"JAHANNAM, LAKNAT!! Rupanya begini kelakuanmu setiap aku tinggalkan. Dasar perempuan yang tak tahu diuntung..!!"
Plakk..!! Plak..!!
Tubuh indah Paijem jatuh terhuyung. Dua tamparan keras tangan kekar
Ngatiman, suaminya, mendarat tepat di kedua pelipisnya, mencetak gambar
acak kemerahan di pipinya yang putih mulus bak telur dikupas. Darah
segar merembes dari kedua lubang idungnya yang setengah bangir,
menggantikan ingus. Tapi sang ibu muda tak meraung, hanya sesengukan
sambil duduk menutupi wajahnya di sela-sela kedua lututnya.
"Aku
kerja gak mengenal waktu, eh kamu malah hanyut menikmati terong lain di
rumah. Tempat tidur suci kita kamu najiskan sedemikian rupa! Perempuan
assuu,,,!!"
Bukkk...!!
Satu tendangan keras ala penendang
penalty menghantam bokong Paijem. Andaikata bokongnya gak bulat besar,
mungkin berikut tubuhnya telah goal di gawang pintu. Paijem bertahan,
gak nangis. Meringkuk di pojokan kamar dengan wajah kian merunduk.
Paijem hanya pasrah, menanti tindakan lebih lanjut dari sang suami yang
sangat dia cinta. Cinta? Ah,,,
"Mulai detik ini, aku haramkan
rumah ini untuk kamu tempati! Sepulang aku nnanti malam, aku berharap
kamu sudah tidak ada lagi di sini. Aku sudah putuskan akan
menceraikanmu!"
Paijem tak berani membantah, apalagi meraih kedua
kaki suaminya buat memohon ampun. Percuma, pikirnya. Perbuatan yang dia
lakukan memang sungguh sebuah tindakan bodoh pamungkas! Sebego apa pun
suami, jika menyaksikan istrinya berbuat sangat nista demikian dengan
laki-laki lain, bakal murka. Bahkan tindakan fatal pun bisa berlaku.
Mudah-mudahan parang Sumbawa tidak mendarat di leherku, berharap Paijem.
"Ingat, kamu harus segera tinggalkan rumah ini. Kemasi semua
hartamu..!" kata Ngatiman lagi kemudian, sebelum keluar dari pintu
rumahnya. Tak lupa satu jitakan ia daratkan lagi di uyeng-uyeng Paijem.
* * *
Kemurkaan Ngatiman cukup beralasan. Betapa tidak, ia menangkap basah
Paijem sedang ngos-ngosan dan berkuyup keringat dengan Wagiran, pacar
gelapnya. Sungguh sebuah perbuatan yang benar-benar di luar dugaan
Ngatiman. Wanita cantik bertubuh semok, mantan bunga kampung, yang telah
dinikahinya hampir lima tahun, yang selama ini senantiasa
memperlihatkan diri sebagai seorang istri yang sangat setia itu,
ternyata telah menghianatinya habis-habisan. Sekali lagi, tak bisa
disangkal, suami mana pun akan murka jika menyaksikan istrinya bergumul
dengan laki-laki lain. Tak peduli, walau dirinya juga bukanlah seorang
suami yang setia di luaran, seperti juga alnya Ngatiman. Namun ego
Ngatiman sebagai seorang laki-laki tetap jua menahtai emosinya.
Ya, setelah berkali-kali berhasil mencurangi Ngatiman, kali ini Paijem
benar-benar ketiban sial. Ia sama sekali tak menduga Ngatiman pulang
secara mendadak. Padahal biasanya, sang suami --yang suka ngaku-ngaku
mirip Roy Marten--itu selalu pulang menjelang subuh. Paijem menduga,
laki-laki pendamping hidupnya itu telah mencium aroma busuk dari
perbuatannya, lalu menjebaknya. Atau ada orang lain yang tau, lalu
diam-diam melaporkannya kepada Ngatiman.
Untunglah tadi Wagiran
cepat kabur lewat pintu belakang sebelum Ngatiman sampai di depan pintu
kamar tidur mereka. Sehingga yang terlihat oleh Ngatiman hanyalah
kelebatan bagian belakang tubuh selingkuhan istrinya itu. Tubuh yang
setengah telanjang, karena tak sempat mengenakan kembali pakaiannya.
