Rabu, 21 Januari 2015

PERSETERUAN KPK VERSUS POLRI, INSTITUSI PENEGAK HUKUM DI INDONESIA MASIH SAKIT ?

 Oleh : Alif Babuju

Pencalonan Komisaris Jenderal Drs. Budi Gunawan sebagai calon tunggal Korps Bayangkara oleh Presiden Jokowi menyulut polemik ketika Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) secara tiba-tiba menetapkan jagoan Jokowi tersebut menjadi tersangka korupsi gratifikasi. Bagi banyak pihak, penetapan status tersangka Komjen Budi Gunawan oleh KPK dinilai  momentum yang  sarat akan kepentingan politik. Langkah KPK diduga sebagai upaya menjegal Komjen BG yang tengah menanjak menuju puncak kepemimpinan Polri. Hal ini setidaknya bisa dilihat dari beberapa pertanyaan publik, diantaranya “Mengapa penetapan status tersangka atas Komjen BG di berikan saat nama jenderal bintang tiga tersebut menjadi calon Kapolri ?”. Dilain sisi, tidak sedikit juga pihak yang mendukung sikap KPK karena dianggap langkah tepat dalam mengantisipasi pemimpin yang korup.

Jauh sebelum Jokowi mengusung Komjen BG sebagai calon tunggal Kapolri pada 9 Januari 2015 lalu melalui Surat Presiden nomor R-01/Pres/01/2015 perihal pemberhentian dan pengangkatan Kapolri, nama Komjen BG sempat muncul dalam daftar nama bakal calon  kabinet Jokowi – JK.   Dalam Penyusunan Kabinet Jokowi-JK yang dikenal dengan kabinet Tri Sakti, KPK dan PPATK turut serta dilibatkan yang kemudian dari hasil filterisasi memberikan Komjen BG raport merah.

Dalam beberapa sisi analisa, sikap Presiden Jokowi mengajukan Komjen BG sebagai calon tunggal Kapolri dianggap ngotot karena sudah mendapat konfirmasi sebelumnya tentang raport merah Komjen BG dari KPK. Anggapan ini membias hingga dikaitkan dengan kedekatan Komjen BG dengan Megawati(Baca: Komjen BG mantan ajudan Presiden Ke-5).  Dilain sisi, ada pula yang menginterpretasikan langkah Jokowi menunjuk Komjen BG sebagai calon Kapolri merupakan strategi jitu dalam memberantas korupsi. Sebab, publik tidak akan tinggal diam dengan label raport merah  Komjen BG ketika mendengar diusung lagi menjadi calon Kapolri. Benarkah demikian?

Kendati telah menyandang status tersangka, DPR RI melalui sidang paripurna uji kelayakan dan kepatutan, Kamis, 15 Januari 2015, tetap meloloskan Komjen BG menjadi calon Kapolri terpilih. Artinya, keputusan KPK tidak mempengaruhi jenjang prosedural yang dilewati Komjen BG dipihak dewan.

Perjalanan Komjen BG menuju tampuk pimpinan Polri nampak tersendat. Jika dalam proses pencalonan hingga uji kelayakan dan kepatutan oleh DPR RI status tersangka Komjen BG tidak menghalangi proses, tetapi bagi presiden Jokowi menjadi pertimbangan untuk menunda pelantikan Kapolri terpilih itu kemudian mengangkat Wakapolri Komjen Badrodin Haiti  sebagai Plt Kapolri. Tidak hanya menunda pelantikan Komjen BG sebagai akibat dari tersangkut kasus korupsi. Jokowi juga mendesak KPK untuk mempercepat proses hukum terhadap Komjen BG. Selain Jokowi, Menkopolhukam Tedjo Edhy Purdijatno pun  turut angkat bicara dengan menantang KPK untuk tuntaskan kasus tersebut. Serta masih banyak lagi desakan dari berbagai pihak  dengan nada yang sama menjurus ke KPK.

