Sabtu, 01 November 2014

Masih Adakah Kasih-MU untukku ?

- Sebuah Cerpen
(Anggota Korps HMI-Wati Komisariat STKIP Hamzanwadi Selong) 


         
           Drap...drap…drapp...!  Sayup – sayup kudengar suara langkah kaki  dan bunyi  roda ranjang pasien yang didorong. Suara itu semakin lama semakin jelas terdengar . “Pasti ada  pasien baru lagi,”  gumamku dalam hati. Sudah tiga tahun aku terbaring di rumah sakit ini. Bukan sebagai perawat ataupun petugas tapi sebagai pasien. Terbaring  dilantai tiga di kamar ini dan diranjang yang sama sejak pertama masuk rumah sakit  tanpa  pernah berpindah  dan tidak mampu pergi kemanapun. 
          Kutatap pasien baru yang terbaring lemah disamping ranjang kamar inapku. Seorang remaja putri yang kuperkiraan berusia sekitar delapan belasan tahun. Air  mata nampak mengalir dikedua belah pipinya sedang bibirnya tak henti mengeluarkan suara rintihan.  Hal itu menggambarkan jelas kesakitan yang sedang dia alami. Merasa iba dengan keadaan gadis remaja itu,  aku larut dalam suasana hingga lupa  kalau aku  juga pasien  yang mengalami hal sama seperti dia. 
“Pasien dari mana tu mbak?” Tanya ku pada mbak  Siti perawat yang sedang piket malam ini.
“Tanya sendiri aja, lebih  enakkan, sekarang kamu punya teman baru lagi, jangan nyusahin ea.”  Canda mbak Siti sambil tersenyum ramah padaku.
           Selama tiga tahun menjalani rawat inap di rumah sakit ini memang sudah membuatku akrab dengan semua perawat dan petugas. Bahkan aku sudah terkenal dikalangan pasien dan penjaga pasien di dilantai tiga ini, terkenal karna kisah memilukan kenapa aku dirawat begitu lama dirumah sakit ini yang telah menjadi buah bibir para pasien, perawat dan penjaga.
          Terbawah dan turut merasakan kesakitan yang dirasakan pasien itu, aku bahkan tidak menyadari jika kamar inapku sudah penuh oleh keluarga pasien itu. Riak tangis, suara harapan, tegang, dan bingung nampak menyelimuti mereka mengundang haru. Tapi aku sudah  biasa dengan suasana ini, karena suasana ini kerap aku saksikan jika ada pasien baru yang datang. Terkadang hal itu membuatku iri dengan mereka, iri dengan keluarga  yang mereka miliki dan keluarga yang menyayangi mereka.
        Keesokan harinya suasana mulai tenang, aku baru tahu jika  pasien baru itu bernama Yati. Semakin hari aku semakin akrab dengan Yati, selalu berada diruangan yang sama setiap saat membuatku merasa bersahabat  dengan dia dan keluarganya.  Keluarga  Yati tak pernah segan untuk membantuku disaat ku membutuhkan. Di saat  kondisiku yang seperti ini, aku tak mampu melakukan apapun tanpa bantuan orang lain, orang-orang seperti merekalah yang kubutuhkan. Orang-orang yang tulus membantuku  dan  selalu menghiburku. Kehadiran merekalah yang dapat membuatku berhenti meratapi kelamnya kehidupanku dirumah sakit.
          Di rumah sakit ini aku hanya tinggal bersama baby sister yang  disewakan suatu LSM untukku. Seorang wanita yang bertugas membersihkan  pakaianku, memenuhi segala kebutuhan yang tak mampu kulakukan sendiri dan untuk tetap berada disampingku. Dia memang bukan keluargaku. Tapi, lama bersamanya membuat kami merasa seperti keluarga, tertawa bersama dan saling berbagi kisah, itu cukup menghiburku di sepinya hari yang kujalani .
