Sabtu, 03 Januari 2015

LIAR

 Oleh : Alif Babuju

 
Siang itu langit nampak cerah.  Gumpalan awan putih melukis gurat indah dicakrawala. Angin berhembus lirih menyeimbangi terik matahari.  Amukan ombak bersambut menggempur pantai. Disepanjang hamparan pantai riak para pegiat keindahan bermain dengan gelombang dan pasir. Sedang  kau dan aku hanya membisu melepas pandangan nun jauh kearah lautan. Seharusnya kita menyatu dengan alam yang mempesona. Berkejaran dihamparan pasir putih memapah jiwa bersama fatamorgana sambil merajut imajinasi tentang kisah dan kasih.  Atau berkubang dalam deru gelombang yang tak kunjung taklukkan pantai layaknya sepasang kekasih yang sedang dimabuk asamara.  Namun kau lebih memilih untuk berada disini. Saling membisu seribu kata dibawah pohon mangruh.  Hatiku girang jika seharusnya seperti ini. Sebab aku tak bisa dan tak terbiasa merayakan hari-hari indah seperti yang dilakukan kebanyakan orang dipantai  itu. Aku nyaman dan damai berdua seperti ini.
            Sesekali aku menatap kearahmu meski tak kau hiraukan.  Dari waktu kewaktu yang  terlewatkan kau masih terpaku dengan tatapan hampa. Sikapmu menyalib hendakku untuk membuat bahagiamu sebisa mungkin. Kau mendiamkan suasana indah ini.  Entalah…sulit kuterjemahkan sikapmu. Bibirku bergetar kaku tak kuasa bertutur menanyakan keadaanmu. Aku mulai salah tingkah sebab merasa tak dianggap, merasa tak layak dan merasa tak bisa hadirkan indah untukmu. Malu mulai mendera mengundang pilu.
            Disudut keterasingan yang sengaja engkau ciptakan, teman-temanmu sesekali mencumbui dengan berbagai bahasa cinta. Tidak hanya aku disampingmu yang tak kau hiraukan. Teman-teman kita yang memang bersama saat datangi tempat ini juga tak mendapat perhatianmu. Hanya beberapa senyuman sinis dan lirikan kaku yang kau arahkan saat mereka mendekat dan mengajak kita untuk memacu kebahagiaan dengan alam.
“Cah…! Kamu kenapa?” tanyaku menepis rasa tak sedap.
Kau tak menjawab. Masih seperti awal kita berada disini. Jemarimu sibuk mencabik-cabik ranting mangruh ditanganmu. Sedang tatapanmu masih kau lepas kerah luas lautan.
Semakin kau tak menyahut semakin menjadi rasa tak sedap menyayat hatiku. Berbagai prasangka merangkai Tanya dalam diriku. kenapa harus begini?  Salahkah hadirku? Apa aku mengusikmu?
Kali ini aku memberanikan diri untuk memecah kebisuan meski rasa kurang enak mendera. Dengan penuh sadar aku harus merasa bersalah dan mencoba mengungkap diammu dengan meminta maaf lalu pamit untuk meninggalkan tempat ini.
“Cicha….! Aku minta maaf kalau salah ada disini. Yah….aku akan pergi dari sini. Sekali lagi aku minta maaf yah…” Aku minta maaf lalu minggat dari tempat itu meski kau tak jua bersuara.
            Belum seberapa aku beranjak dari tempat itu, kaupun bersuara. Sejenak aku hentikan langkah lalu kembali menoleh kebelakang dimana engkau masih duduk terpaku.
“Siapa yang suruh kesini? Aku tidak pernah mengajakmu. Gara-gara kamu aku jadi malu pada teman-temanku. Sikap dan penampilanmu liar.” Celotehmu sambil tetap memandang lautan lepas.
Dugaanku kini terjawab. Hadirku memang salah. Tanpa harus belama-lama akupun melanjutkan perjalanan untuk pulang. Benar katamu bahwa kau tak mengajakku kesini. Akulah yang memaksakan diri untuk kesini. Rasa telalu mencitaimu yang membuat aku datang kesini meski kau tak suruh.
            Setelah berlalu cukup jauh dari tempat itu, akupun sempat kembali mengarahkan pandangan kearah pantai dibawah pohon magruh tempat tadi kita duduk berdua. Kulihat tak ada dirimu disana. Seketika kemudian aku mengarahkan pandangan dimana teman-teman kita sedang bersenda gurau. Rupanya kau disana. Sepeninggalanku membuatmu kembali ceria. Nampak dari jauh senyum khas dari wajahmu yang cantik menawan itu terlihat. Aku menganggukkan kepala mengerti semuanya. Kugapai sepeda motor jadul milikku lalu segera memacunya meninggalkan tempat itu.
