Oleh : Alif BABUJU
.bmp)
Sesaat sebelum mentari berajak sepenggalah tinggi diangkasa,
aku belum menyibak selimut yang membalut tubuhku. Usai bangun tidur diawal pagi
tadi, udara dingin sekali. Itulah sebabnya aku masih menyelimuti diri sambil duduk
disebuah bangku panjang berukuran dua setengah meter yang terletak diemperan
depan rumahku, sembari menanti beberapa saat untuk mandi lalu bersiap-siap ke
kampus.
Hampir setiap pagi sejak masuk Sekolah Dasar
hingga duduk dibangku kuliah, aku menjadi penonton setia bagi kedua orangtuaku.
Kebiasaanku setiap pagi sebelum
berangkat sekolah aku menyempatkan diri untuk duduk santai sejenak. Hal ini kebiasaanku
sejak pertama masuk sekolah hingga kini. Disaat-saat seperti inilah aku
menjadi penonton menyaksikan kedua orangtuaku yang sibuk mempersiapkan
alat-alat pertanian lalu bergegas ke sawah. Seperti sedang menyaksikan tayangan
dalam adegan film laga tentang perjungan hidup orang-orang pinggiran dan kaum
melarat. Hatiku tersayat. Ingin rasanya aku membantu mereka. Namun, sebagai
seorang pelajar, aku terikat dengan sekolah.
Dijenjang sekolahku yang sudah tinggi,
pikiranku mulai beranjak untuk memikirkan arti dan realitas kehidupan. Hatiku
mulai tergugah dan sadar. Memikirkan lebih dalam tentang aku yang kerap
diperlakukan seperti raja di rumah dan hanya bisa menonton jerih payah orangtuaku. Aku
dijadikan tulang punggung dan harapan keluarga. Itulah sebabnya mereka
melarangku bekerja. Kata orangtuaku, sudah kewajiban merekalah menyekolahkan
dan menafkahi anak sedangkan kewajiban seorang anak untuk sekolah. Sikap orangtuaku
tentunya membuat aku menjadi manja. Terkadang muncul rasa penyesalan karena
bersekolah. Sebab sekolah telah menjadi alasan bagi orangtuaku melarang aku
membantu mereka. Sekolah telah membatasi kewajibanku sebagai seorang anak untuk
mengabdi dan membantu orangtuaku. Lebih dari itu, aku telah menjadi pendurhaka
yang menindas orangtuaku lantaran sekolah. Betapa tidak, mereka rela membanting
tulang untuk menyekolahkan aku. Sedangkan aku hanya menikmati kenyamanan
dibangku sekolah. Mereka memeras peluh memanggang diri dibawah teriknya
matahari untuk membiayai hidup dan sekolahku. Bersekolah terlalu ringan jika
dibandingkan dengan perjuangan mereka. Dunia pendidikan sukses menjadikan aku
penindas yang lebih kejam dari imperialisme. Jika dijaman kolonial para penjajah memperkerjakan kaum pribumi
untuk kepentingan mereka, kini sekolah telah menjadikan aku penjajah bagi
orangtuaku sendiri. Aku memperkerja rodikan mereka untuk kepentinganku. Mereka
bekerja dan berjuang untuk masa depan yang bukan miliknya. Sekolah membelenggu
kebebasanku hingga membekukan hatiku tanpa rasa kasihan terhadap orangtuaku.
Kenapa
baru sekarang aku sadari…? bukankah sejak dulu aku memperlakukan mereka seperti
ini dan sekolahlah penyebabnya..? benakku mulai merangkai pertanyaan saat pengalaman dipagi itu menyita
perhatianku. Kisah yang memang baruku sadari dipagi itu, mengajakku untuk
menyelami lebih dalam tentang hal-hal yang direnggut oleh sekolah dalam
hidupku. Akupun tertegun melamun seorang diri memikirkan kembali semua yang
telah kulewati sebagai sisi lain dari keburukan menjadi anak sekolah. Yah, anak sekolah…! Sudah lebih dari tiga
belas tahun aku menjadi anak sekolah. Mungkin karena aku telah
menjadi anak sekolah inilah yang membuatku tidak lagi menjadi anak ayah dan ibuku. Aku merasa memang
sudah tidak lagi menjadi anak bagi kedua
orangtuaku. Sebab selama menjadi anak
sekolah aku lebih banyak menghabiskan waktu mengabdi disekolah. Aku
menghabiskan waktu untuk mengerjakan segala perintah guru dan taat terhadap
peraturan sekolah. Aku rela menomor duakan pengabdianku dalam membantu kedua
orangtuaku demi sekolah karena aku telah menjadi anak sekolah.
