Senin, 04 Agustus 2014

BUKAN PERNIKAHANKU DENGAN KEKASIHKU TAPI PERNIKAHAN KELUARGAKU DENGAN KELUARGA KEKASIHKU


Sudah genap setahun aku menyelesaikan kuliah(S1) di salah satu Perguruan Tinggi Swasta yang bergerak di bidang keguruan dan ilmu pendidikan, dan kini  telah menyandang gelar sarjana. Meski telah selesai kuliah, aku tidak langsung memiliki pekerjaan. Selain karena sempitnya lapangan pekerjaan, juga dikarenakan aku tidak punya cukup uang untuk melamar kerja. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat dikampungku bahwa untuk memiliki pekejaan harus punya uang. Jangankan untuk menjadi seorang pegawai negeri sipil yang memang menjadi tumpuan harapan kebanyakan masyarakat di kampungku, untuk menjadi tenaga sukarela pun memerlukan uang.  Teman-teman seangkatan yang satu kampung denganku hampir rata-rata telah memiliki pekerjaan. Dalam keadaan seperti ini  membuatku malu dan patah semangat. Aku merasa di asingkan oleh masyarakat. Aku sering dijadikan buah bibir mereka. Selain itu, aku harus menanggung beban akibat rasa malu dari kedua orangtuaku. Untuk menepis itu semua, aku menghabiskan hari-hariku dikebun membantu ayah dan ibu mengolah tanaman. Saat kembali ke perkampungan aku hanya mengurung diri di dalam kamar sambil melamun dan merangkai imajinasi tentang kesuksesan dan masa depan.)
Kala itu senja baru saja berlalu dan malampun tiba.Usai sholat magrib aku duduk termenung dibale-bale bambu yang terletak di halaman rumahku.  Ini kebiasaaku sehari-hari ketika malam tiba untuk melepas lelah akibat seharian bekerja dikebun. Selain melepas lelah, hal ini aku lakukan untuk merenungi celoteh kedua orangtuaku yang hampir setiap malam membicarakan nasibku sebagai seorang sarjana muda pengangguran. Celoteh itu membuatku merasa risih dan membebani fikiranku. Kedua orangtuaku terkadang menyesal karena telah meng-kuliahkan aku lantaran malu pada masyarakat kampung, akan keadaan diriku yang tak kunjung jadi apa-apa. Merekapun sempat menyarankan aku untuk keluar negeri menjadi seorang TKI saja. Memikirkan ini semua, perasaan tak karuan berkecamuk menggempur bathinku. Aku tak bisa melakukan apa-apa. Hanya merenung sembari menengadah kelangit. Berjuta bintang yang senantiasa menghiasi malam seakan tak lagi indah. Hanya rasa tak sedap yang  menyerap keperkasaanku.
Laela, anak Pak Abdurrahman seorang pedagang kahangga(Rumput Laut) dikampungku adalah teman sekampusku waktu kuliah. Sekarang Ia telah menjadi tenaga pengajar sukarela di salahsatu Sekolah Dasar dikampung kami. Keluarga Pak Abdurrahman adalah keluarga yang terpandang dikampungku. Hubunganku dengan Laela bukan sekedar teman biasa. Ia dan aku sudah lama menjalin hubungan cinta(pacaran). Sejak pertama kali kami kuliah, hubungan diantara kami sudah terjalin. Sekarang telah genap lima tahun kami pacaran. Diusia pacaran yang sudah tergolong lama tersebut, aku dan Laela telah banyak menghabiskan waktu untuk saling mengenal serta memahami sifat dan karakter masing-masing. Kami telah menemukan kecocokan dan optimis untuk melanjutkan hubungan kami ke jenjang pernikahan kelak.
