Aku
bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha,
bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis.
Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut Muslim. Aku ingin
orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute
entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya serta dari
aliran apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia. (Catatan Harian Ahmad Wahib 9 Oktober 1969)
AHMAD Wahib
lahir di Sampang, Madura, pada 1942. Wahib tumbuh dewasa dalam
lingkungan yang kehidupan keagamaannya sangat kuat. Ayahnya adalah
seorang pemimipin pesantren dan dikenal luas dalam masyarakatnya. Tapi
ia juga adalah orang yang berpikiran luas dan terbuka, yang mendalami
secara serius gagasan pembaharuan Muhammad Abduh. Ia menolak objek-objek
kultus yang menjadi sesembahan para leluhurnya. Objek-objek ini sangat
populer dalam tradisi rakyat Madura, seperti tombak, keris, ajimat, dan
buku-buku primbon.
Wahib
juga menolak kepercayaan mengenai hari baik dan hari buruk. Ia memulai
pembangunan rumah barunya pada hari yang menurut kepercayaan bukanlah
hari baik. Pendek kata, ia adalah orang yang pada akhirnya sanggup
mengirimkan anaknya untuk dididik dalam sistem pendidikan sekular yang
dikelola pemerintah. Ia pulalah yang orang pertama di desanya yang
mengirimkan anak perempuannya untuk dididik di sekolah yang dikelola
pemerintah.
Lebih
jauh lagi, ia pulalah yang orang pertama yang mengawinkan anak
perempuannya itu tanpa tetek-bengek upacara adat. Maka, Wahib adalah
orang yang berada pada posisi terbuka untuk menerima banyak gaya hidup
dan etos kepesantrenan, untuk mempelajari kotroversi keagamaan, dan
untuk mengumpulkan gagasan-gagasan yang akan dikembangkannya sendiri
kemudian.
Wahib
lulus dari SMA Pemekasan, Madura, bidang ilmu pasti, dan melanjutkan
studinya pada Fakultas Ilmu Pasti dan Alam (FIPA) Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta. Walaupun kuliah sampai tahun terakhir, Wahib tidak
menyelesaikan kuliahnya itu hingga mendapat gelar sarjana.
Wahib
adalah seorang Muslim yang berkomitmen. Segera setelah tiba di
Yogyakarta, ia menjadi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang
Universitas Gadjah Mada. Ini tindakan berani. Pada awal decade 60-an,
terjadi intensifikasi pergumulan politik antara Presiden Soekarno,
kelompok-kelompok nasionalis radikal, Partai Komunis Indonesia (PKI) di
satu pihak, melawan angkatan bersenjata, pendukung-pendukung Masyumi
(sayap politik gerakan reformis yang dilarang), dan beberapa partai
kecil lain di lain pihak.
Saat
itu, tekanan-tekanan politik terhadap organisasi-organisasi Islam
sangat kuat. Dan, HMI sangat anti Sukarno dan anti PKI. Wahib menjadi
anggota “kelompok inti“ organisasi ini. Ia juga terlibat dalam
pembahasan mengenai masalah-masalah penting saat itu, dalam rangka
mengatasi tekanan-tekanan politik di atas, misalnya soal apakah HMI
berkosentrasi pada “pembangunan ideologis” atau “berorientasi pada
program”.
Pembahasan-pembahasan
seputar masalah-masalah tersebut menimbulkan ketertarikan kepada
persoalan-persoalan yang lebih umum, seperti persoalan apa sebenarnya
yang dimaksud dengan istilah “ideology Islam”? Apakah Islam, dalam
kenyataannya, adalah sebuah ideologi? Bagaimanakah sebuah ideologi
politik dapat dirumuskan demi kepentingan umat Islam di Indonesia? Di
mana posisi Islam vis a vis ideologi-ideologi sekular seperti
demokrasi, sosialisme dan Marxisme? Ketertarikan kepada soal-soal ini
sejalan dengan corak pertumbuhan Wahib dalam keluarganya.
Selain
itu, Yogyakarta adalah salah satu kota yang secara intelektual dan
budaya paling kaya di Indonesia. Ini berperngaruh dalam perkembangan
pribadi Wahib. Yogyakarta adalah kota lembaga-lembaga pendidikan.
Universitas Gadjah Mada, karena alasan-alasan kesejarahan, memiliki daya
tarik yang besar, dan kenyataannya mapu menyedot banya pelajar dari
seluruh Indonesia. Di sana juga ada perguruan-perguruan tinggi lain,
baik milik swasta maupun pemerintah, yang juga memiliki daya tarik.