“Alif….,
Alif….!!!”.
Tiba-tiba terdengar suara orang memanggil namaku. Aku yang sedari tadi larut
dalam pikiran tentang sekolah terkejut. Suara itu berkali – kali memanggil
namaku. samar-samar sepertinya suara itu tidak asing lagi bagiku. Dugaanku
benar. Itu suara Gatot teman kuliahku. Ternyata Ia memanggil untuk mengajakku
ke kampus. Kebetulan disamping rumahku ada gang yang kerap dilewati Gatot
menuju kekampus. Setiap kali berangkat kuliah, Gatot selalu menghampiriku dan
mengajak untuk berangkat bersama. Sontak aku sadar bahwa aku hampir lupa dengan
waktu kuliah lantaran larut dalam memikirkan sekolah. Akupun langsung
menanggalkan selimut dari tubuhku lalu menggapai sabun kemudian menuju sumur
untuk mandi. Sedang Gatot setia menungguku sampai aku selesai mandi untuk
sama-sama kekampus.
Dikampusku
hari itu nampak ramai. Banyak wajah-wajah baru yang memadati sekitar
sekretariat lembaga kampus dan mengantri diloket. Rupanya mereka adalah calon
mahasiswa baru yang melakukan pendaftaran ulang setelah dinyatakan lulus tes
seleksi dikampusku. Mereka diwajibkan daftar ulang oleh lembaga kampus. Hal ini
sebenarnya sudah menjadi peraturan sejak masuk SMA dan akupun pernah
mengalaminya. Namun entah kenapa, tiba-tiba aku reflex terhadap hal ini disaat
sekarang pula. Mungkin karena terpengaruh oleh pikiranku yang sedari rumah
sebelum berangkat kuliah tadi yang memikirkan tentang sisi buruk sekolah. Nalar
kritis mulai lahir dalam pikiranku pada persoalan daftar ulang. Yach, daftar
ulang. Aku sanksi terhadap hal itu. Kok
daftar ulang sih ? emangnya mereka belum daftar awal masuk ? kenapa dibuat
berliku jalan menuju kampus ? itupun pake biaya lagi…demikianlah nalarku
mulai bertanya. Akupun mulai berfikir tentang uang yang dipungut untuk daftar
ulang dari sekian ribu mahasiswa baru itu dan ini dilakukan setiap tahun. Uang itu untuk apa dan akan dikemanakan ?
hmmmm…pantas saja para pembesar kampus
ini kaya yach ? gumanku sendiri. Tentulah tidak salah jika aku menduga
demikian, sebab tidak ada penjelasan yang transparan tentang penggunaan uang
itu. Beda halnya dengan uang registrasi semester yang dijelaskan secara
terperinci. Menyikapi hal ini, akupun sempat berfikir nakal. Secara tidak
langsung pengurus lembaga kampusku telah mengajarkan kami tekhnik canggih untuk
menjadi mafia berilmu. Hehehe…Disisi lain, biaya kuliah juga mahal. Ini
tentunya menjadi alasan bagi orangtua kami untuk bekerja lebih giat lagi
mencari uang kuliah. Sebuah tuntutan yang secara tidak langsung berpengaruh dan
mengikat sebagai cambukan kepada orangtua untuk lebih giat bekerja. Lagi-lagi
sekolah menjadi akibat dari semua ini. Akupun mulai berfikir pula bahwa pantas
saja semakin tinggi jenjang sekolahku, semakin tinggi pula beban dan usaha orangtuaku
mencari nafkah untuk membiayai aku.
