Selasa, 16 Desember 2014

GERIMIS DI PAGI ITU(Potret Pagi Kita)


Oleh : Alif Babuju

Pagi itu langit nampak cemerlang saat fajar hendak menyinsing diufuk timur. Entalah dicekung langit yang jauh dari tempatku.  Namun dibawah cakrawala dimana aku berada tak setitikpun gumpalan awan. Nuansa cuaca pagi itu menyimpul dalam benakku bahwa hujan  enggan tumpah. Ini memang musim hujan. Aku terlalu jenuh dengan musim hujan yang hampir semua orang merindukkannya ketika kemarau melanda. Musim hujan menimbulkan becek dimana-mana terkadang membuatku risih berpijak menjalankan akivitas keseharian.
Sejak lantunan bait suci dan suara adzan subuh menyusul pada corong masjid, aku sudah bangun. Tak seperti biasanya, aku rasa ada yang beda dipagi itu. Bukan sekedar karena langitnya yang cerah sehinggga aku bisa lebih leluasa beraktivitas. Lebih dari itu. Secarik rindu akan kebiasaan itu memantik dari relung sukma. Merangkum segala cerita yang biasanya kita jalani hampir setiap pagi kala itu. Rindu yang membuatku melamun.
Biasanya setiap pagi usai kita bersimpuh sujud diatas sajadah, kau telah sibuk dengan urusan rumah. Mulai dari membersihkan tempat tidur, menyapuh rumah dan halaman, meyirami bunga, dan membuat sarapan. Ada hal yang tak pernah engkau lupakan sebelum semua itu engkau kerjakan. Kopi jahe kesukaanku selalu kau seduh terlebih dulu lalu kau sajikan dengan beberapa lempeng kue buatanmu. Suara mesramu turut meramu mempersilahkanku menikmatinya. Kecupanmu yang juga tak alpa menyentuh jidatku.
Sudah berapa pagi yang  terlewatkan sejak kepergianmu. Aroma kopi itu juga tak  terseduh lagi untukku. Suara panggilan dan kecupan mesramu nihil. Riak aktivitas pagimu tak lagi menghias rumah kita. Aku rindu itu. Kapan akan terulang seperti sedia kala?
Tak seperti yang kuperkirakan. Dikala aku larut mengenang  potret pagi kita. Ada riak cucuran pada atap rumah.  Aku beranjak keluar untuk memastikan suara itu. Rupanya gerimis mengguyur. Ceceran dedaunan dan sampah dipelataran halaman yang sudah lama tak disapu basah. Apakah ini isyarat bahwa pagi kita yang semestinya tidak akan kembali?
Akh, ini memang musim hujan…! gumamku menyangkal isyarat alam.  Jenuhku kembali mendera. Melihat gerimis pagi itu, aku yang seharusnya bersiap-siap untuk pergi mengurungkan niat. Aku beranjak kembali ke kamar merebahkan tubuh ditempat tidur. Menarik selimut lalu berselubung.
 (Gerimis Merindu, 17 Desember 2014)
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Kritik & Saran konstruktif Pembaca sangat Kami harapkan