Oleh : Paox Iben
Kak Tuan yang baik, apakabar?
Saya
yakin Pelungguh tetap sehat karena saya dengar akhir-akhir ini
Pelungguh rajin futsal dan main sepeda-sepedaan. Itu tentu sangat baik,
selain menyehatkan juga memberi contoh agar rakyat senantiasa meluangkan
waktu untuk bersantai dan bergembira.
Kak Tuan yang baik…
Sebenarnya
saya agak malas-malasan menulis surat ini. Terutama setelah saya
dihantam hujan badai pemberitaan tentang rencana keliling dunia dengan
sepeda motor memperingati 2 abad meletusnya Gunung Tambora dan
pemerintah akhirnya benar-benar mengamputasi program yang akan saya
jalankan tersebut. Bukan apa-apa, sebagian public tentu akan nyinyir
bahwa apa yang akan saya sampaikan ini hanyalah bagian dari orkes sakit hati saja.
Tapi saya benar-benar jengah dan mual dengan berbagai pemberitaan baik
di koran maupun yang lagi ramai sosmed terkait dengan pengelolaan
kepariwisataan di NTB yang terkesan acakadul itu. Fenomena ini tentu tak
hanya bisa dibaca sebagai perseteruan antar pihak seperti para pelaku
pariwisata, Budpar, BPPD, ASITA, DPRD, pengamat, pemerhati dll tetapi
juga sudah menyangkut keberhasilan program unggulan yang Pelungguh
canangkan dibidang budaya dan pariwisata.
Ada apa sebenarnya?
Selama
3 tahun terakhir pemerintahan pelungguh jilid I, Pariwisata NTB
benar-benar menjadi primadona. Saya yakin, tak ada kemajuan sepesat itu
dalam pembangunan kepariwisataan di Indonesia, kecuali di NTB. Bali? Ah,
siapapun tahu pariwisata Bali sudah tak tertandingi sejak zaman
kolonial. Jadi itu bukan bandingan. Beberapa waktu yang lalu masyarakat
benar-benar optimis, dan dampak kemajuan pariwisata NTB itu benar-benar
bisa dirasakan oleh masyarakat meskipun belum maksimal benar diupayakan.
Hampir setiap hari televisi dan media nasional memberitakan geliat
pariwisata NTB. Tapi mengapa pada pemerintahan Jilid ke II ini
sepertinya bidang budaya dan pariwisata justru semakin gamang dan
tenggelam?
Tentu bukan kapasitas saya untuk meminta penjelasan atau sekedar keterangan, sebab siapalah saya. Hanya gimbal kere,
yang kebetulan bergulat dibidang kebudayaan dan sedikit banyak
bersinggungan dengan kepariwisataan. Kritik itu tentu sangat baik,
sepanjang masih dalam koridor untuk memperbaiki keadaan. Dan saya
percaya, orang-orang yang banyak melakukan kritik terhadap
kepariwisataan di media massa dan medsos itu ingin keadaan lebih baik.
Kak Tuan yang baik…
Saya
berharap Pelungguh benar-benar segera membenahi sektor budaya dan
pariwisata ini, tentu saja dengan merombak ulang seluruh struktur dinas
dan badan-badan yang terkait dengan menempatkan orang-orang yang
kompeten dibidangnya. Pelungguh tentu paham jika persoalan budaya dan
pariwisata itu dua bidang yang sangat besar dan penting bagi NTB. Di
tingkat pusat, bidang kebudayaan itu sudah dikembalikan ke Mendikbud,
tetapi di NTB masih menjadi satu dibawah dinas Budpar. Tak mengapa.
Bukan itu substansinya. Yang diharapkan masyarakat, terutama para pelaku
budaya adalah kehadiran pemerintah daerah, serta keberpihakannya
terhadap budaya dan (terutama) tradisi.
NTB ini merupakan
daerah yang memiliki kazanah budaya yang sangat kaya dan sungguh
beragam. Dari Bangko-bangko sampai ujung Sape terdapat ratusan entitas
budaya yang tidak hanya sebatas tiga suku besar yakni Sasak, Samawa,
Mbojo, tetapi juga ada Bugis, Selayar, Bajo, Jawa, Bali, Arab, Melayu,
Tionghoa, Banjar, Sanggar (Kore), Donggo, Cek Bocek dll. Ada karakter
Masyarakat laut, pesisiran, petani, peladang dan pegunungan. Apakah
orang-orang yang duduk di Dinas Budpar memahami dengan baik keragaman
ini? Saya tak melihat mereka suka belajar antropologi, sosiologi budaya,
Semiotika dll. Apalagi wacana-wacana kebudayaan kontemporer. Itu juga
tidak penting-penting amat sebenarnya. Tetapi bagaimana akan paham
persoalan pengembangan kebudayaan di NTB ini jika tak memiliki
“kegelisahan” budaya? Saya pribadi berharap setidaknya Dinas Budpar mau
menyokong kajian-kajian kebudayaan di NTB dan melakukan kerja-kerja
nyata untuk mensukseskan pembangunan kebudayaan di NTB. Dinas Budpar
semestinya bisa menjadi fasilitator, mediator, agar setiap entitas
budaya tersebut bisa mengembangkan diri dengan baik.
