram sesaat yang diteguknya bersama Wagiran. Anggur telah menjadi racun. Keputusan Ngatiman begitu tegas, sehingga Paijem tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk membela diri. Benar-benar sebuah kenyataan pahit yang diterima Paijem. Walaupun demikian, Paijem harus menulis surat balasannya. ia mencoba untuk menguatkan perasaannya. Dengan pen bertinta merah pula, ia membalas surat suaminya:

"Kangmas Ngatiman bin Kasiman Sihono yang mulia, suci, dan bertaqwa. Jika memang perpisahan dan perceraian adalah jalan satu-satunya yang terbaik buat kita, dan tak ada lagi kesempatan aku buat memperbaiki diri, maka aku akan ikhlas dengan keputusanmu. Kangmasku yang setia seperti nabi tak usah repot-repot untuk mengembalikanku kepada kedua orang tuaku. Aku bisa pulang sendiri. Terima kasih atas segalanya...!"

Takzim aku ex istrimu
(Sri Paijem Wulandari)

Ada bulir-bulir bening yang bergulir melewati kedua pipi mulus Paijem, lalu jatuh menimpa lembaran yang baru saja ditulisinya. Sesak di dadanya kian terasa, sehingga membuat nafasnya terasa sengal. Perpisahan dari sebuah kebersamaan yang cukup panjang memanglah sangat menyakitkan. Apakah perpisahan ini sebuah suratan? Tidak. Menurut Paijem, ini bukanlah sebuah suratan, bukan juga sebuah kehendak Yang Di Atas. Ini murni akibat kebodohan dirinya, juga keingkaran yang juga secara tak langsung hasil didikan suaminya juga. Ngatiman selalu menuntutnya agak menjadi istri yang baik dan setia, tetapi dia sendiri bebas melakukan apa saja di luaran. Tugasnya sebagai wartawan selalu saja menjadi tameng untuk pembenaran dari kebejatannya. Dasar lelaki, memang selalu ingin menang sendiri!

"Tugas wartawan itu dua puluh empat jam, tahu!" jawab Ngatiman berang, jika setiap kali Paijem menuntutnya sekali-sekali untuk meminta waktu buat kebersamaan mereka.

"Iya, Kang, aku tahu. Tapi bukankah kebersamaan berdua sebagai suami istri juga adalah sebuah kewajiban? Kewajiban tanpa batas waktu, Kang..!"

"Akh, sok tahu...!" potong Ngatiman cuek, sembari bersolek secukupnya di depan kaca lemari, lalu membenahi perlengkapan kerjanya sebagi seorang wartwan foto.
"Tapi, Kang....!"

"Akh, udah, gak usah banyak nuntut! Aku juga kerja siang malam justru demi memenuhi kewajibanku sebagai seorang suami. Demi kamu juga...!"

"Iya, Kang, aku tahu. Tapi...."

"Ah, gak usah pake "tapi," ntar panjang lagi urusannya. Aku mau berangkat dulu. Kamu baek-baek aja di rumah, duduk yang manis..!"

"Lh, Akang tidak makan dulu?"

"Gak, usah, aku masih kenyang, nih...!"

Jika sudah begitu, Paijem tak berkutik, melainkan hanya pasrah menerima sikap suaminya. Dirinya oleh Ngatiman tak lebih hanya dianggap sebuah boneka, yang bebas ditinggalkan dan disuruh duduk yang manis! Paijem manut miturut. Mulanya, Paijem percaya-percaya saja dengan apa yang dikatakan oleh Ngatiman: sibuk 24 jam sebagai seorang wartawan! Namun seiring dengan perjalanan waktu, sikap dan perhatian Ngatiman semakin datar saja. Keintiman-keintiman seperti dulu pun kian nyaris tak dirasakan lagi oleh Paijem dari laki-laki itu. Kecurigaan Paijem pun semakin beralasan. Penghasilan Ngatiman pun tak pernah nambah-nambah, malah justru menyusut. Sangat bertolak belakang dengan waktu kerjanya yang kian tak mengenal waktu. Masak sih bekerja siang malam tiada jeda tapi income tak bertambah?

