Sudah
genap setahun aku menyelesaikan
kuliah(S1) di salah satu Perguruan Tinggi Swasta yang bergerak di bidang
keguruan dan ilmu pendidikan, dan kini
telah menyandang gelar sarjana. Meski telah selesai kuliah, aku tidak
langsung memiliki pekerjaan. Selain karena sempitnya lapangan pekerjaan, juga
dikarenakan aku tidak punya cukup uang untuk melamar kerja. Sudah menjadi
kebiasaan masyarakat dikampungku bahwa untuk memiliki pekejaan harus punya
uang. Jangankan untuk menjadi seorang pegawai negeri sipil yang memang menjadi
tumpuan harapan kebanyakan masyarakat di kampungku, untuk menjadi tenaga
sukarela pun memerlukan uang. Teman-teman
seangkatan yang satu kampung denganku hampir rata-rata telah memiliki pekerjaan.
Dalam keadaan seperti ini membuatku malu
dan patah semangat. Aku merasa di asingkan oleh masyarakat. Aku sering
dijadikan buah bibir mereka. Selain itu, aku harus menanggung beban akibat rasa
malu dari kedua orangtuaku. Untuk menepis itu semua, aku menghabiskan
hari-hariku dikebun membantu ayah dan ibu mengolah tanaman. Saat kembali ke perkampungan
aku hanya mengurung
diri di dalam kamar sambil melamun dan merangkai imajinasi tentang kesuksesan
dan masa depan.)
Kala itu senja baru saja berlalu dan
malampun tiba.Usai sholat magrib aku duduk termenung dibale-bale bambu yang
terletak di halaman rumahku. Ini
kebiasaaku sehari-hari ketika malam tiba untuk melepas lelah akibat seharian
bekerja dikebun. Selain melepas lelah, hal ini aku lakukan untuk merenungi
celoteh kedua orangtuaku yang hampir setiap malam membicarakan nasibku sebagai
seorang sarjana muda pengangguran.
Celoteh itu membuatku merasa risih dan membebani fikiranku. Kedua orangtuaku
terkadang menyesal karena telah meng-kuliahkan aku lantaran malu pada
masyarakat kampung, akan keadaan diriku yang tak kunjung jadi apa-apa.
Merekapun sempat menyarankan aku untuk keluar negeri menjadi seorang TKI saja. Memikirkan ini semua,
perasaan tak karuan berkecamuk menggempur bathinku. Aku tak bisa melakukan
apa-apa. Hanya merenung sembari menengadah kelangit. Berjuta bintang yang
senantiasa menghiasi malam seakan tak lagi indah. Hanya rasa tak sedap
yang menyerap keperkasaanku.
Laela, anak Pak Abdurrahman seorang
pedagang kahangga(Rumput Laut) dikampungku adalah teman sekampusku
waktu kuliah. Sekarang Ia telah menjadi tenaga pengajar sukarela di salahsatu Sekolah
Dasar dikampung kami. Keluarga Pak Abdurrahman adalah keluarga yang terpandang
dikampungku. Hubunganku dengan Laela
bukan sekedar teman biasa. Ia dan aku sudah lama menjalin hubungan cinta(pacaran). Sejak pertama kali kami
kuliah, hubungan diantara kami sudah terjalin. Sekarang telah genap lima tahun kami pacaran. Diusia pacaran yang
sudah tergolong lama tersebut, aku dan Laela
telah banyak menghabiskan waktu untuk saling mengenal serta memahami sifat dan karakter masing-masing.
Kami telah menemukan kecocokan dan optimis untuk melanjutkan hubungan kami ke
jenjang pernikahan kelak.
Memikirkan nasibku yang
kembali menjadi petani, aku terkadang nyaris putus asa menjalani hidup
dikampung. Makin hari aku semakin merasa terasingkan oleh warga dikampungku.