Berawal
dari merenungi dan menyadari pengalamanku menjadi penonton bagi kedua
orangtuaku pagi tadi, seketika merubah fikiranku hari ini. Aku menjadi kritis
terhadap berbagai hal yang kualami. Semuanya mendapat sanksi dibenakku. Ada
pengalaman yang juga turut menyita perhatianku dalam ruangan kampus saat
perkuliahan tengah berjalan siang ini. Mata kuliahnya tentang Kritik Sastra.
Maklum aku jurusan Pendidikan Seni dan Bahasa Indonesia. Bukan persoalan mata
kuliahnya yang bermasalah. Tapi, persoalan peraturan dari dosen mata kuliah tersebut
yang kujadikan persoalan. Kebijakannya sungguh membuatku menyadari tentang
tidak pentingnya sekolah atau kuliah. Betapa tidak, dosenku mengharuskan setiap
mahasiswa untuk membayar diklat tentang mata kuliah tersebut. Bagi yang tidak
membayar katanya akan dikasih nilai C sedangkan yang membayar dijamin mendapat
nilai A. bagiku sikap dosen tersebut membodohi mahasiswa. Kebijakannya akan
berimbas pada pencangkokan kreatifitas dan belajar mahasiswa. Ini murni
pembodohan dan akupun langsung angkat bicara untuk mengritisi kebijakan dosen
tersebut. Namun, malang nian nasibku. Aku malah terancam mendapat nilai E dalam
mata kuliah ini. Rupanya dosenku tidak merespon dengan bijak kritikanku tetapi,
lebih menanggapinya dengan emosional. Hal ini nampak dari raut wajahnya
yang masam. Selain terancam mendapat
nilai buruk, aku juga dicap telah melakukan dosa karena menantang seorang
guru(dosen). Teman-temankupun membenciku dan menganggap aku kurang ajar.
Menyikapi hal ini, aku menjadi gugup dan minder. Ada rasa penyesalan juga.
Tapi, salahku apa ? aku ingin melancarkan kritikanku tanpa peduli dengan
keadaan. Namun, dosenku segera keluar meninggalkan ruangan. Beberapa diantara
teman-teman mahasiswa menghampirinya untuk bersalaman dan mrncium tangan pak
dosen.Cium tangan di kampusku sudah menjadi sejenis budaya yang mencerminkan
ketaatan seorang murid terhadap gurunya. Sedang aku hanya duduk termenung dibangku
tempat dudukku.
Kritikanku tentang jual beli diklat yang
dianggap membangkan oleh dosen dan teman-temanku dalam ruang kuliah tadi, tidak
memberi pengaruh pikiranku untuk tetap sanksi terhadap hal-hal yang bagiku
tidak masuk akal. Aku tetap bersih kukuh untuk menerjemahkan semua persoalan
ini. Tetapi, ada sesuatu yang tiba-tiba mengusik perasaaku ditengah nalar kritisku
semakin menjadi. Di kampusku yang namanya kritik terhadap kebijakan dosen dan
lembaga dianggap membangkang. Aku jadi teringat dengan cerita temanku yang juga
sempat melakukan kritikan. Ia akhirnya terancam di Drop Out(DO) oleh pihak
kampus. Kata temanku, jika ada yang tidak senang dengan pelayanan dikampus ini,
silahkan saja keluar dan hitung semua kerugianmu saat kuliah dikampus ini dan
akan diganti semua. Demikian ungkap pihak lembaga kampus, cerita temanku saat Ia diadili ketika melakukan kritikan. Mengingat hal ini
aku yang masih seumur jagung kuliah dikampusku tentunya takut. Sambil duduk
menanti jam kuliah selanjutnya, aku menarik nafas dalam-dalam. Kutemukan lagi
satu hal yang diakibatkan oleh sekolah, yakni kebebasanku terbelenggu. Mencoba
menemukan kebenaran ternyata dianggap tabu dikampusku. Kewajiban mahasiswa adalah taat sepenuhnya
pada dosen dan lembaga.
