Oleh
: Riny Hidayati Happyclalu
Drap...drap…drapp...! Sayup – sayup kudengar suara langkah kaki dan bunyi roda ranjang pasien yang didorong. Suara itu
semakin lama semakin jelas terdengar . “Pasti ada pasien baru lagi,” gumamku dalam hati. Sudah
tiga tahun aku terbaring di rumah sakit ini. Bukan sebagai perawat ataupun
petugas tapi sebagai pasien. Terbaring dilantai
tiga di kamar ini dan diranjang yang sama sejak pertama masuk rumah sakit tanpa
pernah berpindah dan tidak mampu pergi
kemanapun.
Kutatap pasien baru yang
terbaring lemah disamping ranjang kamar inapku. Seorang remaja putri yang kuperkiraan
berusia sekitar delapan belasan tahun. Air
mata nampak mengalir dikedua belah pipinya sedang bibirnya tak henti
mengeluarkan suara rintihan. Hal itu
menggambarkan jelas kesakitan yang sedang dia alami. Merasa iba dengan keadaan
gadis remaja itu, aku larut dalam
suasana hingga lupa kalau aku juga pasien yang mengalami hal sama seperti dia.
“Pasien dari mana tu mbak?” Tanya ku pada mbak Siti perawat yang sedang piket malam ini.
“Pasien dari mana tu mbak?” Tanya ku pada mbak Siti perawat yang sedang piket malam ini.
“Tanya sendiri aja, lebih enakkan, sekarang kamu punya teman baru lagi,
jangan nyusahin ea.” Canda mbak Siti sambil tersenyum ramah padaku.
Selama tiga tahun menjalani rawat inap di rumah sakit ini memang sudah membuatku akrab dengan semua perawat dan petugas. Bahkan aku sudah terkenal dikalangan pasien dan penjaga pasien di dilantai tiga ini, terkenal karna kisah memilukan kenapa aku dirawat begitu lama dirumah sakit ini yang telah menjadi buah bibir para pasien, perawat dan penjaga.
Selama tiga tahun menjalani rawat inap di rumah sakit ini memang sudah membuatku akrab dengan semua perawat dan petugas. Bahkan aku sudah terkenal dikalangan pasien dan penjaga pasien di dilantai tiga ini, terkenal karna kisah memilukan kenapa aku dirawat begitu lama dirumah sakit ini yang telah menjadi buah bibir para pasien, perawat dan penjaga.
Terbawah dan turut merasakan kesakitan yang
dirasakan pasien itu, aku bahkan tidak menyadari jika kamar inapku sudah penuh
oleh keluarga pasien itu. Riak tangis, suara harapan, tegang, dan bingung
nampak menyelimuti mereka mengundang haru. Tapi aku sudah biasa dengan suasana ini, karena suasana ini
kerap aku saksikan jika ada pasien baru yang datang. Terkadang hal itu
membuatku iri dengan mereka, iri dengan keluarga yang mereka miliki dan keluarga yang
menyayangi mereka.
Keesokan harinya suasana
mulai tenang, aku baru tahu jika pasien
baru itu bernama Yati. Semakin hari aku semakin akrab dengan Yati, selalu
berada diruangan yang sama setiap saat membuatku merasa bersahabat dengan dia dan keluarganya. Keluarga Yati tak pernah segan untuk membantuku disaat
ku membutuhkan. Di saat kondisiku yang
seperti ini, aku tak mampu melakukan apapun tanpa bantuan orang lain, orang-orang
seperti merekalah yang kubutuhkan. Orang-orang yang tulus membantuku dan selalu
menghiburku. Kehadiran merekalah yang dapat membuatku berhenti meratapi
kelamnya kehidupanku dirumah sakit.
Di rumah sakit ini aku
hanya tinggal bersama baby sister yang
disewakan suatu LSM untukku. Seorang wanita yang bertugas membersihkan pakaianku, memenuhi segala kebutuhan yang tak
mampu kulakukan sendiri dan untuk tetap berada disampingku. Dia memang bukan
keluargaku. Tapi, lama bersamanya membuat kami merasa seperti keluarga, tertawa
bersama dan saling berbagi kisah, itu cukup menghiburku di sepinya hari yang
kujalani .