Aku kerap kali dijadikan contoh orang-orang yang gagal oleh mereka. Disisi
lain, bergaul dengan teman-teman sekampung yang sama sekali tidak pernah kuliah
mendapat tanggapan serius dimata masyarakat. Bahkan segala tindak-tandukku
hampir tidak ada yang baik dalam penilaian mereka. Keadaan yang tidak sehat ini
membuatku merasa kerdil dan tidak berarti. Akhirnya aku memilih untuk
mengakhiri masa lajangku layaknya kebanyakan teman-teman sebayaku.
Suatu hari, usai sholat
magrib aku menjumpai Laela dirumahnya. Dengan perasaan kurang enak aku memberanikan
diri meski keluarga Laela menunjukkan muka masam saat melihatku. Aku dan Laela
sama-sama merasa tidak nyaman sebab keluarganya tidak menyetujui hunbungan
kami. Memang ketidak setujuan itu tidak diungkapkan secara langsung. Namun
sikap mereka seakan memberikan catatan alamat bahwa hubungan kami memang tidak
dikehendaki. Meski demikian, akibat
perasaan cinta yang mendalam kami tidak
peduli dengan hal itu dan berusaha menikmati suasana yang tidak bersahabat.
Pertemuanku dengan Laela saat itu beda dengan pertemuan kami sebelumnya. Kali
ini aku mendatangi rumah Laela dengan rencana untuk membahas secara serius
hubunganku dengannya.
Setelah sedikit lama
berduaan diruang tamu dengan keadaan kurang leluasa sebagaimana lazimnya selama
ini antara aku dan Laela karena sikap keluarga kekakasihku itu yang kurang
bersahabat, akupun mulai memberanikan diri untuk mengungkapkan rencanaku
terhadap Laela. Awalnya aku ragu-ragu. Sesekali kupandang wajah Laela kemudian
menundukkan pandangan lalu menggapai teh hangat yang disuguhkan Laela untukku.
Perlahan aku meneguk teh itu sembari memperkuat tekadku untuk mengungkapkan
tujuan kedatanganku malam itu. Usai meneguk sedikit teh, kembali kuletakkan
gelas itu diatas meja sambil menarik nafas dalam-dalam untuk mulai bicara.
Namun, ketika aku hendak mengungkapkannya, tiba-tiba Laela menegurku. Rupanya
sejak tadi tanpa aku sadari Ia diam-diam memperhatikkan sikapku.
“Kamu kenapa ?, sikapmu kelihatan aneh...”. Tegur Laela.
Mendengar suara Laela, sontak aku terkejut lalu
menjawabnya dengan senyum sinis dan suara tidak menentu.
“Hehehe…, tidak apa-apa kok, teh nya nikmat sekali”. Balasku tak karuan.
Mendengar jawabanku, Laela mengerutkan dahinya sembari
tertawa kecil. Akupun terus membalasnya dengan tawa.
Melihat sikap Laela yang nampak santai dan ramah,
semakin memperkuat tekadku untuk mulai berbicara. Tanpa berfikir panjang,
akupun membeanikan diri.
“La.., begini….”
Belum sempat pembicaraanku menjadi kalimat yang utuh,
seketika kami dikejutkan oleh suara keras orang memanggil nama Laela dari ruang
dalam rumah. Rupanya ibu Laela yang memanggil dengan nada marah sembari
mengingatkan waktu malam yang mulai larut. Laelapun menjawab panggilan ibunya
dengan suara lembut. Sedangkan aku setengah menengadahkan wajah ke arah jam
yang bergelantung di dinding rumah Laela. Waktu baru menunjukkan jam Sembilan
lewat sepuluh menit. Perlahan kutundukkan kepala sembari menghela nafas yang
terasa sedikit sesak. Seketika kemudian
aku dan Laela saling memandang lalu Ia meminta maaf padaku.