          Aku berada di lantai tiga RSU Mataram, kamar  kemuning nomor 214. Ruangan ini adalah tempat khusus bagi pasien luka dan patah tulang. Aku tentunya termasuk pasien  patah tulang dengan kondisi luka yang parah sehingga membuatku harus bertahan disini selama tiga tahun. Aku patah tulang di bagian tulang belakang atau tulang penumpu. Hal itu membuatku lumpuh. Aku hanya bisa berbaring tanpa bisa melakukan apapun. Tak ada yang mampu kulakukan selain menggerakan tangan atau hanya sekedar menggerakan kakiku. Kondisiku sangat lemah, aku hanya bisa makan dan buang air di atas tempat tidur. Mungkin bagi kalian itu terasa menjijikan, jujur aku juga merasakan hal yang sama tapi apa daya tak ada yang mampu kulakukan. Takdirlah yang membuatku seperti ini. Jangankan untuk pergi  membuang kotoranku kekamar mandi, sekedar merasakan buang air besar saja aku tak bisa, tubuhku mati rasa. Bahkan untuk membalikan tubuh dan menggerakan kakipun aku tak mampu melakukannya tanpa bantuan orang lain.
          Bukan hanya itu saja penderitaanku. Terkapar lemas selama bertahun-tahun  tanpa mampu membalikan tubuhku dan melakukan aktivitas lainnya malah menimbulkan efek samping bagiku. Punggungku panas, lama mengalami tekanan dan mendekam justru membuat aku terserang dukibitus yang cukup besar di punggungku. Sejenis luka lebar berbentuk daging cairan. Bahkan kau bisa melihat denyut-denyut uratku secara langsung akibat luka tersebut. Salah satu OB disini memanggilku sinder bolong dan tidak hanya dia terkadang penunggu pasien dan  pasien lainnya juga memanggilku seperti itu. Keadaan itulah yang membuatku harus lama bertahan ditempat ini. Plasma yang keluar dari luka dipunggungku menimbulkan bau tak sedap yang  sangat menyengat.  Apalagi disaat aku membuang kotoran di pampersku. Tak jarang hal itu sangat menggangu pasien lain. Mereka segera keluar dengan menutup hidung. Bahkan tak jarang dari mereka yang mengeluarkan kata-kata kotor untuk memakiku. Aku sedih, aku ingin marah, tapi aku tak kuasa. Aku hanya bisa mempertebal muka untuk menahan rasa malu.
Dalam benakku  ingin berteriak,  “Bukan aku yang menginginkan ini…!, Akupun ingin seperti kalian…!, ingin bisa berlari seperti kalian…! Tapi, aku tak mampu. Harusnya kalian bersyukur dengan kondisi kalian yang sempurna bukan malah mengejek, memaki dan mencemohku.. !”
Namun sadar  akan keadaanku yang bau, kotor dan mungkin bahkan dianggap  hina dan menjijikan, membuatku mengurungkan niat untu berteriak. Tapi, aku ini hidup, aku bisa mendengar kalian. Akupun berperasaan seperti kalian. Aku juga ingin dihargai. Aku juga bisa merasa sedih dan marah walaupun aku tak dapat mengungkapkannya secara langsung. Gumamku dalam hati.
Bukan hanya pasien, penunggu, atau para Cleaning service saja yang membuatku merasa sedih. Bahkan aku pun mendapat kesedihan lain dari beberapa perawat. Karena keadaan tubuh dan lukaku yang menjijikan hanya beberapa saja perawat yang bersedia membersihkan lukaku. Sebagian dari mereka merasa jijik  dengan lukaku ini.
 “Tuhan…! sebegitu menjijikkah aku sampai mereka semua menjauhiku ? Akupun tak menginginkan ini. Tapi mengapa aku harus mengalaminya Tuhan? Cobaan-Mu yang kualami ini bukan hanya  membuatku merasakan sakit fisik Namun, bathinku juga turut tersiksa.”
 Meski demikian, aku tetap berusaha tegar. Kutahan perihku, dan ku yakinkan akan tiba saatnya aku sembuh. Aku akan sehat dan mampu beraktivitas seperti mereka. Dibalik sedih dan deritaku akupun masih bersyukur karena Tuhan masih menyisakan orang-orang berhati mulia untukku. Selama bertahun-tahun lamanya aku tertidur diatas ranjang ini.  Tanpa  sanak saudara yang mengunjungiku. Aku tak pernah merasa kesepian karena tak sedikit orang yang prihatin serta memberikan perhatian untukku. Bahkan kehadiran orang-orang pesakitan dikamar  yang berpenghuni tiga pasien ini terkadang membuat kami merasa sependeritaan, dan  bersaudara, tawa dan tangis silih berganti  bersama mereka menghibur hari-hariku di rumah sakit ini.

