Siang itu langit nampak cerah.
Gumpalan awan putih melukis gurat indah dicakrawala. Angin berhembus lirih menyeimbangi terik matahari. Amukan
ombak bersambut menggempur pantai. Disepanjang hamparan pantai riak para pegiat
keindahan bermain dengan gelombang dan pasir. Sedang kau dan aku hanya membisu melepas pandangan
nun jauh kearah lautan. Seharusnya kita menyatu dengan alam yang mempesona.
Berkejaran dihamparan pasir putih memapah jiwa bersama fatamorgana sambil
merajut imajinasi tentang kisah dan kasih. Atau berkubang dalam deru gelombang yang tak
kunjung taklukkan pantai layaknya sepasang kekasih yang sedang dimabuk asamara.
Namun kau lebih memilih untuk berada
disini. Saling membisu seribu kata dibawah pohon mangruh. Hatiku girang jika seharusnya seperti ini.
Sebab aku tak bisa dan tak terbiasa merayakan hari-hari indah seperti yang
dilakukan kebanyakan orang dipantai itu.
Aku nyaman dan damai berdua seperti ini.
Sesekali aku
menatap kearahmu meski tak kau hiraukan.
Dari waktu kewaktu yang terlewatkan kau masih terpaku dengan tatapan
hampa. Sikapmu menyalib hendakku untuk membuat bahagiamu sebisa mungkin. Kau
mendiamkan suasana indah ini. Entalah…sulit
kuterjemahkan sikapmu. Bibirku bergetar kaku tak kuasa bertutur menanyakan
keadaanmu. Aku mulai salah tingkah sebab merasa tak dianggap, merasa tak layak
dan merasa tak bisa hadirkan indah untukmu. Malu mulai mendera mengundang pilu.
Disudut
keterasingan yang sengaja engkau ciptakan, teman-temanmu sesekali mencumbui
dengan berbagai bahasa cinta. Tidak hanya aku disampingmu yang tak kau
hiraukan. Teman-teman kita yang memang bersama saat datangi tempat ini juga tak
mendapat perhatianmu. Hanya beberapa senyuman sinis dan lirikan kaku yang kau
arahkan saat mereka mendekat dan mengajak kita untuk memacu kebahagiaan dengan
alam.
“Cah…! Kamu kenapa?”
tanyaku menepis rasa tak sedap.
Kau tak menjawab. Masih seperti awal kita berada disini. Jemarimu
sibuk mencabik-cabik ranting mangruh ditanganmu. Sedang tatapanmu masih kau
lepas kerah luas lautan.
Semakin kau tak menyahut semakin menjadi rasa tak sedap menyayat
hatiku. Berbagai prasangka merangkai Tanya dalam diriku. kenapa harus begini? Salahkah hadirku? Apa aku mengusikmu?
Kali ini aku memberanikan diri untuk memecah kebisuan meski rasa
kurang enak mendera. Dengan penuh sadar aku harus merasa bersalah dan mencoba
mengungkap diammu dengan meminta maaf lalu pamit untuk meninggalkan tempat ini.
“Cicha….! Aku minta maaf kalau salah ada disini. Yah….aku akan
pergi dari sini. Sekali lagi aku minta maaf yah…” Aku minta maaf lalu minggat dari tempat itu meski kau tak jua
bersuara.
Belum seberapa aku
beranjak dari tempat itu, kaupun bersuara. Sejenak aku hentikan langkah lalu kembali
menoleh kebelakang dimana engkau masih duduk terpaku.
“Siapa yang suruh kesini? Aku tidak pernah mengajakmu. Gara-gara
kamu aku jadi malu pada teman-temanku. Sikap dan penampilanmu liar.” Celotehmu sambil tetap memandang lautan lepas.
Dugaanku kini terjawab. Hadirku memang salah. Tanpa harus
belama-lama akupun melanjutkan perjalanan untuk pulang. Benar katamu bahwa kau
tak mengajakku kesini. Akulah yang memaksakan diri untuk kesini. Rasa telalu
mencitaimu yang membuat aku datang kesini meski kau tak suruh.
Setelah berlalu
cukup jauh dari tempat itu, akupun sempat kembali mengarahkan pandangan kearah
pantai dibawah pohon magruh tempat tadi kita duduk berdua. Kulihat tak ada
dirimu disana. Seketika kemudian aku mengarahkan pandangan dimana teman-teman
kita sedang bersenda gurau. Rupanya kau disana. Sepeninggalanku membuatmu
kembali ceria. Nampak dari jauh senyum khas dari wajahmu yang cantik menawan
itu terlihat. Aku menganggukkan kepala mengerti semuanya. Kugapai sepeda motor
jadul milikku lalu segera memacunya meninggalkan tempat itu.