Memikirkan nasibku yang kembali menjadi petani, aku terkadang nyaris putus asa menjalani hidup dikampung. Makin hari aku semakin merasa terasingkan oleh warga dikampungku. Aku kerap kali dijadikan contoh orang-orang yang gagal oleh mereka. Disisi lain, bergaul dengan teman-teman sekampung yang sama sekali tidak pernah kuliah mendapat tanggapan serius dimata masyarakat. Bahkan segala tindak-tandukku hampir tidak ada yang baik dalam penilaian mereka. Keadaan yang tidak sehat ini membuatku merasa kerdil dan tidak berarti. Akhirnya aku memilih untuk mengakhiri masa lajangku layaknya kebanyakan teman-teman sebayaku.
Suatu hari, usai sholat magrib aku menjumpai Laela dirumahnya. Dengan perasaan kurang enak aku memberanikan diri meski keluarga Laela menunjukkan muka masam saat melihatku. Aku dan Laela sama-sama merasa tidak nyaman sebab keluarganya tidak menyetujui hunbungan kami. Memang ketidak setujuan itu tidak diungkapkan secara langsung. Namun sikap mereka seakan memberikan catatan alamat bahwa hubungan kami memang tidak dikehendaki. Meski  demikian, akibat perasaan cinta yang mendalam  kami tidak peduli dengan hal itu dan berusaha menikmati suasana yang tidak bersahabat. Pertemuanku dengan Laela saat itu beda dengan pertemuan kami sebelumnya. Kali ini aku mendatangi rumah Laela dengan rencana untuk membahas secara serius hubunganku dengannya. 
Setelah sedikit lama berduaan diruang tamu dengan keadaan kurang leluasa sebagaimana lazimnya selama ini antara aku dan Laela karena sikap keluarga kekakasihku itu yang kurang bersahabat, akupun mulai memberanikan diri untuk mengungkapkan rencanaku terhadap Laela. Awalnya aku ragu-ragu. Sesekali kupandang wajah Laela kemudian menundukkan pandangan lalu menggapai teh hangat yang disuguhkan Laela untukku. Perlahan aku meneguk teh itu sembari memperkuat tekadku untuk mengungkapkan tujuan kedatanganku malam itu. Usai meneguk sedikit teh, kembali kuletakkan gelas itu diatas meja sambil menarik nafas dalam-dalam untuk mulai bicara. Namun, ketika aku hendak mengungkapkannya, tiba-tiba Laela menegurku. Rupanya sejak tadi tanpa aku sadari Ia diam-diam memperhatikkan sikapku.
“Kamu kenapa ?, sikapmu kelihatan aneh...”. Tegur Laela.
Mendengar suara Laela, sontak aku terkejut lalu menjawabnya dengan senyum sinis dan suara tidak menentu.
“Hehehe…, tidak apa-apa kok, teh nya nikmat sekali”. Balasku tak karuan.
Mendengar jawabanku, Laela mengerutkan dahinya sembari tertawa kecil. Akupun terus membalasnya dengan tawa.
Melihat sikap Laela yang nampak santai dan ramah, semakin memperkuat tekadku untuk mulai berbicara. Tanpa berfikir panjang, akupun membeanikan diri.
“La.., begini….”
Belum sempat pembicaraanku menjadi kalimat yang utuh, seketika kami dikejutkan oleh suara keras orang memanggil nama Laela dari ruang dalam rumah. Rupanya ibu Laela yang memanggil dengan nada marah sembari mengingatkan waktu malam yang mulai larut. Laelapun menjawab panggilan ibunya dengan suara lembut. Sedangkan aku setengah menengadahkan wajah ke arah jam yang bergelantung di dinding rumah Laela. Waktu baru menunjukkan jam Sembilan lewat sepuluh menit. Perlahan kutundukkan kepala sembari menghela nafas yang terasa sedikit sesak.  Seketika kemudian aku dan Laela saling memandang lalu Ia meminta maaf padaku.
