Pencalonan Komisaris Jenderal Drs. Budi Gunawan sebagai calon tunggal
Korps Bayangkara oleh Presiden Jokowi menyulut polemik ketika Komisi
Pemberantasan Korupsi(KPK) secara tiba-tiba menetapkan jagoan Jokowi
tersebut menjadi tersangka korupsi gratifikasi. Bagi banyak pihak,
penetapan status tersangka Komjen Budi Gunawan
oleh KPK dinilai momentum yang sarat akan kepentingan politik.
Langkah KPK diduga sebagai upaya menjegal Komjen BG yang tengah menanjak
menuju puncak kepemimpinan Polri. Hal ini setidaknya bisa dilihat dari
beberapa pertanyaan publik, diantaranya “Mengapa penetapan status
tersangka atas Komjen BG di berikan saat nama jenderal bintang tiga
tersebut menjadi calon Kapolri ?”. Dilain sisi, tidak sedikit juga
pihak yang mendukung sikap KPK karena dianggap langkah tepat dalam
mengantisipasi pemimpin yang korup.
Jauh sebelum Jokowi
mengusung Komjen BG sebagai calon tunggal Kapolri pada 9 Januari 2015
lalu melalui Surat Presiden nomor R-01/Pres/01/2015 perihal
pemberhentian dan pengangkatan Kapolri, nama Komjen BG sempat muncul
dalam daftar nama bakal calon kabinet Jokowi – JK. Dalam Penyusunan
Kabinet Jokowi-JK yang dikenal dengan kabinet Tri Sakti, KPK dan PPATK turut serta dilibatkan yang kemudian dari hasil filterisasi memberikan Komjen BG raport merah.
Dalam beberapa sisi analisa, sikap Presiden Jokowi mengajukan Komjen BG sebagai calon tunggal Kapolri dianggap ngotot karena sudah mendapat konfirmasi sebelumnya tentang raport merah
Komjen BG dari KPK. Anggapan ini membias hingga dikaitkan dengan
kedekatan Komjen BG dengan Megawati(Baca: Komjen BG mantan ajudan
Presiden Ke-5). Dilain sisi, ada pula yang menginterpretasikan langkah
Jokowi menunjuk Komjen BG sebagai calon Kapolri merupakan strategi jitu
dalam memberantas korupsi. Sebab, publik tidak akan tinggal diam dengan
label raport merah Komjen BG ketika mendengar diusung lagi menjadi
calon Kapolri. Benarkah demikian?
Kendati
telah menyandang status tersangka, DPR RI melalui sidang paripurna uji
kelayakan dan kepatutan, Kamis, 15 Januari 2015, tetap meloloskan Komjen
BG menjadi calon Kapolri terpilih. Artinya, keputusan KPK tidak
mempengaruhi jenjang prosedural yang dilewati Komjen BG dipihak dewan.
Perjalanan
Komjen BG menuju tampuk pimpinan Polri nampak tersendat. Jika dalam
proses pencalonan hingga uji kelayakan dan kepatutan oleh DPR RI status
tersangka Komjen BG tidak menghalangi proses, tetapi bagi presiden
Jokowi menjadi pertimbangan untuk menunda pelantikan Kapolri terpilih
itu kemudian mengangkat Wakapolri Komjen Badrodin Haiti sebagai Plt
Kapolri. Tidak hanya menunda pelantikan Komjen BG sebagai akibat dari
tersangkut kasus korupsi. Jokowi juga mendesak KPK untuk mempercepat
proses hukum terhadap Komjen BG. Selain Jokowi, Menkopolhukam Tedjo Edhy
Purdijatno pun turut angkat bicara dengan menantang KPK untuk
tuntaskan kasus tersebut. Serta masih banyak lagi desakan dari berbagai
pihak dengan nada yang sama menjurus ke KPK.