“Maaf…! Lain kali lagi kesini, jam bertamu telah habis
hehehe…” Laela berusaha
memperingatiku dengan ungkapan maaf yang dibingkai dengan canda berusaha
mengurangi rasa tersinggungku. Aku hanya bisa tersenyum sambil bangkit dari
tempat duduk untuk segera minggat dari tempat itu. Sebelum pergi, aku
menyempatkan diri untuk pamit kepada kedua orangtua Laela. Setelah itu aku
langsung pergi. Laela mengantarku sampai ke depan pintu rumahnya. Sambil berjalan
keluar, aku sedikit berbincang-bincang dengan Laela. Sekilas aku menyampaikan
pada laela bahwa sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengannya
malam ini. Namun. Waktu tidak memungkinkan. Akhirnya kamipun sepakat untuk
betemu lagi dilain waktu membahas masalah itu.
Menyusuri
gang kecil ditengah kampung, malam itu aku pulang dengan sedikit rasa
penyesalan bercampur tersinggung akibat sikap keluarga kekasihku yang terkesan
merasa risih atas hubunganku dengan Laela. Menyesal karena tidak sempat
mengungkapkan ke Laela tujuanku untuk mempersunting dirinya.
Setibanya
dirumah, aku langsung menuju tempayan air yang terletak disamping rumahku untuk
berwudhu. Usai wudhu, aku bergegas menuju pintu rumah hendak masuk kedalam.
Keadaan dirumahku Nampak sepih. Kedua orangtua dan saudara-saudaraku rupanya
sudah tidur. Dengan hati-hati aku mendorong pintu rumah. Rupanya telah dikunci
dari dalam. Tanpa berfikir panjang, dengan serta merta akupun memanggil ibuku untuk
membukakan pintu. Setelah berkali-kali aku memanggilnya, beliaupun terdengar
mendengkur. Suara kasak-kusuk terdengar saat ibuku bangun dari tidurnya
kemudian berjalan menuju ruang depan membukakan pintu untukku. Dengan suara
parau Ia bertanya aku dari mana. Akupun menjelaskan pada ibuku. Mendengar
jawabanku, beliau hanya diam lalu kembali melangkah menuju kamar tidurnya. Aku
lalu masuk kedalam rumah menyusul ibu sembari menutup kembali pintu rumah.
Sesaat kemudian aku menuju kamar tidurku lalu menggapai sajadah kemudian
menunaikan sholat Isya.
` Usai mendirikan
shalat, kusandarkan tubuh pada dinding kamarku sembari mengotak-atik
Hand Phone genggam milikku yang sudah hampir dua bulan ini tidak pernah diisi pulsa. Sambil melamun jemariku
tak henti-hentinya memainkan tombol hand phone. Dimalam yang hening itu, aku
memikirkan kembali tentang niatku untuk mempersunting Laela. Segala hal dan
konsekuensi berumah tangga mulai kupikirkan matang-matang. Aku juga memikirkan
kehendakku tersebut yang belum diketahui oleh kedua orangtuaku. Disisi lain,
nasib diriku yang masih pengangguran turut serta membebani pikiranku. Berjuta
Tanya mulai timbul dalam benakku tentang keadaanku setelah berkeluarga kelak. Meski
demikian, tidak sedikitpun menyurutkan niatku untuk segera menikahi Laela.
Persoalan rezeki sepenuhnya kuyakini urusan Tuhan. Aku akan bekerja keras
mengolah perkebunan milikku untuk menghidupi keluargaku nanti sambil menunggu
ada lowongan untuk segera mendapatkan pekerjaan.
Lama
menguras pikiran dan melamun seorang diri didalam kamarku, mataku mulai terasa
kaku. Sesekali aku mulai menguak. Sambil menggosok-gosok biji mata kuperhatikkan
jam di ponsel. Tanpa terasa waktu telah menunjukkan jam 12 malam. Rasa kantuk
terus mendera. Aku bangkit dari dudukku kemudian merebahkan tubuh diatas tempat
tidur hingga tertidur pulas.