Sebenarnya, kecurangan tersebut dilakukan oleh Paijem secara sadar.
Kesibukan sang suami, Ngatiman, sebagi seorang wartawan foto di sebuah
koran lokal, adalah penyebab awal dari penyimpangan Paijem terjadi.
Ngatiman jarang pulang. Kalaupun pulang, hanya sekedar mandi atau
mengambil sesuatu yang berhubungan dengan profesinya. Sehingga, Paijem
merasakan tidur bersama dengan suaminya itu bisa dihitung dengan jari.
Dan itu pun belum tentu sempat memberinya nafkah bathin. Jadi,
penyimpangan tersebut terjadi akibat Paijem tak mampu lagi menanggung
kesepian yang berkepanjangan. Sikap ketidakpedualian sang suami telah
menggoyahkan iman dan janji setia Paijem kepada suaminya itu. Paijem
merasa dirinya hanya dianggap sebagai pelayan yang melayani segala
kepentingan sang suami, tanpa mampu menuntut sesuatu yang seharusnya
menjadi haknya. Dan Paijem sendiri sudah lama mendengar cerita dari
orang yang sangat dia percaya, bahwa suaminya itu suka jajan di luaran
sana, dan memiliki beberapa selingkuhan. Pada mulanya Paijem ingin tetap
bersetia janji, tak ingin menodai kesucian perkawinan mereka. Namun
ulah Ngatiman yang kian hari kian membuat batinnya tersiksa, maka
semuanya pun jadi runtuh. Dan Paijem tak hendak menyesalinya! Nasi telah
menjadi bubur mau diapakan lagi, semua telah terjadi!
Malam itu Paijem numpang tidur di rumah tetangga. Bagaimana pun ia masih ingin menjadi istri sahnya Ngantiman, dan berharap pula bara kebencian di hati suaminya itu memadam. Namun semalaman Paijem tak mampu untuk memincingkan matanya sedetik pun. Peristiwa hari tadi kembali tertayang jelas dalam pikirannya. Ia mencoba menghubungi nomor ponsel suaminya, tapi ternyata lagi di-off-kan. Atau sengaja sudah diganti, agar diairinya tak bisa menghubungi lagi? Dan keesokan harinya, setelah Ngatiman berangkat kerja, Paijem kembali ke rumah. Di atas meja komputer Paijemn mendapati sepucuk surat yang ditulis dengan tinta merah diletakkan terbuka. Rupanya Ngatiman sengaja melakukan demikian agar Paijem bisa langsung melihat dan membaca surat tersebut:
"Jem,
Sri Paijem Wulandari binti Warso Tukijo, kebersamaan kita cukup sampai
di sini. Berpisahan adalah satu-satunya jalan terbaik buat kita.
Kesalahanmu benar-benar tak bisa kumaafkan. Kedurhakaanmu sudah pada
titik batasnya kedurhakaan seorang istri. Karena itu, kemasi semua
barang-barangmu. Dalam lemari ada amplop berisi uang secukupnya buatmu.
Hari ini, pikiranku telah bulat untuk menyerahkanmu kembali ke kedua
orang tuamu. Dan teruskanlah hubunganmu dengan laki-laki durjana keparat
itu. Semoga engkau akan mendapatkan yang lebih segala-galanya daripada
aku,,!!"
Mantan suamimu
(Ngatiman bin Kasiman Sihono).
Terhenyak Paijem seketika sehabis menelaah isi surat tersebut.
Perasaannya benar-benar koyak. Ia merasakan tengah terjatuh ke dalam
sebuah jurang curam yang amat dalam dan tak akan mampu untuk keluar
lagi. Ya, ia terjatuh dan terbanting ke dalam kedalaman yang teramat
dalam dan suram karena perbuatannya sendiri. Buah dari
kenikmatan-kenikmatan haram sesaat yang diteguknya bersama Wagiran.
Anggur telah menjadi racun. Keputusan Ngatiman begitu tegas, sehingga
Paijem tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk membela diri.