            Hanya bisa tersenyum diatas perih yang menyayat sambil menikmati perjalan pulang menyusuri jalan yang diapit  alam  hijau. Nyanyian pilu dalam hati membahasakan luka. Aku masih bertanya-tanya tentang sikapmu yang berubah akhir-akhir ini. Merasa menjawab tanyaku sendiri. Aku memang tak layak untuk wanita cantik dan kaya sepertimu. “Maafkanlah aku…!”
            Kucoba jalani hari-hari untuk melupakanmu meski sulit.  Kalimat yang kau ucapkan dipantai kala itu dan kuanggap terakhir. Sakit memang dibuat oleh kalimatmu itu. Meski demikian, telah kujadikan pelajaran paling berharga. Hampir setiap saat dari hari kehari aku mengulang kalimatmu. Mencoba menafsirkan maksud ucapanmu yang menyayat sukma. Satu hal yang menyita tanya dan membuatku tak habis pikir. Apa maksudmu mengatakan sikap dan penampilanku liar?
            Wahai perempuanku…! Yang kupahami selama ini kata liar itu hanya diperuntukkan bagi binatang penghuni belantara yang jauh dari kehidupan manusia. Juga sering digunakan untuk menyebut hewan peliharaan yang telah lama tak diusap dan biarkan oleh tuannya. Kata liar juga diperuntukkan bagi wanita pegiat rejeki di malam hari dengan menjejahkan tubuh dan daging mentah kepada lelaki hidung belang. Selain itu liar juga kerap digunakan untuk membahasakan para anak jalanan dan pemuda-pemuda nakal. Namun entah kenapa aku juga harus kau sebut liar sedang yang kupahami tidak termasuk kategori  binatang penghuni hutan belantara, hewan, wanita malam, anak jalanan dan pemuda bandel.
            Tak masalah jika  kata itu diperuntukkan bagi binatang-binatang buas dan hewan peliharaan yang telah lama dilepas serta tak diurus oleh tuannya. Itu memang pantas. Tapi, bagi wanita-wanita malam itu aku rasa kita terlalu kejam jika mengatakan mereka liar. Bahasa yang diperuntukkan bagi binatang setidaknya jangan bagi mereka. Karena jasa-jasa para lonte itu menghidupi orang banyak. Tidak menutup kau dan aku juga turut serta menikmati. Yah, mereka menjual diri bukan untuk diri sendiri namun juga untuk hajat hidup orang banyak. Bukankah negara tempat kita hidup ini juga dibangun dari jasa para pelacur? Tempat-tempat mereka menjual diri bukankah harus membayar kepada negara? Kemudian uang itu digunakan untuk membangun bangsa ini? para pemimpin kita tidak sedikit juga yang ditemukan menggunakan jasa para pelacur sebagai terapi penghalau frustasi memikirkan rakyatnya.  Tidak hanya itu sayang…! Coba kau tanyakan pada beras yang kita makan setiap hari. Dalam beras itu ada jasa para lonte. Tidakkah kau perhatikkan sopir-sopir fuso pengantar beras dari kota ke kota itu kerap menggunakan jasa para pelacur untuk menepis lelah mereka?  Kita terlalu kejam dan serakah mengatakan mereka liar. Tidakkah bumi berpenghuni ratusan juta ulama ini juga mengamini keberadan pelacuran?
            Anak-anak jalanan dan pemuda bandel itu liar karena diliarkan oleh orangtua, pemerintah dan lingkungan tempat mereka hidup. Mengatakan mereka liar sesungguhnya kita menghujat diri sendiri. Aku tidak sedang membenarkan penyakit sosial ini.  Tapi, entah mengapa hingga kini kita semua mendiamkan dan bahkan menjadikan suatu keharusan adanya dibangsa ini.
            Dengan telingaku sendiri aku mendengarkan juga kata liar itu diucapkan oleh orang yang aku cintai untukku. Apakah karena penampilanku yang tak sesuai dengan kebanyakan teman-teman dekatmu itu? Pergaulan mereka yang tak terkontrol dan berpenampilan metropolis tak sepertiku yang hanya berpenampilan sederhana.  Harus ku akui selama ini minder saat menghadiri acara hura-hura bersama teman-temanmu. Aku tak bisa berdansa dan menunggak al-kohol seperti mereka. Aku juga tak bisa memberimu haiah-hadiah istimewa dihari-hari spesialmu. Kepribadianku memang tidak terbiasa dengan hal-hal seperti itu.  Aku hanyalah pemuda yang terbiasa dengan ruang-ruang diskusi yang kau anggap labirin. Itulah sebabnya aku sikap dan penampilanku seperti ini. Maaf jika bagimu aku liar. Aku tak bisa membuatmu bahagia menikmati keindahan pantai layaknya teman-teman kita dan juga lazim kau lakukan selama ini bersama bekas-bekas kekasihmu.
(Kamar Kost, 3 Desember 2014)
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Kritik & Saran konstruktif Pembaca sangat Kami harapkan