“Maaf…! Lain kali lagi kesini, jam bertamu telah habis hehehe…” Laela berusaha memperingatiku dengan ungkapan maaf yang dibingkai dengan canda berusaha mengurangi rasa tersinggungku. Aku hanya bisa tersenyum sambil bangkit dari tempat duduk untuk segera minggat dari tempat itu. Sebelum pergi, aku menyempatkan diri untuk pamit kepada kedua orangtua Laela. Setelah itu aku langsung pergi. Laela mengantarku sampai ke depan pintu rumahnya. Sambil berjalan keluar, aku sedikit berbincang-bincang dengan Laela. Sekilas aku menyampaikan pada laela bahwa sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengannya malam ini. Namun. Waktu tidak memungkinkan. Akhirnya kamipun sepakat untuk betemu lagi dilain waktu membahas masalah itu.
            Menyusuri gang kecil ditengah kampung, malam itu aku pulang dengan sedikit rasa penyesalan bercampur tersinggung akibat sikap keluarga kekasihku yang terkesan merasa risih atas hubunganku dengan Laela. Menyesal karena tidak sempat mengungkapkan ke Laela tujuanku untuk mempersunting dirinya.
            Setibanya dirumah, aku langsung menuju tempayan air yang terletak disamping rumahku untuk berwudhu. Usai wudhu, aku bergegas menuju pintu rumah hendak masuk kedalam. Keadaan dirumahku Nampak sepih. Kedua orangtua dan saudara-saudaraku rupanya sudah tidur. Dengan hati-hati aku mendorong pintu rumah. Rupanya telah dikunci dari dalam. Tanpa berfikir panjang, dengan serta merta akupun memanggil ibuku untuk membukakan pintu. Setelah berkali-kali aku memanggilnya, beliaupun terdengar mendengkur. Suara kasak-kusuk terdengar saat ibuku bangun dari tidurnya kemudian berjalan menuju ruang depan membukakan pintu untukku. Dengan suara parau Ia bertanya aku dari mana. Akupun menjelaskan pada ibuku. Mendengar jawabanku, beliau hanya diam lalu kembali melangkah menuju kamar tidurnya. Aku lalu masuk kedalam rumah menyusul ibu sembari menutup kembali pintu rumah. Sesaat kemudian aku menuju kamar tidurku lalu menggapai sajadah kemudian menunaikan sholat Isya.
`           Usai mendirikan shalat, kusandarkan tubuh pada dinding kamarku sembari mengotak-atik Hand Phone genggam milikku yang sudah hampir dua bulan  ini tidak pernah diisi pulsa. Sambil melamun jemariku tak henti-hentinya memainkan tombol hand phone. Dimalam yang hening itu, aku memikirkan kembali tentang niatku untuk mempersunting Laela. Segala hal dan konsekuensi berumah tangga mulai kupikirkan matang-matang. Aku juga memikirkan kehendakku tersebut yang belum diketahui oleh kedua orangtuaku. Disisi lain, nasib diriku yang masih pengangguran turut serta membebani pikiranku. Berjuta Tanya mulai timbul dalam benakku tentang keadaanku setelah berkeluarga kelak. Meski demikian, tidak sedikitpun menyurutkan niatku untuk segera menikahi Laela. Persoalan rezeki sepenuhnya kuyakini urusan Tuhan. Aku akan bekerja keras mengolah perkebunan milikku untuk menghidupi keluargaku nanti sambil menunggu ada lowongan untuk segera mendapatkan pekerjaan.
            Lama menguras pikiran dan melamun seorang diri didalam kamarku, mataku mulai terasa kaku. Sesekali aku mulai menguak. Sambil menggosok-gosok biji mata kuperhatikkan jam di ponsel. Tanpa terasa waktu telah menunjukkan jam 12 malam. Rasa kantuk terus mendera. Aku bangkit dari dudukku kemudian merebahkan tubuh diatas tempat tidur hingga tertidur pulas.
