Sabtu, 13 Desember 2014

SURAT TERBUKA UNTUK GUBERNUR NTB : TUAN GURU BAJANG ZAENUL MAJDI

Oleh : Paox Iben

Kak Tuan yang baik, apakabar?

Saya yakin Pelungguh tetap sehat karena saya dengar akhir-akhir ini Pelungguh rajin futsal dan main sepeda-sepedaan. Itu tentu sangat baik, selain menyehatkan juga memberi contoh agar rakyat senantiasa meluangkan waktu untuk bersantai dan bergembira.

Kak Tuan yang baik…

Sebenarnya saya agak malas-malasan menulis surat ini. Terutama setelah saya dihantam hujan badai pemberitaan tentang rencana keliling dunia dengan sepeda motor memperingati 2 abad meletusnya Gunung Tambora dan pemerintah akhirnya benar-benar mengamputasi program yang akan saya jalankan tersebut. Bukan apa-apa, sebagian public tentu akan nyinyir bahwa apa yang akan saya sampaikan ini hanyalah bagian dari orkes sakit hati saja. Tapi saya benar-benar jengah dan mual dengan berbagai pemberitaan baik di koran maupun yang lagi ramai sosmed terkait dengan pengelolaan kepariwisataan di NTB yang terkesan acakadul itu. Fenomena ini tentu tak hanya bisa dibaca sebagai perseteruan antar pihak seperti para pelaku pariwisata, Budpar, BPPD, ASITA, DPRD, pengamat, pemerhati dll tetapi juga sudah menyangkut keberhasilan program unggulan yang Pelungguh canangkan dibidang budaya dan pariwisata.

Ada apa sebenarnya?

Selama 3 tahun terakhir pemerintahan pelungguh jilid I, Pariwisata NTB benar-benar menjadi primadona. Saya yakin, tak ada kemajuan sepesat itu dalam pembangunan kepariwisataan di Indonesia, kecuali di NTB. Bali? Ah, siapapun tahu pariwisata Bali sudah tak tertandingi sejak zaman kolonial. Jadi itu bukan bandingan. Beberapa waktu yang lalu masyarakat benar-benar optimis, dan dampak kemajuan pariwisata NTB itu benar-benar bisa dirasakan oleh masyarakat meskipun belum maksimal benar diupayakan. Hampir setiap hari televisi dan media nasional memberitakan geliat pariwisata NTB. Tapi mengapa pada pemerintahan Jilid ke II ini sepertinya bidang budaya dan pariwisata justru semakin gamang dan tenggelam?  

Tentu bukan kapasitas saya untuk meminta penjelasan atau sekedar keterangan, sebab siapalah saya. Hanya gimbal kere, yang kebetulan bergulat dibidang kebudayaan dan sedikit banyak bersinggungan dengan kepariwisataan. Kritik itu tentu sangat baik, sepanjang masih dalam koridor untuk memperbaiki keadaan. Dan saya percaya, orang-orang yang banyak melakukan kritik terhadap kepariwisataan di media massa dan medsos itu ingin keadaan lebih baik.

Kak Tuan yang baik…

Saya berharap Pelungguh benar-benar segera membenahi sektor budaya dan pariwisata ini, tentu saja dengan merombak ulang seluruh struktur dinas dan badan-badan yang terkait dengan menempatkan orang-orang yang kompeten dibidangnya. Pelungguh tentu paham jika persoalan budaya dan pariwisata itu dua bidang yang sangat besar dan penting bagi NTB. Di tingkat pusat, bidang kebudayaan itu sudah dikembalikan ke Mendikbud, tetapi di NTB masih menjadi satu dibawah dinas Budpar. Tak mengapa. Bukan itu substansinya. Yang diharapkan masyarakat, terutama para pelaku budaya adalah kehadiran pemerintah daerah, serta keberpihakannya terhadap budaya dan (terutama) tradisi.

NTB ini merupakan daerah yang memiliki kazanah budaya yang sangat kaya dan sungguh beragam. Dari Bangko-bangko sampai ujung Sape terdapat ratusan entitas budaya yang tidak hanya sebatas tiga suku besar yakni Sasak, Samawa, Mbojo, tetapi juga ada Bugis, Selayar, Bajo, Jawa, Bali, Arab, Melayu, Tionghoa, Banjar, Sanggar (Kore), Donggo, Cek Bocek dll. Ada karakter Masyarakat laut, pesisiran, petani, peladang dan pegunungan. Apakah orang-orang yang duduk di Dinas Budpar memahami dengan baik keragaman ini? Saya tak melihat mereka suka belajar antropologi, sosiologi budaya, Semiotika dll. Apalagi wacana-wacana kebudayaan kontemporer. Itu juga tidak penting-penting amat sebenarnya. Tetapi bagaimana akan paham persoalan pengembangan kebudayaan di NTB ini jika tak memiliki “kegelisahan” budaya? Saya pribadi berharap setidaknya Dinas Budpar mau menyokong kajian-kajian kebudayaan di NTB dan melakukan kerja-kerja nyata untuk mensukseskan pembangunan kebudayaan di NTB. Dinas Budpar semestinya bisa menjadi fasilitator, mediator, agar setiap entitas budaya tersebut bisa mengembangkan diri dengan baik.