Keadaan seperti ini berlanjut terus, dan menjadikan hati Paijem jenuh dan kering. Ia memiliki seorang suami, tapi hampir tiap malam dirinya mendekap guling. Ngatiman pulangnya selalu menjelang subuh, dan langsung saja tidur tanpa mengucapkan apa-apa kepadanya, apalagi sekedar mengecup kecingnya. Sebelum Paijem hendak "memancing"-nya pun, Ngatiman sudah lebih dulu berkata tanpa tekanan dan seolah-olah kepada dirinya sendiri. 

"Capek kali aku malam ini...!" 

Demikian alasan Ngatiman, jika Paijem menggodanya. Alasan yang bisa diterima oleh Paijem, walaupun terus memendam kecewa di hati. Paijem masih terus bersabar, bersabar, dan bertahan. Namun di sisi lain, lambat tapi pasti, perasaan cinta Paijem terhadap suaminya pun sedikit demi sedikit mengalami abrasi, terkikis oleh sikap Ngatiman sendiri yang semakin dingin dan masa bodoh terhadap dirinya.

Sebenarnya, hal tentang perilaku Ngatiman di luaran, bukan saja ia mendengar dari teman-temannya saja, tapi Paijem pernah memergoki sendiri perbuatan suaminya yang sok ganteng itu, ketika suatu hari ia sedang berbelanja di sebuah toserba di kota itu, ia melihat Ngatiman menggandeng seorang wanita muda yang cantik. Nampak sekali Ngatiman dan wanita itu begitu mesra, cuek, dan seakan-akan dunia hanya dihuni oleh mereka berdua. Paijem menyaksikan juga suaminya itu membebaskan wanita muda itu untuk memilih beberapa pakaian model teranyar dengan harga yang tentu saja tak murah. Tersirap darah Paijem seketika. Amarahnya pun naik ke ubun-ubun, sakit dan kecewa menekan relung hatinya.

"Ngatiman benar-benar telah menghianati aku..!" geram Paijem, menahan amarah. Paijem merasakan ada ribuan jarum menancap di jantungnya. Tapi sebagai seorang istri yang baik, Paijem masih mampu menahan hati, dan tidak melakukan tindakan apa-apa, yang justeru akan memperuwet masalah dan akan mempermalukan suaminya. Ia lebih memilih untuk keluar dari toserba itu dengan cara mengendap-ngendap-ngendap seperti maling jemuran. Pun, ketika malamnya Ngatiman pulang, Paijem tetap memperlihatkan sikap yang wajar, seolah-olah tidak terjadi bencana perasaan apa-apa. Dia tetap memperlihatkan kesetiaan di wajahnya, walau hatinya terbakar dan matang. Ya, Paijem hanya mampu pasrah. Ia hanya ingin agar rumah tangganya tetap utuh, walaupun cahaya cinta di dalamnya kian redup dan tak berwarna indah lagi. Namun Paijem tak pernah habis berharap dan berdo'a semoga kelak cahaya itu bisa terang dan berwarna kembali, seperti di tahun-tahun awal perkawinan mereka.

Suatu hari Paijem kedatangan tamu. Ia seorang pemuda, yang kemudian diketahuinya bernama Wagiran, lalu dilanjutkan dengan perselingkuhan itu. Sejak pertemuan pertama itu, Paijem sudah tertarik dengan pembawaan pemuda Wagiran itu yang sangat sopan dan simpatik, dengan senyuman, menurut Paijem, yang mengandung daya pikat tinggi. Wagiran bekerja sebagai seorang asisten manajer di sebuah perusahaan jasa asuransi.

"Kedatangan saya ingin bertemu dengan Pak Ngatiman, untuk suatu keperluan pemasangan iklan perusahaan kami. Beberapa hari kemarin saya dengan beliau sudah sepakat untuk ketemu di sini. Tapi dari semalam ponsel beliau off, jadi saya langsung datang saja mBak..!" tutur Wagiran, menyampaikan maksud kedatangannya.

"Oh gitu, ya Mas,,,,Tapi ini Mas Ngatiman belum datang, nih. Memamg akhir-akhir ini dia suka lupa meng-on-kan ponselnya...", jawab Paijem. Senyum di wajahnya membuat mata Wagiran suka metanapnya lekat-lekat.