                                                                  *******

          Namaku Selvi. Umurku 28 tahun. Faktor ekonomi yang memilukan memaksaku untuk bekerja menjadi TKW di Saudi Arabia. Semenjak aku lulus SMP. Kepergian Ibu yang kucintai untuk selamanuya, merubah suasana harmonis keluargaku. Kini, rumahku seperti neraka bagiku setelah ayahku menikah lagi. Hal ini juga yang  membulatkan  tekadku untuk mengadu nasib menjadi TKW.
Aku tiga bersaudara.  Aku pergi merantau bersama kakak perempuan  yang hingga saat ini entah dimana. Tak pernah kulihat lagi kehadirannya semenjak pembagian lokasi kerja kami di Saudi Arabia.setelah sekian lama menjadi TKW di Saudi sebuah kecelakaan menimpaku. Aku tergelincir dari lantai dua rumah majikanku yang menyebabkan tulangku punggungku patah hingga akupun lumpuh. Berbagai macam pengobatan medis di Saudi telah kujalani demi mencampai kesembuhanku, hingga pada akhirnya pihak rumah sakitpun angkat tangan dan menyerah. Pihak pengelola tenaga kerjapun mengembalikanku ke Indonesia. Aku dikembalikan ke daerah asalku, Sumbawa, tempat kelahiranku. Sekian lama hidup di Saudi membuatku tak tahu akan kematian Ayahku serta hilangnya kakak perempuanku. Saat ini hanya kakak laki-laki serta Ipa ku saja  yang masih kumiliki sebagai keluarga. Kepada kakak dan iparkulah  selama ini kukirimkan gaji-gajiku selama menjadi TKI di Saudi. Gaji-gaji yang kucari hingga membuatku lumpuh namun tak sepeserpun dapat kunikmati  hasil keringatku itu.
          Kepulanganku yang mendadak dengan kondisi yang lumpuh membuat banyak orang kaget dan membicarakanku. Awalnya kakak  dan kakak ipar ku merawat ku dengan baik. Berbagai macam pengobataan tradisional di tempuh untuk ksesembuhanku. Namun, bukannya semakin membaik kondisiku justru kian bertambah parah. Kondisi ku yang hanya bisa  terbaring membuat kulit di punggungku kian panas dan melepuh, terkikis dan mengeluarkan bau yang cukup menyengat. Kondisiku yang makin parah dan menyulitkan, membuat saudara dan kakak iparku menempatkan aku di dalam kandang kuda  dengan hanya berlapiskan selembar tikar lusuh.
          Hari demi hari kujalani berada dikandang kuda yang bau dan kotor mengakibatkan luka ditubuhku menjadi infeksi dan semakin parah. Tak ada seorangpun yang memperhatikanku dan mengetahui keadaanku. Hari-hari kujalani dengan rasa sakit dan sepi seolah dunia telah melupakanku. Satu-satunya harapanku saat itu hanyalah sentuhan hangat sang Penciptaku. “Tuhan dibalik semua derita dan sepiku saat ini aku yakin jika kau takkan pernah meninggalkanku.” Do,aku setiap saat.
          Di saat tak ada  seorangpun yang memperhatikaku, disaat tak ada kasih yang mampu tuk menjadi pelabuhan deritaku, di balik setiap tetes airmata yang menemani hariku dalam sakit dan kehampaan yang kujalani, aku yakin Tuhan ada bersamaku. Tuhan selalu melihatku.
Dalam keadaan seperti ini, aku nyaris putus asa. Merajut asa yang tersisa aku sering bertanya dalam hatiku, “Tuhan kapan ini kan berakhir ?, Tuhan aku yakin Engkau melihatku, Engkau menyayangiku dan Engkau selalu ada bersamaku. Pasti Engaku takkan memberi cobaan melebihi batas kemampuanku. Aku lelah dengan semua ini  Tuhan…, Kumohon akhiri deritaku ini Tuhan.” Harapku.
          Ternyata benar jika Tuhan itu maha penyayang. Dibalik kesabaranku Tuhan menjawab pertanyaanku. Seorang Wanita dari Bali datang berkunjung kerumah kakakku dan prihatin melihat kondisiku. Wanita tersebut bermama Marni dan aku biasa memanggilnya Bik Marni. Dia berusaha mecari bantuan untuk menanganiku. Sampai pada akhirnya usahanya mendapatkan persetujuan bantuan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Lembaga ini bersedia membawaku kerumah sakit dan menanggung semua biaya dan kebutuhanku selama proses penyembuhan. Karena Rumah sakit Sumbawa tak mampu untuk menangani kondisiku, akupun dibawa ke rumah sakit Provinsi RSU Mataram. Aku pergi menuju RSU Mataram ditemani oleh Bik Marni, seorang dari utusan LSM yang mebiayai pengobatank, serta  kakak dan  Iparku.
           Kakak dan Iparku menemani aku selama dua minggu menjalani perawatan di RSU Mataram. Setelah dua minggu kemudian, merekapun pergi meninggalkan aku begitu saja. Saat itu merupakan saat pertama dan terakhir kalinya kakak dan saudara Iparku menemaniku di Rumah sakit. Mereka menjagaku selama dua minggu dan pergi begitu saja menelantarkanku di rumah sakit seorang diri.
Dalam kondisi dan keadaan seperti itu, aku merasa terasing, sedih, kesepian dan bingung. “Dengan kondisiku yang seperti ini apa yang bisa kulakukan seorang diri Tuhan ?”, Jangankan untuk mengurus sendiri semua keperluanku, untuk sekedar menggerakan badan saja aku tak mampu. Tuhan ujian apa lagi yang kau berikan? Kufikir penderitaanku akan segera berakhir, kufikir kehadiran bik Marni merupakan awal tuk hadirnya masa bahagiaku. Tapi kenapa malah cobaan lagi yang Engkau berikan?” 
          Tapi, dalam sedih dan dan keadaanku yang nyaris putus asa, aku percaya. Aku yakin semua ini akan berakhir. Aku yakin semua akan indah pada waktunya. Kuatkanlah Hamba hingga saat bahagia itu datang. Kuatkan aku Ya Allah, kuatkanlah hamba MU yang lemah dan tak berdaya ini, ampunilah hamba Mu yang selalu mengeluh dan tak bersyukur ini.

(Kamar Kost, 30 November 2014)
***Terinspirasi dari Kisah Nyata.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Kritik & Saran konstruktif Pembaca sangat Kami harapkan