Hanya bisa
tersenyum diatas perih yang menyayat sambil menikmati perjalan pulang menyusuri
jalan yang diapit alam hijau. Nyanyian pilu dalam hati membahasakan
luka. Aku masih bertanya-tanya tentang sikapmu yang berubah akhir-akhir ini.
Merasa menjawab tanyaku sendiri. Aku memang tak layak untuk wanita cantik dan
kaya sepertimu. “Maafkanlah aku…!”
Kucoba jalani
hari-hari untuk melupakanmu meski sulit.
Kalimat yang kau ucapkan dipantai kala itu dan kuanggap terakhir. Sakit
memang dibuat oleh kalimatmu itu. Meski demikian, telah kujadikan pelajaran
paling berharga. Hampir setiap saat dari hari kehari aku mengulang kalimatmu.
Mencoba menafsirkan maksud ucapanmu yang menyayat sukma. Satu hal yang menyita
tanya dan membuatku tak habis pikir. Apa maksudmu mengatakan sikap dan
penampilanku liar?
Wahai
perempuanku…! Yang kupahami selama ini kata liar itu hanya diperuntukkan bagi
binatang penghuni belantara yang jauh dari kehidupan manusia. Juga sering
digunakan untuk menyebut hewan peliharaan yang telah lama tak diusap dan
biarkan oleh tuannya. Kata liar juga diperuntukkan bagi wanita pegiat rejeki di
malam hari dengan menjejahkan tubuh dan daging mentah kepada lelaki hidung
belang. Selain itu liar juga kerap digunakan untuk membahasakan para anak
jalanan dan pemuda-pemuda nakal. Namun entah kenapa aku juga harus kau sebut
liar sedang yang kupahami tidak termasuk kategori binatang penghuni hutan belantara, hewan,
wanita malam, anak jalanan dan pemuda bandel.
Tak masalah
jika kata itu diperuntukkan bagi
binatang-binatang buas dan hewan peliharaan yang telah lama dilepas serta tak
diurus oleh tuannya. Itu memang pantas. Tapi, bagi wanita-wanita malam itu aku
rasa kita terlalu kejam jika mengatakan mereka liar. Bahasa yang diperuntukkan
bagi binatang setidaknya jangan bagi mereka. Karena jasa-jasa para lonte itu
menghidupi orang banyak. Tidak menutup kau dan aku juga turut serta menikmati.
Yah, mereka menjual diri bukan untuk diri sendiri namun juga untuk hajat hidup
orang banyak. Bukankah negara tempat kita hidup ini juga dibangun dari jasa
para pelacur? Tempat-tempat mereka menjual diri bukankah harus membayar kepada
negara? Kemudian uang itu digunakan untuk membangun bangsa ini? para pemimpin
kita tidak sedikit juga yang ditemukan menggunakan jasa para pelacur sebagai
terapi penghalau frustasi memikirkan rakyatnya. Tidak hanya itu sayang…! Coba kau tanyakan
pada beras yang kita makan setiap hari. Dalam beras itu ada jasa para lonte.
Tidakkah kau perhatikkan sopir-sopir fuso pengantar beras dari kota ke kota itu
kerap menggunakan jasa para pelacur untuk menepis lelah mereka? Kita terlalu kejam dan serakah mengatakan
mereka liar. Tidakkah bumi berpenghuni ratusan juta ulama ini juga mengamini
keberadan pelacuran?
Anak-anak jalanan
dan pemuda bandel itu liar karena diliarkan oleh orangtua, pemerintah dan
lingkungan tempat mereka hidup. Mengatakan mereka liar sesungguhnya kita
menghujat diri sendiri. Aku tidak sedang membenarkan penyakit sosial ini. Tapi, entah mengapa hingga kini kita semua
mendiamkan dan bahkan menjadikan suatu keharusan adanya dibangsa ini.
Dengan telingaku
sendiri aku mendengarkan juga kata liar itu diucapkan oleh orang yang aku
cintai untukku. Apakah karena penampilanku yang tak sesuai dengan kebanyakan
teman-teman dekatmu itu? Pergaulan mereka yang tak terkontrol dan berpenampilan
metropolis tak sepertiku yang hanya berpenampilan sederhana. Harus ku akui selama ini minder saat
menghadiri acara hura-hura bersama teman-temanmu. Aku tak bisa berdansa dan
menunggak al-kohol seperti mereka. Aku juga tak bisa memberimu haiah-hadiah
istimewa dihari-hari spesialmu. Kepribadianku memang tidak terbiasa dengan
hal-hal seperti itu. Aku hanyalah pemuda
yang terbiasa dengan ruang-ruang diskusi yang kau anggap labirin. Itulah
sebabnya aku sikap dan penampilanku seperti ini. Maaf jika bagimu aku liar. Aku
tak bisa membuatmu bahagia menikmati keindahan pantai layaknya teman-teman kita
dan juga lazim kau lakukan selama ini bersama bekas-bekas kekasihmu.
(Kamar Kost, 3 Desember 2014)