Bagi
lembaga POLRI sendiri, penetapan Komjen BG sebagai tersangka korupsi
oleh KPK merupakan tabuhan genderang perseteruan. Kedua lembaga penegak
hukum tersebut ternyata memiliki versi yang berbeda terkait kasus Komjen
BG. Jika KPK telah menetapkan Komjen BG menjadi tersangka dan kini
disibukkan dengan penyelesaian kasus tersebut, malah pihak POLRI siap
memberikan perlindungan Hukum dan membuktikan bahwa Komjen BG tidak
bersalah. Bahkan Mabes Polri mempraperadilankan KPK ke Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan. Sikap KPK dan POLRI mencerminkan bahwa kedua lembaga
tersebut tidak akur dalam menegakkan kebenaran di negeri ini, terutama
dalam hal pemberantasan korupsi.
Perseteruan kedua
lembaga penegak hukum tersebut, mengingatkan penulis pada pernyataan
mantan Kabagreskrim Mabes Polri Komjen Pol. Susno Duadji, pada tahun
2009 lalu,“cicak kok mau melawan buaya.”
Pernyataan Susno Duadji yang mengistilahkan Cicak (KPK) dan Buaya
(Polri) memunculkan kepermukaan hubungan panas antara KPK dan POLRI
serta menjadi tren kala itu. Lalu, istilah itu kembali mencuat saat KPK
menangkap Djoko Susilo terkait kasus simulator SIM. Ada kekhawatiran
hubungan tidak akur ini akan semakin menjadi dan mendarah daging dalam
internal kedua lembaga tersebut ketika KPK menetapkan Komjen BG menjadi
tersangka korupsi. Jika hal ini terus dibiarkan atau dipelihara akan
berimplikasi terhadap lemahnya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi
di Indonesia. KPK dan POLRI mestinya bergandengan tangan untuk
menegakkan hukum dan keadilan. Perseteruan tidak sehat ini bisa menjadi
masalah kronis yang akan menjalar, terus berlanjut dan bahkan akan
terwariskan dari periode ke periode kedua lembaga ini jika tidak ada
upaya untuk mengakhirinya. Hal ini tentunya merupakan tantangan terberat
bagi presiden Jokowi untuk melakukan pembenahan sistim dalam kedua
lembaga tersebut tentunya dengan konsep Revolusi Mental. Dalam
upaya pemberantasan korupsi khususnya yang menjadi prioritas dalam
rentetan kepemimpinan Jokowi –JK harus diawali dengan membenahi
institusi terkait. Perseteruan yang tengah berlanjut tersebut
mencerminkan bahwa lembaga penegak hukum kita masih sakit.
Selanjutnya
sebagai negara hukum, semua orang berhak mengambil langkah secara hukum
ketika menemukan kejanggalan atau ketidak adalilan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.Sebagai lembaga pemberantasan Korupsi KPK telah
mengambil langkah sebagai pengejewantahan dari tugasnya. Begitupun juga
dengan Mabes Polri. Keduanya sedang sama-sama menempuh jalur hukum. Kita
menghargai sikap mereka. Biarkan hukum mengalir seperti air. Namun yang
menjadi persoalan kemudian adalah, bagaimana jika KPK tidak mampu
membuktikan Komjen BG bersalah ataupun sebaliknya? Dan bagaimana pula
jika Intitusi Polri mampu membuktikan ataupun sebaliknya? Haruskah
perseteruan ini akan menjadi bola panas yang akhirnya mengindikasikan
bahwa salah satu dari kedua lembaga penegak hukum tersebut sudah tidak
netral dalam pelaksanaan tugasnya? Sehatkah intitusi hukum kita? Dan pertanyaan yang sangat penting adalah bagaimana masa depan penegakan hukum di Indonesia?Untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sehat harus diawali dengan menyehatkan lembaga pemerintahan didalamnya. Wallahualam…!
===Kota Santri, Lombok Timur, 21 Januari 2015, ditengah kesibukan menuntaskan tugas akhir yang kian mendesak.