            Tiga hari kemudian sebelum kembali mendatangi Laela, aku memberanikan diri menyampaikan niatku menikahi Laela kepada kedua orangtuaku. Alangkah terkejutnya hati mereka setelah mendengar keinginanku tersebut.  Beribu kata nasehat dan omelan mulai keluar dari mulut mereka. Kedua orangtuaku selalu mengaitkan nasibku yang belum jelas dengan pilihanku saat ini. Hal ini tentunya melemahkan niatku. Kekesalan mulai timbul dalam diriku. Apa yang menjadi keinginanku ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Orangtuaku bukan tidak merestui hubunganku dengan Laela. Tapi, mereka lebih mempertimbangkan nasibku serta menganggap aku tidak layak untuk menikahi Laela karena perbedaan strata sosial.sebab di kampungku keluarga pak Abdurrahman memang sangat terpandang dan disegani karena kaya raya. Kedua orangtuaku lebih sepakat jika aku harus memiliki pekerjaan dulu serta mencari orang yang setara dengan keadaan ekonomi keluarga kami. Menanggapi respon orangtuaku yang terkesan tidak mendukung apa yang menjadi keinginanku tersebut, membuatku patah semangat. Hari-hariku seakan tak memberi arti lagi. Keadaan ini sungguh membuatku lemah. Harapanku memperistri kekasih hati seakan sirna.
            Meski nyaris putus asa, beberapa hari kemudian aku kembali mendatangi Laela di rumahnya tanpa peduli dengan pertimbangan dan celoteh orangtua. Seperti biasanya setibanya dirumah Laela, keadaan tidak berubah lazimnya setiap kali aku berkunjung. Muka masam keluarga kekasihku tersebut tetap tersajikan untukku. Rasa cinta yang mendalam sungguh mampu menjadi perisai dalam menghadapi semua itu. Rasa malu dan akal sehatku seakan terkubur oleh perasaan cinta terhadap Laela. Kali ini tanpa tanggung-tanggung aku langsung menyampaikan tujuanku yang sempat tertunda beberapa hari yang lalu kepada Laela. Mendengar apa yang aku sampaikan Laela yang memang aku dan dia saling mencintai terlihat amat bahagia. Dengan tersenyum sipu nampak raut wajahnya sangat ceria. Akupun percaya diri meski Laela belum menjawab keinginanku namun sikapnya membuatku menyimpulkan bahwa Ia menyetujuinya. Tak henti-hentinya Laela tersenyum. Berbeda dengan sebelumnya, aku melihat ada perbedaan pada diri kekasihku di malam itu. Setelah aku ungkapkan tanpa dijawab oleh Laela, Iapun mengalihkan suasana pada canda. Gelak tawa diantara kamipun tak terelakkan. Sikap Laela benar-benar mampu mengembalikan semangatku untuk meminangnya yang sempat pupus.
            Kunjunganku kali ini kerumah Laela membuahkan hasil.  Setelah lama kami berduaan diruang tamu dengan berbagi kisah dan canda, akhirnya Laelapun mengatakan padaku bahwa Ia sangat bahagia mendengar apa yang aku sampaikan. Mendengar jawaban Laela, akupun tak kuasa membendung rasa bahagia. Singkat cerita, malam itu aku pulang dengan perasaan lega dan penuh harapan.
            Untuk kesekian kalinya aku kembali menyampaikan keinginanku untuk menikahi Laela kepada kedua orangtuaku.  Tekadku kali ini mendapat tanggapan serius dari mereka. Apalagi saat mendengar bahwa Laela siap untuk dilamar olehku. Kedua orangtuaku masih tidak percaya dengan apa yang aku sampaikan. Rupanya dalam benak mereka tidak memikirkan Laela. Mereka lebih memikirkan keluarga Laela. Bagi kedua orangtuaku, persoalan aku dan Laela suka sama suka adalah persoalan nomor dua. Yang paling utama bagi mereka adalah keluarga Laela siap tidak menerima lamaranku. Keduanya pun kembali menjelaskan padaku dengan berbagai nada bijak untuk aku mempertimbangkan pilihanku matang-matang. Lagi-lagi masalah pekerjaanku selalu terselip disetiap celoteh mereka.