Aku berada di lantai
tiga RSU Mataram, kamar kemuning nomor
214. Ruangan ini adalah tempat khusus bagi pasien luka dan patah tulang. Aku tentunya
termasuk pasien patah tulang dengan
kondisi luka yang parah sehingga membuatku harus bertahan disini selama tiga
tahun. Aku patah tulang di bagian tulang belakang atau tulang penumpu. Hal itu
membuatku lumpuh. Aku hanya bisa berbaring tanpa bisa melakukan apapun. Tak ada
yang mampu kulakukan selain menggerakan tangan atau hanya sekedar menggerakan
kakiku. Kondisiku sangat lemah, aku hanya bisa makan dan buang air di atas
tempat tidur. Mungkin bagi kalian itu terasa menjijikan, jujur aku juga
merasakan hal yang sama tapi apa daya tak ada yang mampu kulakukan. Takdirlah yang
membuatku seperti ini. Jangankan untuk pergi
membuang kotoranku kekamar mandi, sekedar merasakan buang air besar saja
aku tak bisa, tubuhku mati rasa. Bahkan untuk membalikan tubuh dan menggerakan
kakipun aku tak mampu melakukannya tanpa bantuan orang lain.
Bukan hanya itu saja penderitaanku. Terkapar lemas selama bertahun-tahun tanpa mampu membalikan tubuhku dan melakukan aktivitas lainnya malah menimbulkan efek samping bagiku. Punggungku panas, lama mengalami tekanan dan mendekam justru membuat aku terserang dukibitus yang cukup besar di punggungku. Sejenis luka lebar berbentuk daging cairan. Bahkan kau bisa melihat denyut-denyut uratku secara langsung akibat luka tersebut. Salah satu OB disini memanggilku sinder bolong dan tidak hanya dia terkadang penunggu pasien dan pasien lainnya juga memanggilku seperti itu. Keadaan itulah yang membuatku harus lama bertahan ditempat ini. Plasma yang keluar dari luka dipunggungku menimbulkan bau tak sedap yang sangat menyengat. Apalagi disaat aku membuang kotoran di pampersku. Tak jarang hal itu sangat menggangu pasien lain. Mereka segera keluar dengan menutup hidung. Bahkan tak jarang dari mereka yang mengeluarkan kata-kata kotor untuk memakiku. Aku sedih, aku ingin marah, tapi aku tak kuasa. Aku hanya bisa mempertebal muka untuk menahan rasa malu.
Bukan hanya itu saja penderitaanku. Terkapar lemas selama bertahun-tahun tanpa mampu membalikan tubuhku dan melakukan aktivitas lainnya malah menimbulkan efek samping bagiku. Punggungku panas, lama mengalami tekanan dan mendekam justru membuat aku terserang dukibitus yang cukup besar di punggungku. Sejenis luka lebar berbentuk daging cairan. Bahkan kau bisa melihat denyut-denyut uratku secara langsung akibat luka tersebut. Salah satu OB disini memanggilku sinder bolong dan tidak hanya dia terkadang penunggu pasien dan pasien lainnya juga memanggilku seperti itu. Keadaan itulah yang membuatku harus lama bertahan ditempat ini. Plasma yang keluar dari luka dipunggungku menimbulkan bau tak sedap yang sangat menyengat. Apalagi disaat aku membuang kotoran di pampersku. Tak jarang hal itu sangat menggangu pasien lain. Mereka segera keluar dengan menutup hidung. Bahkan tak jarang dari mereka yang mengeluarkan kata-kata kotor untuk memakiku. Aku sedih, aku ingin marah, tapi aku tak kuasa. Aku hanya bisa mempertebal muka untuk menahan rasa malu.
Dalam benakku ingin berteriak, “Bukan aku yang menginginkan ini…!, Akupun
ingin seperti kalian…!, ingin bisa berlari seperti kalian…! Tapi, aku tak
mampu. Harusnya kalian bersyukur dengan kondisi kalian yang sempurna bukan
malah mengejek, memaki dan mencemohku.. !”
Namun sadar akan keadaanku yang bau, kotor dan mungkin
bahkan dianggap hina dan menjijikan,
membuatku mengurungkan niat untu berteriak. Tapi, aku ini hidup, aku bisa
mendengar kalian. Akupun berperasaan seperti kalian. Aku juga ingin dihargai. Aku
juga bisa merasa sedih dan marah walaupun aku tak dapat mengungkapkannya secara
langsung. Gumamku dalam hati.
Bukan hanya pasien, penunggu,
atau para Cleaning service saja yang membuatku merasa sedih. Bahkan aku
pun mendapat kesedihan lain dari beberapa perawat. Karena keadaan tubuh dan
lukaku yang menjijikan hanya beberapa saja perawat yang bersedia membersihkan
lukaku. Sebagian dari mereka merasa jijik
dengan lukaku ini.