Bagaimana dengan kepariwisataan?

Pelungguh tentu tahu jika bidang kepariwisataan itu merupakan bidang industri paling maju. Futurolog Alvin Toffler sudah mengingatkan bahwa saat ini kita sudah memasuki Gelombang Revolusi Ekonomi Keempat. Gelombang ekonomi pertama adalah masyarakat agraris. Gelombang ekonomi kedua adalah masyarakat industry manufactur. Gelombang ketiga adalah ekonomi yang berbasis IT. Sedang gelombang ekonomi keempat adalah ekonomi kreatif yang bisa diterjemahkan sebagai PARIWISATA. Bagaimana kita akan memasuki gelombang revolusi ekonomi keempat jika kepala dinas anda tidak jago berbahasa inggris? Para punggawa Pelungguh di Budpar tentu memiliki gadget dan smartphone tapi tidak jago memainkan jaringan media local, nasional maupun internasional, bahkan sekedar sharing2 info di sosmed? Bagimana mau cas cic cus dengan pemilik hotel atau investor di Abudabi, Dubai, Paris, London atau New York jika tidak memiliki mental petarung yang kuat dan kosmopolit?

Saya hanya membayangkan, seorang kepala dinas pariwisata dan punggawanya itu orang yang rada2 gaul-lah. Setidaknya suka nongkrong dengan seniman dan komunitas adat, suka menyapa para wisatawan yang sudah jauh-jauh datang kemari dan menghabiskan ribuan dollar di NTB, bikin deal dan pertemuan dengan para pimpinan travel agent dan perhotelan, suka blusukan ke pengrajin, jago memainkan issue di media untuk menarik wisatawan dan terpenting ; tahu persoalan serta memiliki visi yang utuh tentang kepariwisataan. Apakah harapan ini muluk-muluk? Saya kira tidak terlalu sulit mencari sosok/orang-orang seperti itu di NTB.

Kak Tuan yang baik…

Tinggal menghitung hari lagi kita akan menghadapi AFTA 2015. Banyak sekali persoalan kepariwisataan di NTB yang belum tertuntaskan; dari soal konflik agraria, penataan destinasi di pulau Lombok dan Sumbawa, peningkatan kualitas SDM lokal agar tidak jadi penonton dirumah sendiri, target wisatawan yang harus terpenuhi, promosi yang gak jelas sasarannya, serta masalah-masalah "sepele" seperti pengelolaan sampah di Gunung Rinjani, Gili trawangan dll yang bisa menjadi Bom Waktu.

Tahun 2015 ini saya percaya akan menjadi tahun penentuan ke arah mana pariwisata NTB akan dibawa. Apalagi sejak Presiden Jokowi memangkas belanja meeting dan menteri PAN melarang pegawai negeri bikin acara di hotel, pariwisata NTB yang selama ini-sejujurnya- banyak bergantung pada program MICE tentu sangat dirugikan. Saya dengar PHRI sudah berteriak-teriak karena ada lebih dari 1000 orang pekerja hotel yang terancam akan dirumahkan akibat kebijakan tersebut. Belum lagi kerugian yang diderita sector riil seperti pengrajin, pedagang souvenir, penjaja makanan (kuliner), tukang pijat dll. Meskipun nantinya pemerintah pusat merevisi kebijakan tersebut, saya kira sudah saatnya NTB tidak lagi bergantung pada MICE yang diadakan pemerintah pusat, tetapi harus beralih ke real tourism. Itu hanya bisa dilakukan apabila dinas yang Pelungguh tugaskan mampu bekerja secara maksimal sesuai dg visi dan orientasi yang Pelungguh canangkan.

Sebagai rakyat, saya hanya bisa berharap semoga anda bisa menjaga amanah untuk mensejahterakan masyarakat, salah satunya melalui sector pariwisata ini.

Wassalam

Paox Iben
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Kritik & Saran konstruktif Pembaca sangat Kami harapkan