Benar-benar sebuah kenyataan pahit yang diterima Paijem. Walaupun
demikian, Paijem harus menulis surat balasannya. ia mencoba untuk
menguatkan perasaannya. Dengan pen bertinta merah pula, ia membalas
surat suaminya:
"Kangmas Ngatiman bin Kasiman Sihono yang mulia,
suci, dan bertaqwa. Jika memang perpisahan dan perceraian adalah jalan
satu-satunya yang terbaik buat kita, dan tak ada lagi kesempatan aku
buat memperbaiki diri, maka aku akan ikhlas dengan keputusanmu.
Kangmasku yang setia seperti nabi tak usah repot-repot untuk
mengembalikanku kepada kedua orang tuaku. Aku bisa pulang sendiri.
Terima kasih atas segalanya...!"
Takzim aku ex istrimu
(Sri Paijem Wulandari)
Ada bulir-bulir bening yang bergulir melewati kedua pipi mulus Paijem,
lalu jatuh menimpa lembaran yang baru saja ditulisinya. Sesak di dadanya
kian terasa, sehingga membuat nafasnya terasa sengal. Perpisahan dari
sebuah kebersamaan yang cukup panjang memanglah sangat menyakitkan.
Apakah perpisahan ini sebuah suratan? Tidak. Menurut Paijem, ini
bukanlah sebuah suratan, bukan juga sebuah kehendak Yang Di Atas. Ini
murni akibat kebodohan dirinya, juga keingkaran yang juga secara tak
langsung hasil didikan suaminya juga. Ngatiman selalu menuntutnya agak
menjadi istri yang baik dan setia, tetapi dia sendiri bebas melakukan
apa saja di luaran. Tugasnya sebagai wartawan selalu saja menjadi tameng
untuk pembenaran dari kebejatannya. Dasar lelaki, memang selalu ingin
menang sendiri!
"Tugas wartawan itu dua puluh empat jam, tahu!"
jawab Ngatiman berang, jika setiap kali Paijem menuntutnya sekali-sekali
untuk meminta waktu buat kebersamaan mereka.
"Iya, Kang, aku
tahu. Tapi bukankah kebersamaan berdua sebagai suami istri juga adalah
sebuah kewajiban? Kewajiban tanpa batas waktu, Kang..!"
"Akh, sok
tahu...!" potong Ngatiman cuek, sembari bersolek secukupnya di depan
kaca lemari, lalu membenahi perlengkapan kerjanya sebagi seorang wartwan
foto.
"Tapi, Kang....!"
"Akh, udah, gak usah banyak
nuntut! Aku juga kerja siang malam justru demi memenuhi kewajibanku
sebagai seorang suami. Demi kamu juga...!"
"Iya, Kang, aku tahu. Tapi...."
"Ah, gak usah pake "tapi," ntar panjang lagi urusannya. Aku mau
berangkat dulu. Kamu baek-baek aja di rumah, duduk yang manis..!"
"Lh, Akang tidak makan dulu?"
"Gak, usah, aku masih kenyang, nih...!"
Jika sudah begitu, Paijem tak berkutik, melainkan hanya pasrah menerima
sikap suaminya. Dirinya oleh Ngatiman tak lebih hanya dianggap sebuah
boneka, yang bebas ditinggalkan dan disuruh duduk yang manis! Paijem
manut miturut. Mulanya, Paijem percaya-percaya saja dengan apa yang
dikatakan oleh Ngatiman: sibuk 24 jam sebagai seorang wartawan! Namun
seiring dengan perjalanan waktu, sikap dan perhatian Ngatiman semakin
datar saja. Keintiman-keintiman seperti dulu pun kian nyaris tak
dirasakan lagi oleh Paijem dari laki-laki itu. Kecurigaan Paijem pun
semakin beralasan. Penghasilan Ngatiman pun tak pernah nambah-nambah,
malah justru menyusut. Sangat bertolak belakang dengan waktu kerjanya
yang kian tak mengenal waktu. Masak sih bekerja siang malam tiada jeda
tapi income tak bertambah?
Keadaan seperti ini berlanjut terus,
dan menjadikan hati Paijem jenuh dan kering. Ia memiliki seorang suami,
tapi hampir tiap malam dirinya mendekap guling. Ngatiman pulangnya
selalu menjelang subuh, dan langsung saja tidur tanpa mengucapkan
apa-apa kepadanya, apalagi sekedar mengecup kecingnya. Sebelum Paijem
hendak "memancing"-nya pun, Ngatiman sudah lebih dulu berkata tanpa
tekanan dan seolah-olah kepada dirinya sendiri.