Bagi lembaga POLRI sendiri, penetapan Komjen BG sebagai tersangka korupsi oleh KPK merupakan tabuhan genderang perseteruan. Kedua lembaga penegak hukum tersebut ternyata memiliki versi yang berbeda terkait kasus Komjen BG. Jika KPK telah menetapkan Komjen BG menjadi tersangka dan kini disibukkan dengan penyelesaian kasus tersebut, malah pihak POLRI siap memberikan perlindungan Hukum dan membuktikan bahwa Komjen BG tidak bersalah. Bahkan Mabes Polri mempraperadilankan KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sikap KPK dan POLRI mencerminkan bahwa kedua lembaga tersebut tidak akur dalam menegakkan kebenaran di negeri ini, terutama dalam hal pemberantasan korupsi.

Perseteruan kedua lembaga penegak hukum tersebut, mengingatkan penulis pada pernyataan  mantan Kabagreskrim Mabes Polri Komjen Pol. Susno Duadji, pada tahun 2009 lalu,“cicak kok mau melawan buaya.” Pernyataan Susno Duadji yang mengistilahkan Cicak (KPK) dan Buaya (Polri)   memunculkan kepermukaan hubungan panas antara KPK dan POLRI serta menjadi tren kala itu. Lalu, istilah itu kembali mencuat  saat KPK  menangkap Djoko Susilo terkait kasus simulator SIM. Ada kekhawatiran hubungan tidak akur ini akan semakin menjadi dan mendarah daging dalam internal kedua lembaga tersebut ketika KPK menetapkan Komjen BG menjadi tersangka korupsi. Jika hal ini terus dibiarkan atau dipelihara akan berimplikasi terhadap lemahnya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia. KPK dan POLRI mestinya  bergandengan tangan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Perseteruan tidak sehat ini bisa menjadi masalah kronis yang akan menjalar, terus berlanjut dan bahkan akan terwariskan dari periode  ke periode kedua lembaga ini jika tidak ada upaya untuk mengakhirinya. Hal ini tentunya merupakan tantangan terberat bagi presiden Jokowi untuk melakukan pembenahan sistim dalam kedua lembaga tersebut tentunya dengan konsep Revolusi Mental. Dalam upaya pemberantasan korupsi khususnya yang menjadi prioritas dalam rentetan kepemimpinan Jokowi –JK harus diawali dengan membenahi institusi terkait. Perseteruan yang tengah berlanjut tersebut mencerminkan bahwa lembaga penegak hukum kita masih sakit.

Selanjutnya sebagai negara hukum, semua orang berhak mengambil langkah secara hukum ketika menemukan kejanggalan atau ketidak adalilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Sebagai lembaga pemberantasan Korupsi KPK telah mengambil langkah sebagai pengejewantahan dari tugasnya. Begitupun juga dengan Mabes Polri. Keduanya sedang sama-sama menempuh jalur hukum. Kita menghargai sikap mereka. Biarkan hukum mengalir seperti air. Namun yang menjadi persoalan kemudian adalah, bagaimana jika KPK tidak mampu membuktikan Komjen BG bersalah ataupun sebaliknya? Dan bagaimana pula jika Intitusi Polri mampu membuktikan ataupun sebaliknya? Haruskah perseteruan ini akan menjadi bola panas yang akhirnya mengindikasikan bahwa salah satu dari kedua lembaga penegak hukum tersebut sudah tidak netral dalam pelaksanaan tugasnya?  Sehatkah intitusi hukum kita? Dan pertanyaan yang sangat penting adalah bagaimana masa depan penegakan hukum di Indonesia?Untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sehat harus diawali dengan menyehatkan lembaga pemerintahan didalamnya. Wallahualam…!

===Kota Santri, Lombok Timur, 21 Januari 2015, ditengah kesibukan menuntaskan tugas akhir yang kian mendesak. 

Comments
1 Comments

1 komentar:

cv pengobatan mengatakan...

bagaimana negara mau maju, klo pemerintahannya sibuk berseteru seperti itu...

Posting Komentar

Kritik & Saran konstruktif Pembaca sangat Kami harapkan