Bagaimana dengan kepariwisataan?
Pelungguh
tentu tahu jika bidang kepariwisataan itu merupakan bidang industri
paling maju. Futurolog Alvin Toffler sudah mengingatkan bahwa saat ini
kita sudah memasuki Gelombang Revolusi Ekonomi Keempat.
Gelombang ekonomi pertama adalah masyarakat agraris. Gelombang ekonomi
kedua adalah masyarakat industry manufactur. Gelombang ketiga adalah
ekonomi yang berbasis IT. Sedang gelombang ekonomi keempat adalah
ekonomi kreatif yang bisa diterjemahkan sebagai PARIWISATA. Bagaimana
kita akan memasuki gelombang revolusi ekonomi keempat jika kepala dinas
anda tidak jago berbahasa inggris? Para punggawa Pelungguh di Budpar
tentu memiliki gadget dan smartphone tapi tidak jago memainkan jaringan
media local, nasional maupun internasional, bahkan sekedar sharing2 info
di sosmed? Bagimana mau cas cic cus dengan pemilik hotel atau
investor di Abudabi, Dubai, Paris, London atau New York jika tidak
memiliki mental petarung yang kuat dan kosmopolit?
Saya
hanya membayangkan, seorang kepala dinas pariwisata dan punggawanya itu
orang yang rada2 gaul-lah. Setidaknya suka nongkrong dengan seniman dan
komunitas adat, suka menyapa para wisatawan yang sudah jauh-jauh datang
kemari dan menghabiskan ribuan dollar di NTB, bikin deal dan pertemuan
dengan para pimpinan travel agent dan perhotelan, suka blusukan ke
pengrajin, jago memainkan issue di media untuk menarik wisatawan dan
terpenting ; tahu persoalan serta memiliki visi yang utuh tentang
kepariwisataan. Apakah harapan ini muluk-muluk? Saya kira tidak terlalu
sulit mencari sosok/orang-orang seperti itu di NTB.
Kak Tuan yang baik…
Tinggal
menghitung hari lagi kita akan menghadapi AFTA 2015. Banyak sekali
persoalan kepariwisataan di NTB yang belum tertuntaskan; dari soal
konflik agraria, penataan destinasi di pulau Lombok dan Sumbawa,
peningkatan kualitas SDM lokal agar tidak jadi penonton dirumah sendiri,
target wisatawan yang harus terpenuhi, promosi yang gak jelas
sasarannya, serta masalah-masalah "sepele" seperti pengelolaan sampah di Gunung Rinjani, Gili trawangan dll yang bisa menjadi Bom Waktu.
Tahun
2015 ini saya percaya akan menjadi tahun penentuan ke arah mana
pariwisata NTB akan dibawa. Apalagi sejak Presiden Jokowi memangkas
belanja meeting dan menteri PAN melarang pegawai negeri bikin acara di
hotel, pariwisata NTB yang selama ini-sejujurnya- banyak bergantung pada
program MICE tentu sangat dirugikan. Saya dengar PHRI sudah
berteriak-teriak karena ada lebih dari 1000 orang pekerja hotel yang
terancam akan dirumahkan akibat kebijakan tersebut. Belum lagi kerugian
yang diderita sector riil seperti pengrajin, pedagang souvenir, penjaja
makanan (kuliner), tukang pijat dll. Meskipun nantinya pemerintah pusat
merevisi kebijakan tersebut, saya kira sudah saatnya NTB tidak lagi
bergantung pada MICE yang diadakan pemerintah pusat, tetapi harus
beralih ke real tourism. Itu hanya bisa dilakukan apabila dinas
yang Pelungguh tugaskan mampu bekerja secara maksimal sesuai dg visi
dan orientasi yang Pelungguh canangkan.
Sebagai rakyat,
saya hanya bisa berharap semoga anda bisa menjaga amanah untuk
mensejahterakan masyarakat, salah satunya melalui sector pariwisata ini.
Wassalam
Paox Iben