"Capek kali aku malam
ini...!"
Demikian alasan Ngatiman, jika Paijem menggodanya. Alasan yang
bisa diterima oleh Paijem, walaupun terus memendam kecewa di hati.
Paijem masih terus bersabar, bersabar, dan bertahan. Namun di sisi lain,
lambat tapi pasti, perasaan cinta Paijem terhadap suaminya pun sedikit
demi sedikit mengalami abrasi, terkikis oleh sikap Ngatiman sendiri yang
semakin dingin dan masa bodoh terhadap dirinya.
Sebenarnya, hal
tentang perilaku Ngatiman di luaran, bukan saja ia mendengar dari
teman-temannya saja, tapi Paijem pernah memergoki sendiri perbuatan
suaminya yang sok ganteng itu, ketika suatu hari ia sedang berbelanja di
sebuah toserba di kota itu, ia melihat Ngatiman menggandeng seorang
wanita muda yang cantik. Nampak sekali Ngatiman dan wanita itu begitu
mesra, cuek, dan seakan-akan dunia hanya dihuni oleh mereka berdua.
Paijem menyaksikan juga suaminya itu membebaskan wanita muda itu untuk
memilih beberapa pakaian model teranyar dengan harga yang tentu saja tak
murah. Tersirap darah Paijem seketika. Amarahnya pun naik ke ubun-ubun,
sakit dan kecewa menekan relung hatinya.
"Ngatiman benar-benar
telah menghianati aku..!" geram Paijem, menahan amarah. Paijem merasakan
ada ribuan jarum menancap di jantungnya. Tapi sebagai seorang istri
yang baik, Paijem masih mampu menahan hati, dan tidak melakukan tindakan
apa-apa, yang justeru akan memperuwet masalah dan akan mempermalukan
suaminya. Ia lebih memilih untuk keluar dari toserba itu dengan cara
mengendap-ngendap-ngendap seperti maling jemuran. Pun, ketika malamnya
Ngatiman pulang, Paijem tetap memperlihatkan sikap yang wajar,
seolah-olah tidak terjadi bencana perasaan apa-apa. Dia tetap
memperlihatkan kesetiaan di wajahnya, walau hatinya terbakar dan matang.
Ya, Paijem hanya mampu pasrah. Ia hanya ingin agar rumah tangganya
tetap utuh, walaupun cahaya cinta di dalamnya kian redup dan tak
berwarna indah lagi. Namun Paijem tak pernah habis berharap dan berdo'a
semoga kelak cahaya itu bisa terang dan berwarna kembali, seperti di
tahun-tahun awal perkawinan mereka.
Suatu hari Paijem kedatangan
tamu. Ia seorang pemuda, yang kemudian diketahuinya bernama Wagiran,
lalu dilanjutkan dengan perselingkuhan itu. Sejak pertemuan pertama itu,
Paijem sudah tertarik dengan pembawaan pemuda Wagiran itu yang sangat
sopan dan simpatik, dengan senyuman, menurut Paijem, yang mengandung
daya pikat tinggi. Wagiran bekerja sebagai seorang asisten manajer di
sebuah perusahaan jasa asuransi.
"Kedatangan saya ingin bertemu
dengan Pak Ngatiman, untuk suatu keperluan pemasangan iklan perusahaan
kami. Beberapa hari kemarin saya dengan beliau sudah sepakat untuk
ketemu di sini. Tapi dari semalam ponsel beliau off, jadi saya langsung
datang saja mBak..!" tutur Wagiran, menyampaikan maksud kedatangannya.
"Oh gitu, ya Mas,,,,Tapi ini Mas Ngatiman belum datang, nih. Memamg akhir-akhir ini dia suka lupa meng-on-kan ponselnya...", jawab Paijem. Senyum di wajahnya membuat mata Wagiran suka metanapnya lekat-lekat.
"Artinya,,,apa saya harus datang lagi lain kali ya, mBak?" bertanya
Wagiran, bimbang. Tapi tatapan matanya lekat di jidat Paijem yang
kinclong dan indah bak punggung kepiting.
"Yeaah,,tunggu aja dulu
sebentar Mas. Mungkin Mas Ngatiman ingat dengan janjinya dengan
Mase,,," jawab Paijem, agak hati-hati, mengimbangi tutur kata Wagiran
yang halus. Lebih-lebih, karena hati Paijem pelan-pelan ingin menikmati
lebih lama lagi wajah simpatik yang dimiliki pemuda di hadapannya.