"Artinya,,,apa saya harus datang lagi lain kali ya, mBak?" bertanya Wagiran, bimbang. Tapi tatapan matanya lekat di jidat Paijem yang kinclong dan indah bak punggung kepiting.

"Yeaah,,tunggu aja dulu sebentar Mas. Mungkin Mas Ngatiman ingat dengan janjinya dengan Mase,,," jawab Paijem, agak hati-hati, mengimbangi tutur kata Wagiran yang halus. Lebih-lebih, karena hati Paijem pelan-pelan ingin menikmati lebih lama lagi wajah simpatik yang dimiliki pemuda di hadapannya. Wajah, yang jika dipandang sekilas mirip-mirip wajahnya Primus Yustisio yang digabungkan dengan wajahnya Eko Patrio.

"Oh gitu, ya?" Wagiran manggut-manggut pelan, tapi matanya beralih ke bibir Paijem yang merekah laksana permata rubi.  

"Jadi mBak gak keberatan nih, kalo saya menunggu lebih lama dulu..?"

"Ya gaklah, Mas Wagiran. Silakan saja Mas menunggu...Tapi sebentar, Mas, sampe lupa sediakan minuman,,hehe,,," berucap Paijem tersipu malu, lalu permisi ke belakang.

"Ah, gak usah repot-repot, Mbak. Santai aja,,," balas Wagiran, berbasa basi.

"Ah, gak juga koq, Mas. Ntar dulu, yeah..!"

"Oh, ya, silakan, silakan, mBak,,,!" Santun ucapan Wagiran. Namun ketika Paijem membalikkan tubuhnya, mata Wagiran seperti kelilipan saat melihat body Paijem yang begitu indah dan semok yang terbungkus span pendek yang dikenakannya. Keindahan yang membuat Wagiran nyaris menelan jakunnya sendiri.

Wagiran--dalam kesan Paijem--adalah seorang pemuda yang benar-benar simpatik, di samping seorang pendengar yang baik. Setiap ucapan Paijem ditanggapinya dengan kalimat-kalimat yang dewasa, teratur, dan mengena di hati Paijem. Tatapan matanya pun demikian sejuk di hati Paijem, mampu menyegarkan jiwa Paijem yang lama gersang. Sebuah tatapan yg sudah lama tak didapatkan oleh Paijem dari suaminya, Ngatiman. Tatapan dari seorang laki-laki muda itu seakan-akan menawarkan cinta dan kerinduan. Perasaan Paijem yang lama vakum dan nirperhatian dari sang suami, begitu peka untuk menangkap isyarat dari sang pemuda.

"Siapa yang menemani mBak di rumah kalau ditinggal Pak Ngatiman?", bertanya Wagiran, setelah mendengar jika ibu muda yang jelita di depannya bercerita juga tentang keadaan hidupnya.

"Ya,,,sendiri aja, Mas....!" Ada getar lara di nada suara Paijem.

Wagiran mengangguk-angguk pelan. Dan tiba-tiba ia menggeser duduknya ke samping Paijem. Anehnya, Paijem membiarkannya saja, tak merasa risih sedikit pun. Bahkan ada getaran aneh yg menggamit hatinya, sehingga membiarkan kulit lengan pemuda itu bergesekan dengan kulit lengannya. Paijem menangkap makna dan isyarat dari sikap pemuda yang baru dikenalnya ini.

"Aku tak mengira, Mbak, kalo rumah yang sederhana ini hanya dihuni oleh wanita yang anggun seperti mBak. Lebih cocoknya mBak ini tinggal di suatu istana dalam luapan kasih sayang yang tak pernah habis...!" ucap Wagiran, jelas-jelas sebuah rayuan.

Namun kata-kata itu justeru terasa membuat perasaan dan angan-angan Paijem terangkat di awan biru. Dan sambil memberi ulasan senyum termanis, Paijem membalas,

"Aku juga tak mengira kalau di gubuk aku ini akan kedatangan tamu, seorang pemuda yang tampan dan simpatik...!"

"Ah, mBak, lebay,,,!" ucap Wagiran malu-malu macan, sambil tak lupa sikunya menyenggol sikunya Paijem.

 "Tapi ya,,,aku benar, kok. Benar-benar mengagumi sekali kecantikan dan keramahan mBak. Jika aku menjadi Pak Ngatiman, betapa bahagiannya aku..."