“Tuhan…! sebegitu menjijikkah aku sampai mereka semua menjauhiku ? Akupun tak menginginkan ini. Tapi mengapa aku harus mengalaminya Tuhan? Cobaan-Mu yang kualami ini bukan hanya membuatku merasakan sakit fisik Namun, bathinku juga turut tersiksa.”
“Tuhan…! sebegitu menjijikkah aku sampai mereka semua menjauhiku ? Akupun tak menginginkan ini. Tapi mengapa aku harus mengalaminya Tuhan? Cobaan-Mu yang kualami ini bukan hanya membuatku merasakan sakit fisik Namun, bathinku juga turut tersiksa.”
Meski demikian, aku
tetap berusaha tegar. Kutahan perihku, dan ku yakinkan akan tiba saatnya aku
sembuh. Aku akan sehat dan mampu beraktivitas seperti mereka. Dibalik sedih dan
deritaku akupun masih bersyukur karena Tuhan masih menyisakan orang-orang
berhati mulia untukku. Selama bertahun-tahun lamanya aku tertidur diatas
ranjang ini. Tanpa sanak saudara yang mengunjungiku. Aku tak
pernah merasa kesepian karena tak sedikit orang yang prihatin serta memberikan
perhatian untukku. Bahkan kehadiran orang-orang pesakitan dikamar yang berpenghuni tiga pasien ini terkadang
membuat kami merasa sependeritaan, dan
bersaudara, tawa dan tangis silih berganti bersama mereka menghibur hari-hariku di rumah
sakit ini.
*******
Namaku Selvi. Umurku 28
tahun. Faktor ekonomi yang memilukan memaksaku untuk bekerja menjadi TKW di Saudi
Arabia. Semenjak aku lulus SMP. Kepergian Ibu yang kucintai untuk selamanuya,
merubah suasana harmonis keluargaku. Kini, rumahku seperti neraka bagiku
setelah ayahku menikah lagi. Hal ini juga yang membulatkan
tekadku untuk mengadu nasib menjadi TKW.
Aku tiga bersaudara. Aku pergi merantau bersama kakak perempuan yang hingga saat ini entah dimana. Tak pernah
kulihat lagi kehadirannya semenjak pembagian lokasi kerja kami di Saudi Arabia.setelah
sekian lama menjadi TKW di Saudi sebuah kecelakaan menimpaku. Aku tergelincir dari
lantai dua rumah majikanku yang menyebabkan tulangku punggungku patah hingga
akupun lumpuh. Berbagai macam pengobatan medis di Saudi telah kujalani demi
mencampai kesembuhanku, hingga pada akhirnya pihak rumah sakitpun angkat tangan
dan menyerah. Pihak pengelola tenaga kerjapun mengembalikanku ke Indonesia. Aku
dikembalikan ke daerah asalku, Sumbawa, tempat kelahiranku. Sekian lama hidup
di Saudi membuatku tak tahu akan kematian Ayahku serta hilangnya kakak perempuanku.
Saat ini hanya kakak laki-laki serta Ipa ku saja yang masih kumiliki sebagai keluarga. Kepada
kakak dan iparkulah selama ini
kukirimkan gaji-gajiku selama menjadi TKI di Saudi. Gaji-gaji yang kucari
hingga membuatku lumpuh namun tak sepeserpun dapat kunikmati hasil keringatku itu.
Kepulanganku yang
mendadak dengan kondisi yang lumpuh membuat banyak orang kaget dan
membicarakanku. Awalnya kakak dan kakak ipar
ku merawat ku dengan baik. Berbagai macam pengobataan tradisional di tempuh
untuk ksesembuhanku. Namun, bukannya semakin membaik kondisiku justru kian
bertambah parah. Kondisi ku yang hanya bisa
terbaring membuat kulit di punggungku kian panas dan melepuh, terkikis
dan mengeluarkan bau yang cukup menyengat. Kondisiku yang makin parah dan menyulitkan,
membuat saudara dan kakak iparku menempatkan aku di dalam kandang kuda dengan hanya berlapiskan selembar tikar lusuh.
Hari demi hari kujalani
berada dikandang kuda yang bau dan kotor mengakibatkan luka ditubuhku menjadi
infeksi dan semakin parah. Tak ada seorangpun yang memperhatikanku dan
mengetahui keadaanku. Hari-hari kujalani dengan rasa sakit dan sepi seolah
dunia telah melupakanku. Satu-satunya harapanku saat itu hanyalah sentuhan
hangat sang Penciptaku. “Tuhan dibalik semua derita dan sepiku saat ini aku
yakin jika kau takkan pernah meninggalkanku.” Do,aku setiap saat.
