Senin, 28 Juli 2014

PERGESERAN KULTUR INTELEKTUAL

Sebagai basis transformasi sosial keberadaan mahasiswa menjadi salah satu kekuatan yang selalu dipertimbangkan oleh berbagai kelompok kepentingan (interest group) terutama pengambil kebijakan, yakni Negara. Lembaran sejarah bangsa Indonesia telah mencatat peran Mahasiswa dalam berbagi perubahan yang signifikan di negeri ini. Sejak berdirinya organisasi modern pertama Budi Utomo mei 1908 yang kemudian berpuncak pada sumpah pemuda 1928, peristiwa Rengas Dengklok 1945, kejatuhan rezim Orde Lama (Soekarno) 1965, gerakan 1975, dan tumbangnya rezim Orde Baru pasca reformasi serta masih banyak lagi peristiwa – peristiwa penting lainya yang selalu di motori oleh kaum muda yang mayoritasnya adalah generasi ilmiah (Mahasiswa). perubahan – perubahan itu terjadi bukanlah suatu kebetulan atau keniscayaan yang berjalan karena keberadaan mahasiswa tanpa gerakan–gerakan yang sitemik. Namun perubahan tercapai karena keberadaan mahasiswa yang tercerahkan hingga sadar akan sebuah tanggung jawab kemudian terilhami sebuah misi suci (mission sacre) untuk memperjuangkan kondisi bangsa menuju kearah yang lebih baik. Jika kita menelusuri perubahan–perubahan mendasar diseluruh pelosok daerah Se-Nusantara, tak bisa dipungkiri eksistensi mahasiswa sebagai realitas sosial telah menjadi pilar dari kondisi masyarakat Indonesia pada umumnya.
Menelaah kembali nilai identitas mahasiswa sebagai masyarakat ilmiah , mengandung berbagai esensi yang sungguh berat untuk di emban. Identitas merupakan Karakter yang melekat pada individu yang membedakannya dengan yang lain. Secara sadar kita memahami bahwa mahasiswa adalah sebuah identitas sehingga manifestasi dari nilai identitas itu harus terjewantahkan dalam realitas sosial melalui karakteristik atau ciri–ciri mahasiswa sebagai masyarakat yang berfikir. Sehingga fungsi mahasiswa sebagai Agent of change, Agent of Control, dan Agent of sosial menjadi energi yang terus menuai makna dalam melanjutkan agenda reformasi dengan berlandaskan pada kekuatan moral (moral of force).
Menyikapi laju eksistensi gerakan mahasiswa akhir dekade ini, mengalami pergeseran kultur yang sangat memprihatinkan. Dimana mayoritas mahasiswa hanya sebatas populasi yang bergelut dalam komunitas aslinya (kampus) sebagai penggali ilmu semata. Posisi mahasiswa dalam realitas sosial sebagai masyarakat menegah (Middle class) yang beroposisi dengan rakyat (low class) serta senantiasa mengontrol dan menghakimi kebijakan penguasa (high class) tercampakkan hingga esensi identitas kemahasiswaan pun turut terseret tanpa makna. Ephoria aptisme semakin terjangkit dalam benak dan pola fikir, budaya – budaya hedonisme menjadi kultur yang di minati. Sedangkan tujuan mahasiswa menjadi sebatas pemahaman yang bersifat seremonial belaka.
Mendeskripsikan pergeseran kultur budaya dalam komunitas intelektual (mahasiswa), Alto Makmuralto dalam bukunya “Dalam Diam Kita Tertindas” menulis;
“Melihat perkembangan gerakan dalam beberapa tahun terakhir pasca reformasi 1998, gerakan mahasiswa mengalami kelesuan yang sangat signifikan yang mana harus diakui bahwa gerakan mahasiswa semakin lemah dan seakan tak mampu berbuat apa-apa dan bahkan boleh dikata kebingungan dalam melakukan penentangan terhadap berbagai kedzaliman secara struktur dan sitematik yang sedang terjadi di depan mata kita. hal ini dapat dilihat dari pergeseran kultur mahasiswa dari tradisi-tradisi intelektual, seperti budaya baca, diskusi dan lain–lain, menjadi tradisi Gaya hidup hedonistik dalam dekapan kebudayaan pop, yang telah begitu membudaya di kampus-kampus. Hal ini disebabkan oleh semakin gencarnya serangan-serangan budaya hedonoisme (Food, Fasion and Fun) yang telah marak dikampus-kampus yang menyebabkan kampus sulit dibedakan dengan Mall. Selain itu system dan aturan akedimik yang seakan–akan tidak memberikan kesempatan dan pilihan lain diluar akademik membuat mahasiswa tidak tertarik untuk baca buku, diskusi, kajian, Faktor-faktor inilah yang mempengaruhi dan menyebabkan sebagian besar mahasiswa memiliki paradigma dan cara berfikir yang praktis dan pragmatis serta acuh tak acuh dalam memandang realitas dan menjadikan mahasiswa enggan untuk berpartisipasi dan mengambil peran penting dalam dunia gerakan ”