Wajah, yang jika dipandang sekilas mirip-mirip wajahnya Primus Yustisio
yang digabungkan dengan wajahnya Eko Patrio.
"Oh gitu, ya?"
Wagiran manggut-manggut pelan, tapi matanya beralih ke bibir Paijem yang
merekah laksana permata rubi.
"Jadi mBak gak keberatan nih, kalo saya menunggu lebih lama dulu..?"
"Jadi mBak gak keberatan nih, kalo saya menunggu lebih lama dulu..?"
"Ya gaklah, Mas Wagiran. Silakan
saja Mas menunggu...Tapi sebentar, Mas, sampe lupa sediakan
minuman,,hehe,,," berucap Paijem tersipu malu, lalu permisi ke belakang.
"Ah, gak usah repot-repot, Mbak. Santai aja,,," balas Wagiran, berbasa basi.
"Ah, gak juga koq, Mas. Ntar dulu, yeah..!"
"Oh, ya, silakan, silakan, mBak,,,!" Santun ucapan Wagiran. Namun
ketika Paijem membalikkan tubuhnya, mata Wagiran seperti kelilipan saat
melihat body Paijem yang begitu indah dan semok yang terbungkus span
pendek yang dikenakannya. Keindahan yang membuat Wagiran nyaris menelan
jakunnya sendiri.
Wagiran--dalam kesan Paijem--adalah seorang
pemuda yang benar-benar simpatik, di samping seorang pendengar yang
baik. Setiap ucapan Paijem ditanggapinya dengan kalimat-kalimat yang
dewasa, teratur, dan mengena di hati Paijem. Tatapan matanya pun
demikian sejuk di hati Paijem, mampu menyegarkan jiwa Paijem yang lama
gersang. Sebuah tatapan yg sudah lama tak didapatkan oleh Paijem dari
suaminya, Ngatiman. Tatapan dari seorang laki-laki muda itu seakan-akan
menawarkan cinta dan kerinduan. Perasaan Paijem yang lama vakum dan
nirperhatian dari sang suami, begitu peka untuk menangkap isyarat dari
sang pemuda.
"Siapa yang menemani mBak di rumah kalau ditinggal
Pak Ngatiman?", bertanya Wagiran, setelah mendengar jika ibu muda yang
jelita di depannya bercerita juga tentang keadaan hidupnya.
"Ya,,,sendiri aja, Mas....!" Ada getar lara di nada suara Paijem.
Wagiran mengangguk-angguk pelan. Dan tiba-tiba ia menggeser duduknya ke
samping Paijem. Anehnya, Paijem membiarkannya saja, tak merasa risih
sedikit pun. Bahkan ada getaran aneh yg menggamit hatinya, sehingga
membiarkan kulit lengan pemuda itu bergesekan dengan kulit lengannya.
Paijem menangkap makna dan isyarat dari sikap pemuda yang baru
dikenalnya ini.
"Aku tak mengira, Mbak, kalo rumah yang sederhana
ini hanya dihuni oleh wanita yang anggun seperti mBak. Lebih cocoknya
mBak ini tinggal di suatu istana dalam luapan kasih sayang yang tak
pernah habis...!" ucap Wagiran, jelas-jelas sebuah rayuan.
Namun
kata-kata itu justeru terasa membuat perasaan dan angan-angan Paijem
terangkat di awan biru. Dan sambil memberi ulasan senyum termanis,
Paijem membalas,
"Aku juga tak mengira kalau di gubuk aku ini akan kedatangan tamu, seorang pemuda yang tampan dan simpatik...!"
"Aku juga tak mengira kalau di gubuk aku ini akan kedatangan tamu, seorang pemuda yang tampan dan simpatik...!"
"Ah, mBak, lebay,,,!" ucap Wagiran malu-malu macan, sambil tak lupa
sikunya menyenggol sikunya Paijem.
"Tapi ya,,,aku benar, kok.
Benar-benar mengagumi sekali kecantikan dan keramahan mBak. Jika aku
menjadi Pak Ngatiman, betapa bahagiannya aku..."
"Ah,,gombal..!"