Di saat tak ada seorangpun yang memperhatikaku, disaat tak
ada kasih yang mampu tuk menjadi pelabuhan deritaku, di balik setiap tetes
airmata yang menemani hariku dalam sakit dan kehampaan yang kujalani, aku yakin
Tuhan ada bersamaku. Tuhan selalu melihatku.
Dalam keadaan seperti
ini, aku nyaris putus asa. Merajut asa yang tersisa aku sering bertanya dalam
hatiku, “Tuhan kapan ini kan berakhir ?, Tuhan aku yakin Engkau melihatku,
Engkau menyayangiku dan Engkau selalu ada bersamaku. Pasti Engaku takkan
memberi cobaan melebihi batas kemampuanku. Aku lelah dengan semua ini Tuhan…, Kumohon akhiri deritaku ini Tuhan.” Harapku.
Ternyata benar jika Tuhan
itu maha penyayang. Dibalik kesabaranku Tuhan menjawab pertanyaanku. Seorang
Wanita dari Bali datang berkunjung kerumah kakakku dan prihatin melihat
kondisiku. Wanita tersebut bermama Marni dan aku biasa memanggilnya Bik Marni.
Dia berusaha mecari bantuan untuk menanganiku. Sampai pada akhirnya usahanya
mendapatkan persetujuan bantuan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Lembaga ini bersedia
membawaku kerumah sakit dan menanggung semua biaya dan kebutuhanku selama
proses penyembuhan. Karena Rumah sakit Sumbawa tak mampu untuk menangani
kondisiku, akupun dibawa ke rumah sakit Provinsi RSU Mataram. Aku pergi menuju
RSU Mataram ditemani oleh Bik Marni, seorang dari utusan LSM yang mebiayai
pengobatank, serta kakak dan Iparku.
Kakak dan Iparku menemani aku selama dua minggu menjalani perawatan di RSU Mataram. Setelah dua minggu kemudian, merekapun pergi meninggalkan aku begitu saja. Saat itu merupakan saat pertama dan terakhir kalinya kakak dan saudara Iparku menemaniku di Rumah sakit. Mereka menjagaku selama dua minggu dan pergi begitu saja menelantarkanku di rumah sakit seorang diri.
Kakak dan Iparku menemani aku selama dua minggu menjalani perawatan di RSU Mataram. Setelah dua minggu kemudian, merekapun pergi meninggalkan aku begitu saja. Saat itu merupakan saat pertama dan terakhir kalinya kakak dan saudara Iparku menemaniku di Rumah sakit. Mereka menjagaku selama dua minggu dan pergi begitu saja menelantarkanku di rumah sakit seorang diri.
Dalam kondisi dan
keadaan seperti itu, aku merasa terasing, sedih, kesepian dan bingung. “Dengan
kondisiku yang seperti ini apa yang bisa kulakukan seorang diri Tuhan ?”, Jangankan
untuk mengurus sendiri semua keperluanku, untuk sekedar menggerakan badan saja
aku tak mampu. Tuhan ujian apa lagi yang kau berikan? Kufikir penderitaanku
akan segera berakhir, kufikir kehadiran bik Marni merupakan awal tuk hadirnya
masa bahagiaku. Tapi kenapa malah cobaan lagi yang Engkau berikan?”
Tapi, dalam sedih dan dan keadaanku yang nyaris putus asa, aku percaya. Aku yakin semua ini akan berakhir. Aku yakin semua akan indah pada waktunya. Kuatkanlah Hamba hingga saat bahagia itu datang. Kuatkan aku Ya Allah, kuatkanlah hamba MU yang lemah dan tak berdaya ini, ampunilah hamba Mu yang selalu mengeluh dan tak bersyukur ini.
Tapi, dalam sedih dan dan keadaanku yang nyaris putus asa, aku percaya. Aku yakin semua ini akan berakhir. Aku yakin semua akan indah pada waktunya. Kuatkanlah Hamba hingga saat bahagia itu datang. Kuatkan aku Ya Allah, kuatkanlah hamba MU yang lemah dan tak berdaya ini, ampunilah hamba Mu yang selalu mengeluh dan tak bersyukur ini.
(Kamar Kost, 30 November 2014)
***Terinspirasi dari Kisah Nyata.