"Ah,,gombal..!" Paijem malu-malu singa juga. Cubitan kecilnya mendarat di punggung tangan Wagiran, bersamaan dengan lengannya menekan lengan pemuda itu. Dan lengannya itu tak ditariknya kembali. Sementara Wagiran menangkap telapak tangan yg indah itu, lalu menggenggam dan meremas-remas lembut jari jemari yang berujung indah bak ujung kacang panjang. Persaan Paijem benar-benar melonjak setinggi awan, sehingga melupakan jika dirinya bukanlah seorang perawan sunting lagi, melainkan wanita yang sudah berstatus istri orang. Naluri kewanitaan yang lama tak tersentuh pun menggelegak dahsyat, saat pemuda Wagiram menjamah wajahnya, dan..mendaratkan satu kecupan kecil di jidad kinclongnya. Tatapan keduanya pun tidak sekedar tatapan simpatik lagi, melainkan tatapan panas yang mengandung magma nafsu. Setan birahi telah hadir di antara mereka. Tak cukup satu kecupan, tiba-tiba Wagiran meraih punggungnya dan mendaratkan ciuman dewasa di bibir indah Paijem. Paijem jadi kalap nafsunya, sehingga ciuman laki-laki muda itu dibalasnya dengan tak kalah dahsyatnya. Ia menghajar bibir Wagiran dengan tanpa ampun. Tak peduli nafas Wagiran berbau tembakau. Paijem benar-benar mendadak berubah laksana singa betina yang ganas,,nas,,nas,,!!

Grubakkkkk....!!

Kemesuman mereka dihentikan oleh suara sesuatu yang jatuh dari arah kamar Paijem.

"Oh, sebentar Mas, kayaknya gantungan hangernya patah, tuh. Keabotan...!" ucap Paijem, melepaskan diri dari pagutan Wagiran, lalu melangkah masuk ke kamarnya.

Namun seperti seekor singa pejantan yang tanggung tarung, Wagiran tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia menyusul masuk, memeluk tubuh bahenol dari belakang, lalu mendorongnya ke tempat tidur. Peristiwa indah namun terlaknat itu pun terjadi buat pertama kalinya. Dan bisa diketahui arahnya. Peristiwa yang sama pun berlanjut,,,dan berlanjut. Dan seperti kata-kata arif: "Sedikit-sedikit air dituang, suatu saat gelas akan penuh dan luber juga". Ngatiman pun mencium perbuatan mereka, dan menangkap basah keduanya!!

Akan tetapi, dengan kejadian itu, bukannya membuat Paijem sadar dan bertobat, namun gaya dan polahnya kian menggila. Pada saat sidang perceraian yang pertama digelar, Paijem hanya ditemani oleh kerabat dekatnya, dan dia sama sekali tidak menampakkan raut wajah gundah, apalagi murung, bahkan penampilannya rada-rada menor. Namun dalam sidang-sidang selanjutnya, Paijem berani meminta Wagiran untuk ikut menemaninya. Perasaan Ngatiman yang kalang-kabut dibuatnya. Apalagi, setelah selesai sidang, Paijem suka sengaja memperlihatkan kemesraannya dengan Wagiran di depan Ngatiman. Sekali-sekali ekor mata Wagiran mengarah ke Ngatiman, mungkin karena merasa sungkan atau tidak enak hati dengan perlakuan Paijem tersebut. Tentu wajah Ngatiman merah padam menahan murka hati. Kalau rusak, ya remuk redam sekalian!, berkata paijem dalam hati.

Walhasil, setelah menjalani sidang beberapa kali, vonis cerai mereka pun dijatuhkan. Ada perasaan kehilangan yang sangat di hati Paijem ketika palu hakim itu diketok. Dunia rasanya hendak terbalik. Dan bulir-bulir bening pun tak ayal merembes membasahi pipinya. Namun di sisi lain, elusan lembut tangan kekar Wagiran di punggungnya mampu mengatasi kesedihan di hati Paijem, walaupun tidak sepenuhnya sirna lenyap seketika. Bagaimanapun pahitnya penyebab perceraian, tetap juga akhirnya akan meninggalkan luka dan kesedihan. Pengalaman bersatu sekian lama dalam ikatan perkawinan, tidak akan serta-merta terhapus bekasnya di benak dan hati.