Paijem malu-malu singa juga. Cubitan kecilnya mendarat di punggung
tangan Wagiran, bersamaan dengan lengannya menekan lengan pemuda itu.
Dan lengannya itu tak ditariknya kembali. Sementara Wagiran menangkap
telapak tangan yg indah itu, lalu menggenggam dan meremas-remas lembut
jari jemari yang berujung indah bak ujung kacang panjang. Persaan Paijem
benar-benar melonjak setinggi awan, sehingga melupakan jika dirinya
bukanlah seorang perawan sunting lagi, melainkan wanita yang sudah
berstatus istri orang. Naluri kewanitaan yang lama tak tersentuh pun
menggelegak dahsyat, saat pemuda Wagiram menjamah wajahnya,
dan..mendaratkan satu kecupan kecil di jidad kinclongnya. Tatapan
keduanya pun tidak sekedar tatapan simpatik lagi, melainkan tatapan
panas yang mengandung magma nafsu. Setan birahi telah hadir di antara
mereka. Tak cukup satu kecupan, tiba-tiba Wagiran meraih punggungnya dan
mendaratkan ciuman dewasa di bibir indah Paijem. Paijem jadi kalap
nafsunya, sehingga ciuman laki-laki muda itu dibalasnya dengan tak kalah
dahsyatnya. Ia menghajar bibir Wagiran dengan tanpa ampun. Tak peduli
nafas Wagiran berbau tembakau. Paijem benar-benar mendadak berubah
laksana singa betina yang ganas,,nas,,nas,,!!
Grubakkkkk....!!
Kemesuman mereka dihentikan oleh suara sesuatu yang jatuh dari arah kamar Paijem.
"Oh, sebentar Mas, kayaknya gantungan hangernya patah, tuh.
Keabotan...!" ucap Paijem, melepaskan diri dari pagutan Wagiran, lalu
melangkah masuk ke kamarnya.
Namun seperti seekor singa pejantan
yang tanggung tarung, Wagiran tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia
menyusul masuk, memeluk tubuh bahenol dari belakang, lalu mendorongnya
ke tempat tidur. Peristiwa indah namun terlaknat itu pun terjadi buat
pertama kalinya. Dan bisa diketahui arahnya. Peristiwa yang sama pun
berlanjut,,,dan berlanjut. Dan seperti kata-kata arif: "Sedikit-sedikit
air dituang, suatu saat gelas akan penuh dan luber juga". Ngatiman pun
mencium perbuatan mereka, dan menangkap basah keduanya!!
Akan
tetapi, dengan kejadian itu, bukannya membuat Paijem sadar dan bertobat,
namun gaya dan polahnya kian menggila. Pada saat sidang perceraian yang
pertama digelar, Paijem hanya ditemani oleh kerabat dekatnya, dan dia
sama sekali tidak menampakkan raut wajah gundah, apalagi murung, bahkan
penampilannya rada-rada menor. Namun dalam sidang-sidang selanjutnya,
Paijem berani meminta Wagiran untuk ikut menemaninya. Perasaan Ngatiman
yang kalang-kabut dibuatnya. Apalagi, setelah selesai sidang, Paijem
suka sengaja memperlihatkan kemesraannya dengan Wagiran di depan
Ngatiman. Sekali-sekali ekor mata Wagiran mengarah ke Ngatiman, mungkin
karena merasa sungkan atau tidak enak hati dengan perlakuan Paijem
tersebut. Tentu wajah Ngatiman merah padam menahan murka hati. Kalau
rusak, ya remuk redam sekalian!, berkata paijem dalam hati.
Walhasil, setelah menjalani sidang beberapa kali, vonis cerai mereka pun
dijatuhkan. Ada perasaan kehilangan yang sangat di hati Paijem ketika
palu hakim itu diketok. Dunia rasanya hendak terbalik. Dan bulir-bulir
bening pun tak ayal merembes membasahi pipinya. Namun di sisi lain,
elusan lembut tangan kekar Wagiran di punggungnya mampu mengatasi
kesedihan di hati Paijem, walaupun tidak sepenuhnya sirna lenyap
seketika. Bagaimanapun pahitnya penyebab perceraian, tetap juga akhirnya
akan meninggalkan luka dan kesedihan. Pengalaman bersatu sekian lama
dalam ikatan perkawinan, tidak akan serta-merta terhapus bekasnya di
benak dan hati.