Tiga
hari kemudian sebelum kembali mendatangi Laela, aku memberanikan diri
menyampaikan niatku menikahi Laela kepada kedua orangtuaku. Alangkah
terkejutnya hati mereka setelah mendengar keinginanku tersebut. Beribu kata nasehat dan omelan mulai keluar
dari mulut mereka. Kedua orangtuaku selalu mengaitkan nasibku yang belum jelas
dengan pilihanku saat ini. Hal ini tentunya melemahkan niatku. Kekesalan mulai
timbul dalam diriku. Apa yang menjadi keinginanku ternyata tidak sesuai dengan
kenyataan. Orangtuaku bukan tidak merestui hubunganku dengan Laela. Tapi,
mereka lebih mempertimbangkan nasibku serta menganggap aku tidak layak untuk
menikahi Laela karena perbedaan strata sosial.sebab di kampungku keluarga pak
Abdurrahman memang sangat terpandang dan disegani karena kaya raya. Kedua
orangtuaku lebih sepakat jika aku harus memiliki pekerjaan dulu serta mencari
orang yang setara dengan keadaan ekonomi keluarga kami. Menanggapi respon
orangtuaku yang terkesan tidak mendukung apa yang menjadi keinginanku tersebut,
membuatku patah semangat. Hari-hariku seakan tak memberi arti lagi. Keadaan ini
sungguh membuatku lemah. Harapanku memperistri kekasih hati seakan sirna.
Meski
nyaris putus asa, beberapa hari kemudian aku kembali mendatangi Laela di
rumahnya tanpa peduli dengan pertimbangan dan celoteh orangtua. Seperti
biasanya setibanya dirumah Laela, keadaan tidak berubah lazimnya setiap kali
aku berkunjung. Muka masam keluarga kekasihku tersebut tetap tersajikan
untukku. Rasa cinta yang mendalam sungguh mampu menjadi perisai dalam
menghadapi semua itu. Rasa malu dan akal sehatku seakan terkubur oleh perasaan
cinta terhadap Laela. Kali ini tanpa tanggung-tanggung aku langsung
menyampaikan tujuanku yang sempat tertunda beberapa hari yang lalu kepada
Laela. Mendengar apa yang aku sampaikan Laela yang memang aku dan dia saling
mencintai terlihat amat bahagia. Dengan tersenyum sipu nampak raut wajahnya
sangat ceria. Akupun percaya diri meski Laela belum menjawab keinginanku namun
sikapnya membuatku menyimpulkan bahwa Ia menyetujuinya. Tak henti-hentinya
Laela tersenyum. Berbeda dengan sebelumnya, aku melihat ada perbedaan pada diri
kekasihku di malam itu. Setelah aku ungkapkan tanpa dijawab oleh Laela, Iapun
mengalihkan suasana pada canda. Gelak tawa diantara kamipun tak terelakkan.
Sikap Laela benar-benar mampu mengembalikan semangatku untuk meminangnya yang
sempat pupus.
Kunjunganku
kali ini kerumah Laela membuahkan hasil.
Setelah lama kami berduaan diruang tamu dengan berbagi kisah dan canda,
akhirnya Laelapun mengatakan padaku bahwa Ia sangat bahagia mendengar apa yang
aku sampaikan. Mendengar jawaban Laela, akupun tak kuasa membendung rasa
bahagia. Singkat cerita, malam itu aku pulang dengan perasaan lega dan penuh
harapan.
Untuk
kesekian kalinya aku kembali menyampaikan keinginanku untuk menikahi Laela
kepada kedua orangtuaku. Tekadku kali
ini mendapat tanggapan serius dari mereka. Apalagi saat mendengar bahwa Laela
siap untuk dilamar olehku. Kedua orangtuaku masih tidak percaya dengan apa yang
aku sampaikan. Rupanya dalam benak mereka tidak memikirkan Laela. Mereka lebih
memikirkan keluarga Laela. Bagi kedua orangtuaku, persoalan aku dan Laela suka
sama suka adalah persoalan nomor dua. Yang paling utama bagi mereka adalah
keluarga Laela siap tidak menerima lamaranku. Keduanya pun kembali menjelaskan
padaku dengan berbagai nada bijak untuk aku mempertimbangkan pilihanku
matang-matang. Lagi-lagi masalah pekerjaanku selalu terselip disetiap celoteh
mereka.