            Berminggu-minggu lamanya masalah keinginanku untuk mengakhiri masa lajang menjadi pembicaraan serius dalam keluargaku. Dari setiap pembicaraan yang dibangun nyaris tidak ada yang membahas masalah suka sama sukanya aku dan Laela. Tapi, semuanya membahas masalah keturunan dan keluarga. Hingga tiba saatnya aku dipanggil oleh kakekku sebagai orang yang dianggap tetua dalam keluarga kami. Kakekku mempertanyakan keinginanku menikah dengan berbagai pertanyaan yang mengarah pada tantangan dalam membina bahtera rumah tangga, untuk mengetahui sejauh mana kesiapanku dalam menghadapi itu semua. Singkat cerita, setelah menempuh berbagai pertimbangan keluarga serta didorong oleh sikapku dengan Laela yang meyakinkan keluargaku akhirnya merekapun siap melamar Laela untukku.
            Prosesing adat dalam bentuk musyawarah sebagaimana kebiasaan masyarakat dikampungkupun dilakukan. Setelah semuanya dianggap matang, kini dilanjutkan dengan lamaran kerumah Laela.
            Rupanya kebahagiaan belum berpihak ke aku dan Laela. Sekian lama membina hubungan cinta kasih untuk saling mengenal dan memahami karakter dalam mencari kecocokan seakan tak berarti. Pilahan yang kami tentukan secara sadar berdasarkan beberapa standar penilaian menurut pemahaman kami ternyata tidak dijadikan pertimbangan oleh keluarga kekasihku. Masalah terakhir yang dihadapkan ke kami berdua adalah tidak diterimanya lamaran keluargaku oleh kedua orangtua Laela. Alasannya sederhana, mereka belum siap berpisah dengan Laela.
            Mendengar berita ini, sungguh membuat aku dan Laela terpukul. Begitu juga dengan keluargaku. Mereka harus menanggung rasa malu yang amat sangat. Tidak hanya itu, berita inipun heboh menjadi bahan pembicaraan hampir seluruh masyarakat dikampungku. Berbagai bahasa kurang sedap mulai terdengar dari suara bisik-bisik tetangga. Berita yang menyebar bukan sebagaimana alasan penolakan oleh keluarga Laela terhadap lamaran keluargaku. Namun lebih dari itu. Mereka sudah mulai berbicara  keturunan, pekerjaan, ekonomi dan berbagai alasan strata sosial lainnya. Alasan kekeluargaan dominan menjadi buah bibir dikampungku.
            Aku menjadi merasa berdosa terhadap kedua orangtuaku. Gara-gara perasaan cinta yang amat dalam terhadap Laela anak Pak Abdurrahman, meluluhkan akal sehatku.
Sikap keluarga Laela selama ini yang selalu menampakkan muka masam ketika aku bersama Laela kini terjawab. Pembicaraan masyarakat kampong menjawabnya. Keluargaku benar-benar malu. Hari-hari kedua orangtuaku kini dihabiskan dikebun dan jarang pulang ke rumah lantaran masalan asmaraku yang tak sampai. Inilah kisahku dan kekasihku yang mungkin juga dialami oleh kebanyakan orang. Pernikahan yang kami impikan ini sesungguhnya bukan pernikahan aku dan kekasihku. Tapi, pernikahan keluarga kekasihku dan keluargaku. Rasa malu lebih dirasakan oleh kedua orangtuaku dibandingkan aku dengan kekasihku. Kami hanya bisa meratapi pernikahan yang kami impikan atas dasar pilihan sadar serta saling mencintai. Meratapi pernikahan yang bukan milik kami hanya karena perbedaan status sosial.

Penulis : Alif Babuju

**** Kupersembahkan Untuk Asni Nur, Ratna & Irma (Saudari-saudariku tercinta)
“Lumatlah Fitrah Cinta dalam Sujud”

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Kritik & Saran konstruktif Pembaca sangat Kami harapkan