Setelah Paijem telah selesai masa iddah, Wagiran
secara resmi melamar Paijem. Lalu beberapa minggu kemudian keduanya
meresmikannya di depan penghulu sebagai pasangan suami isteri. Dunia
seakan-akan telah menjadi milik mereka berdua. Luka lalu lenyap, tersapu
oleh manisnya madu-kasih antara mereka.
"Terima kasih, Honey. Kautelah membuatku bahagia...!" bisik Paijem, lembut ke telinga Wagiran di malam pertama, sembari memeluk erat tubuh Wagiran. Wagiran menjawabnya dengan kecupan terindah di keningnya, dan balas memeluknya erat-erat.
Paijem benar-benar merasakan dirinya sebagai seorang
istri yang dihargai seutuhnya oleh seorang suami. Ya, kebahagiaan
ternyata masih bisa ia miliki. Ia merasakan perbedaan yang sangat jauh
antara Ngatiman dan Wagiran, terutama dalam hal kasih sayang dan
perhatian. Wagiran benar-benar laki-laki yang penuh pengertian dan
bertanggung-jawab.
Hari berganti hari, minggu berganti menjadi
bulan. Namun menjelang bulan keempat usia perkawinan Paijem dan Wagiran,
peristiwa tragis tercipta. Saat di suatu sore hari ketika Paijem dan
Wagiran sedang asyik berjalan bergandengan mesra di suatu taman kota,
tanpa bisa sadari sebuah sepeda motor menyeruduk mereka berdua dengan
keras. Dan tanpa sempat menyadari apa yang terjadi, Paijem keburu koma.
Saat ia membuka mata, kesadarannya pun belum langsung pulih. Hanya yang
ia sadari, bahwa saat itu ia sudah berbaring di sebuah ruangan yang
berwarna putih dengan selang oksigen terpasang di lubang hidungnya. Ada
kedua orang tuanya yang menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Kau sudah siuman, Ndu'...," ucap ibunya sembari mengusap lembut rambut di ubun-ubunnya.
"Aku ada di mana, mBok, Pak,,,?" tanya Paijem dengan suara serak, lemah.
"Kau di ruang ICU rumah sakit, Ndu'...!" sahut Bapaknya, seraya menggenggam tangan putrinya, seakan memberi semangat.
Lambat-laun kesadaran dan ingatan Paijem pun kembali. Ia menengok ke
kiri dan kanan, dan kemudian bertanya,
"Mas Wagiran di mana, mBok, Pak? Gimana keadaan dia...?"
"Mas Wagiran di mana, mBok, Pak? Gimana keadaan dia...?"
Bapaknya hanya menunduk, ibunya menjawab
dengan meneteskan air mata. Wanita setengah baya itu menggenggam erat
jemari tangan putrinya, lalu berkata pelan,
"Kamu harus tabah ya, Ndu'..."
"Kamu harus tabah ya, Ndu'..."
"Kenapa, Mbok,,,? Apa yang terjadi pada Mas Wagiran, Pak-e,,,?"
Agak lama Ibunya menahan kesedihannya lewat air mata, lalu dengan nada
hati-hati ia pun menjawab, "Nak Wagiran sudah tiada, Ndu',,,,!"
"Apa,,,,? Maksud Ibu,,,,?"
"Iya, Ndu'. Suamimu telah mendahului kita. Ia menghembuskan nafas
terakhir setelah belum lama sampai di rumah sakit ini. Ia terlalu banyak
mengeluarkan darah....", Bapaknya menjelaskan.
"Astagfirullahal
adzieem......!" Hanya itu yang terucap di bibir Paijem. Tangisan duka
pun menggema di mulut, hati, dan jiwanya. Rasa pilu dan sepi sontak
mengabuti perasaannya.
"Kau harus tabah, Ndu'. Semua sudah
digariskan oleh yang menciptakan hidup. Kau harus kuat ya,,,!" ucap
Ibunya, membesarkan hati Paijem.
"Kau juga harus tahu, Ndu," ucap bapaknya sesaat kemudian, "bahwa pelaku penabrak itu adalah....istrinya Wagiran,,,,!"
"Apa,,,,???"
Paijem pun kembali koma,,,!!
==TAMAT==