Berminggu-minggu
lamanya masalah keinginanku untuk mengakhiri masa lajang menjadi pembicaraan
serius dalam keluargaku. Dari setiap pembicaraan yang dibangun nyaris tidak ada
yang membahas masalah suka sama sukanya aku dan Laela. Tapi, semuanya membahas
masalah keturunan dan keluarga. Hingga tiba saatnya aku dipanggil oleh kakekku
sebagai orang yang dianggap tetua dalam keluarga kami. Kakekku mempertanyakan
keinginanku menikah dengan berbagai pertanyaan yang mengarah pada tantangan
dalam membina bahtera rumah tangga, untuk mengetahui sejauh mana kesiapanku
dalam menghadapi itu semua. Singkat cerita, setelah menempuh berbagai pertimbangan
keluarga serta didorong oleh sikapku dengan Laela yang meyakinkan keluargaku
akhirnya merekapun siap melamar Laela untukku.
Prosesing
adat dalam bentuk musyawarah sebagaimana kebiasaan masyarakat dikampungkupun
dilakukan. Setelah semuanya dianggap matang, kini dilanjutkan dengan lamaran
kerumah Laela.
Rupanya
kebahagiaan belum berpihak ke aku dan Laela. Sekian lama membina hubungan cinta
kasih untuk saling mengenal dan memahami karakter dalam mencari kecocokan
seakan tak berarti. Pilahan yang kami tentukan secara sadar berdasarkan
beberapa standar penilaian menurut pemahaman kami ternyata tidak dijadikan
pertimbangan oleh keluarga kekasihku. Masalah terakhir yang dihadapkan ke kami
berdua adalah tidak diterimanya lamaran keluargaku oleh kedua orangtua Laela.
Alasannya sederhana, mereka belum siap berpisah dengan Laela.
Mendengar
berita ini, sungguh membuat aku dan Laela terpukul. Begitu juga dengan
keluargaku. Mereka harus menanggung rasa malu yang amat sangat. Tidak hanya
itu, berita inipun heboh menjadi bahan pembicaraan hampir seluruh masyarakat
dikampungku. Berbagai bahasa kurang sedap mulai terdengar dari suara
bisik-bisik tetangga. Berita yang menyebar bukan sebagaimana alasan penolakan
oleh keluarga Laela terhadap lamaran keluargaku. Namun lebih dari itu. Mereka
sudah mulai berbicara keturunan,
pekerjaan, ekonomi dan berbagai alasan strata sosial lainnya. Alasan
kekeluargaan dominan menjadi buah bibir dikampungku.
Aku
menjadi merasa berdosa terhadap kedua orangtuaku. Gara-gara perasaan cinta yang
amat dalam terhadap Laela anak Pak Abdurrahman, meluluhkan akal sehatku.
Sikap keluarga Laela selama ini yang selalu
menampakkan muka masam ketika aku bersama Laela kini terjawab. Pembicaraan
masyarakat kampong menjawabnya. Keluargaku benar-benar malu. Hari-hari kedua
orangtuaku kini dihabiskan dikebun dan jarang pulang ke rumah lantaran masalan
asmaraku yang tak sampai. Inilah kisahku dan kekasihku yang mungkin juga dialami
oleh kebanyakan orang. Pernikahan yang kami impikan ini sesungguhnya bukan pernikahan aku dan
kekasihku. Tapi, pernikahan keluarga kekasihku dan keluargaku. Rasa malu lebih
dirasakan oleh kedua orangtuaku dibandingkan aku dengan kekasihku. Kami hanya
bisa meratapi pernikahan yang kami impikan atas dasar pilihan sadar serta
saling mencintai. Meratapi pernikahan yang bukan milik kami hanya karena
perbedaan status sosial.
Penulis : Alif Babuju
Penulis : Alif Babuju
**** Kupersembahkan Untuk Asni Nur, Ratna & Irma
(Saudari-saudariku tercinta)
“Lumatlah Fitrah Cinta dalam Sujud”