Setelah Paijem telah selesai masa iddah, Wagiran secara resmi melamar Paijem. Lalu beberapa minggu kemudian keduanya meresmikannya di depan penghulu sebagai pasangan suami isteri. Dunia seakan-akan telah menjadi milik mereka berdua. Luka lalu lenyap, tersapu oleh manisnya madu-kasih antara mereka.

"Terima kasih, Honey. Kautelah membuatku bahagia...!" bisik Paijem, lembut ke telinga Wagiran di malam pertama, sembari memeluk erat tubuh Wagiran. Wagiran menjawabnya dengan kecupan terindah di keningnya, dan balas memeluknya erat-erat.

Paijem benar-benar merasakan dirinya sebagai seorang istri yang dihargai seutuhnya oleh seorang suami. Ya, kebahagiaan ternyata masih bisa ia miliki. Ia merasakan perbedaan yang sangat jauh antara Ngatiman dan Wagiran, terutama dalam hal kasih sayang dan perhatian. Wagiran benar-benar laki-laki yang penuh pengertian dan bertanggung-jawab.

Hari berganti hari, minggu berganti menjadi bulan. Namun menjelang bulan keempat usia perkawinan Paijem dan Wagiran, peristiwa tragis tercipta. Saat di suatu sore hari ketika Paijem dan Wagiran sedang asyik berjalan bergandengan mesra di suatu taman kota, tanpa bisa sadari sebuah sepeda motor menyeruduk mereka berdua dengan keras. Dan tanpa sempat menyadari apa yang terjadi, Paijem keburu koma. Saat ia membuka mata, kesadarannya pun belum langsung pulih. Hanya yang ia sadari, bahwa saat itu ia sudah berbaring di sebuah ruangan yang berwarna putih dengan selang oksigen terpasang di lubang hidungnya. Ada kedua orang tuanya yang menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

"Kau sudah siuman, Ndu'...," ucap ibunya sembari mengusap lembut rambut di ubun-ubunnya.
"Aku ada di mana, mBok, Pak,,,?" tanya Paijem dengan suara serak, lemah.

"Kau di ruang ICU rumah sakit, Ndu'...!" sahut Bapaknya, seraya menggenggam tangan putrinya, seakan memberi semangat.

Lambat-laun kesadaran dan ingatan Paijem pun kembali. Ia menengok ke kiri dan kanan, dan kemudian bertanya,

"Mas Wagiran di mana, mBok, Pak? Gimana keadaan dia...?"

Bapaknya hanya menunduk, ibunya menjawab dengan meneteskan air mata. Wanita setengah baya itu menggenggam erat jemari tangan putrinya, lalu berkata pelan,

"Kamu harus tabah ya, Ndu'..."

"Kenapa, Mbok,,,? Apa yang terjadi pada Mas Wagiran, Pak-e,,,?"

Agak lama Ibunya menahan kesedihannya lewat air mata, lalu dengan nada hati-hati ia pun menjawab, "Nak Wagiran sudah tiada, Ndu',,,,!"

"Apa,,,,? Maksud Ibu,,,,?"

"Iya, Ndu'. Suamimu telah mendahului kita. Ia menghembuskan nafas terakhir setelah belum lama sampai di rumah sakit ini. Ia terlalu banyak mengeluarkan darah....", Bapaknya menjelaskan.

"Astagfirullahal adzieem......!" Hanya itu yang terucap di bibir Paijem. Tangisan duka pun menggema di mulut, hati, dan jiwanya. Rasa pilu dan sepi sontak mengabuti perasaannya.

"Kau harus tabah, Ndu'. Semua sudah digariskan oleh yang menciptakan hidup. Kau harus kuat ya,,,!" ucap Ibunya, membesarkan hati Paijem.

"Kau juga harus tahu, Ndu," ucap bapaknya sesaat kemudian, "bahwa pelaku penabrak itu adalah....istrinya Wagiran,,,,!"

"Apa,,,,???"

Paijem pun kembali koma,,,!!

==TAMAT==
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Kritik & Saran konstruktif Pembaca sangat Kami harapkan