Termasuk di dalamnya adalah IKIP Sanata Dharma, milik sebuah yayasan
Katolik, Universitas Islam Indonesia, dan IAIN Sunan Kalijaga.
Keragaman
etnis ribuan mahasiswa, kehadiran pelbagai tradisi keagamaan, dan
tingkat toleransi keagamaan yang luar biasa, yang menjadi ciri
orang-orang Jawa Tengah, semuanya telah memunculkan sikap keterbukaan
antara berbagai tradisi keagamaan dan pergaulan sosial antara
orang-orang dengan latar belakang yang bervariasi. Ini semua sangat
mengesankan Wahib.
Lebih
khusus lagi, ada dua hal yang secara desisif sangat menentukan
perkembangan pribadi Wahib. Pertama adalah komunitas Jesuit lokal yang
ia gauli ketika ia menyewa sebuah kamar kecil di hostel
mahasiswa-mahasiswa Katolik. Kedua keterlibatannya dalam kelompok studi
yang dipimpin oleh Mukti Ali, seorang Guru Besar IAIN Sunan Kalijaga dan
mantan Menteri Agama RI, yang juga pernah mengecap pendidikan di
McGill, Kanada. Kelompok ini adalah kelompok diskusi terbatas, sesuai
namanya, “ Limited Group”. Tujuan kelompok diskusi ini adalah
menyediakan suatu forum untuk mendiskusikan masalah-masalah keagamaan
yang mendasar, yang biasanya pantang didiskusikan.
Mukti
Ali, mengenai kelompok diskusi ini, menyatakan bahwa kelompok tersebut
menarik perhatian banyak peserta. Kelompok tersebut juga secara reguler
mengundang pembicara-pembicara tamu dari berbagai kalangan, baik orang
Indonesia maupun bukan. Kelompok tersebut membahas persoalan-persoalan
penting menyangkut masa depan kaum Muslim Indonesia, dalam suatu
kerangka yang membuka kemungkinan untuk tumbuhnya gagasan-gagasan baru
yang segar. Masalah-masalah teologis yang sublim kerap didiskusikan
juga, dan gagasan-gagasan yang dikemukakan seputar masalah tersebut
kadang jauh dari apa yang diyakini orang kebanyakan dan bersifat
provokatif.
Masa-masa
Wahib di Yogyakarta adalah masa-masa yang paling bergolak dalam sejarah
Indonesia. Inilah masa ambruknya ekonomi Indonesia dan terjadinya
ketegangan-ketegangan politik yang berujung dengan usaha kup oleh PKI
pada masa 1965. Sebagai balasan atas kup yang gagal total ini,
terjadilah pembunuhan besar-besaran atas mereka yang dituduh antek-antek
PKI. Di Jawa Tengah saja, ribuan orang tewas. Ini mengantarkan
Indonesia terbentuknya Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal
Soeharto. Inilah periode gamang yang meninggalkan luka-luka psikologis
si kalangan mereka yang mengalaminya.
Semua
unsur di atas (latar belakang keluarga, penyesuaian diri dengan
lingkungan baru, dengan konsekuensi meluasnya horizon berfikir secara
dramatis, tekanan-tekanan baik bersifat politis maupun personal, dan
pembunuhan besar-besaran yang mengerikan lantaran gagalnya kup PKI)
jelas turut menentukan berubahnya arah pemahaman Wahib mengenai Islam.
Unsur-unsur tersebut pulalah yang pada akhirnya megantarkannya untuk
keluar dari HMI pada 30 September 1965. Mungkin bukanlah sebuah
kebetulan bahwa tanggal di atas bersamaan dengan hari ulang tahun ke-3
gagalnya kup PKI pada 30 September 1965.
Pada
1971, Wahib menginggalkan Yogyakarta. Tujuannya adalah Jakarta, mencari
kerja. Ia pada akhirnya diterima sebagai calon reporter majalah berita
mingguan Tempo. Ia juga ikut kursus filsafat di Sekolah Tinggi
Filsafat (STF) Driyarkara, sebuah perguruan tinggi yag didirikan oleh
seorang Jesuit Jawa, Driyarkara. Pada saat yang sama, ia juga ambil
bagian dalam pertemuan berbagai kelompok diskusi. Ia bahkan sempat
membuat rancangan tema diskusi soal teologi, poitik dan budaya yang
sangat ambisisus. Sayangnya, ia wafat tertabrak motor pada 30 Maret
1973.
Sumber: A.H. Johns, "Sistem atau Nilai: Dari Balik Catatan Harian Ahmad Wahib," dalam buku Saidiman (et.al) Pembaharuan tanpa Apologia: Esai-esai tentang Ahmad Wahib, Paramadina, 2010.