Berbicara gerakan dalam prespektif kemahasiswaan memiliki cakupan yang luas. Hal yang paling signifikan adalah gerakan pembenahan potensi diri agar menyadari akan identitas kemahasiswaan itu sendiri. Secara kodrati tiap–tiap individu memiliki potensi yang berbeda–beda. Tentunya dalam hal ini budaya–budaya penyatuan prespektif (diskusi) untuk memperkuat analisis dalam menyikapi realitas sangat di butuhkan. Demikian halnya dengan penguatan konsep (ilmu pengetahuan), kebiasaan untuk memamah berbagai macam referensi dan literature merupakan hal yang tak kalah pentingnya. Sebab kesempurnaan kecerdasan tercapai dari jutaan suplemen (rangsangan) dari potensi–potensi di luar diri kita dan secara ideologispun mahasiswa memiliki prespektif yang sama. Sehingga dalam membangun gerakan kemahasiswaan dalam menjalankan misi suci berdasarkan tujuan mahasiswa sebagai tonggak kemajuan bangsa tidak minim akan metode dan starategi . Tanpa seharusnya menjadi sperti di singgung oleh Drs. Abdul Wahid dkk. dalam bukunya “Melawan Bandit–Bandit Intelektual” menulis ; “ kaum terdidik itu (mahasiswa) sedang terpesona dalam romantisme budaya dan kepentingan faksi–faksi yang di bangunnya, yang dianggap dan di kalkulasikan bisa memuaskan gelora ambisinya. Mereka tidak peduli apakah bangsa ini akan menuai kehidupan damai dan sejahtera ataukah tidak. Dalam diri dan kelompoknya, kepentingan yang di usung dan di bela hingga meneteskan darah adalah kepentingan yang bercorak instan dan merugikan”.
Kultur gerakan kemahasiswaan dewasa ini mengalami kemerosotan dan impotensitas. Metode dan startegi gerakan yang relevan dengan kondisi yang ada sama sekali raib tak berwujud. Sehingga paradigma untuk membangun gerakan selalu terarah pada demonstrasi yang semestinya menjadi pola terakhir setelah kehabisan berbagai metode dan strategi.
Lalu Apa ?
Siapakah yang akan di kambing hitamkan dalam dinamika krisis multidimensional dalam ruang komunitas ilmiah ???
Kampus merupakan rahim budaya intelektual. Mahasiswa dan perguruan tinggi adalah kesatuan yang tak bisa dipisahkan ibarat dua sisi mata uang. Pergruan tinggi merupakan sumber kader intelektual. Sistim dalam lembaga perguruan tinggi sangat berperan sebagai kekuatan organis dalam upaya menciptakan generasi ilmiah yang militansi. Menyikapi dinamika di atas haruskah kita menyalahkan Perguruan Tinggi? sebab keniscayaan berdengung sesuatu yang lahir dari suatu sistim yang ada akan terlahir sama sepeti sistimnya. kemerosotan yang sangat fundamental dalam diri generasi ilmiah pada masa sekarang ini adalah menjadi makhluk-mahluk berakal yang berjubahkan peradaban modernitas (budak peradaban).
Penulis berharap berbagai interpretasi terhadap pergeseran kultur dalam tubuh generasi ilmiah (Mahasiswa) dan kamuflase Pendidikan Tinggi saat ini, tanpa harus saling mencari kambing hitam. Jika kader intelektual (mahasiswa) yang notabenenya sebagai generasi ilmiah dan pilar bangsa yang di produksi oleh Perguruan Tinggi harus berjubahkan peradaban modernitas hari ini tak semestinya terlena dalam romantisme euphoria apatisme. Sebab, “pendidikan bukan untuk lahirkan budak, budak tidak perlu lahir dari dunia pendidikan, dan pendidikan bukan cermin masyarakat budak, kecuali budak memang jadi kebutuhan, Pertuanan bikin poros sesembahan, di balik dinding sekolahan”. ( N. Hafidz, 2004).
Di butuhkan rekonstruksi paradikma berfikir ilmiah dari berbagi kalangan Tanpa harus mengekang mimbar bebas akademik serta mempecundangi generasi. wallahualam

***(Untuk para pengembara intelektual Bumi Patuh Karya)

penulis adalah mahasiswa STKIP Hamzanwadi 
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Kritik & Saran konstruktif Pembaca sangat Kami harapkan