Terik matahari terasa menyengat memanggang
bumi. Usai kuliah siang itu, sebelum pulang aku menyempatkan diri untuk minum
kopi sambil ngombrol bareng teman-temanku dikantin kampus. Aroma White Coffe menyeruak menebar
kenikmatan. Sedang asap rokok Class Mild pun setia melengkapi. Gelak tawa
dan suara risih diskusi para mahasiswapun tak terelakkan. Ditengah keceriaan
suasana kantin, sayup-sayup terdengar olehku dari sisi lain pojok ruang kantin
suara beberapa orang mahasiswa yang tengah minum kopi sambil berdiskusi. Nampak
dari raut wajah mereka kayaknya sedang membahas sesuatu yang serius. Akupun
bergegas pindah tempat duduk tepat didekat mereka. Kebetulan ada meja kosong
disana. Kucermati pembicaraan mereka sambil seruput kopi dan menghisap rokok.
Rupanya mereka adalah mahasiswa senior dikampusku yang sedang membahas tentang
pembuatan skripsi. Terdengar dari pembicaraan mereka bukan bagaimana caranya
membuat skripsi sendiri. Tetapi, mereka tengah kompromi untuk mendatangi salah
satu oknum dosen dikampusku yang menerima jasa pembuatan skripsi. Mendengar hal
inipun sontak aku kaget. Tetapi, senior-senior tersebut nampak santai membahas
masalah itu terang-terangan. Memang hari ini banyak hal yang mengganggu
nalarku. Mendengar pembicaraan mereka, perasaan curiga timbul dalam diriku. Aku
menjadi meragukan kebanyakan dari pembuatan skripsi telah dijadikan proyek oleh
dosen. Ternyata bukan hanya diklat sebagaimana yang aku persoalkan dalam ruang
kuliah tadi, namun kini skripsi juga menjadi sasaran yang tak luput dari
jarahan komersialisasi para komporador pendidikan tersebut. Sekolah….sekolah…., gumanku dalam hati. Akankah waktuku akan tersita sia-sia lalu
akhirnya buat skripsi saja tidak bisa seperti senior-seniorku ini ? apa gunanya sekolah menghabiskan biaya dan
waktu jika akhirnya begini ? tanyaku dalam hati. lagi-lagi ini akibat sekolah, menyebabkan kita jadi anak durhaka.
Orangtua jadi korban penipuan anaknya sendiri sebagai akibat jadi anak sekolah. Tidak hanya itu, yang
lebih parah Tuhanpun dicumbui. Bukti menjadi anak durhaka dan mencumbui Tuhan dapat dilihat dalam halaman
motto dan persembahan skripsi. Selain itu bisa juga dilihat dalam sumpah Prasetya Sarjana. Orangtua kita dengan
bangga membaca halaman moto dan persembahan skripsi kita. Selain itu, para
orangtua dan segenap undangan terharu saat kita mengucapkan sumpah prastya
sarjana pada saat acara wisuda berlangsung.
Kopiku
akan habis dan rokokku tinggal beberapa batang. Akupun menyeruput sisa
kopiku lalu bergegas membayarnya pada kasir kantin kemudian pulang.
Pengalamanku hari ini banyak sekali, aku
mulai jenuh memikirkannya. Mungkin karena mataku mulai perih akibat ngantuk yang
mendera ingin tidur siang.
Selama aku duduk dibangku sekolah banyak hal
yang ingin aku ceritakan tentang sisi lain keburukan sekolah. Namun semakin aku
ceritakan menurutuku semakin membuatku larut dalam pikiran. Cukuplah hal-hal
yang tidak diungkapkan menjadi cermin diri untukku. Kisah dan pengalaman diatas hanya bagian
terkecil dari rentetan pengalaman buruk yang pernah aku alami menjadi anak
sekolah. Ada pengalaman terakhir yang
ingin aku ceritakan. Yaitu, saat aku melaksanakan Kuliah Kerja Nyata(KKN). Kebetulan pada saat itu program KKN kami
diarahkan untuk menjadi tutor dalam pemberantasan buta aksara (ABSANO).
Pemberantasa buta aksara itu sendiri sebenarnya program prioritas pemerintah
Profinsi di daerahku yang dikenal dengan gerakan 3 A (ABSANO, ADONO, AKINO).
Dan berdasarkan keterangan dari beberapa sumber yang kubaca, tutor yang
digunakan dalam pemberantasan buta aksara harus mendapatkan didikan khusus dari
pemerintah. Namun, entah kenapa mahasiswa dari kampus kami dijadikan tutor
untuk melaksanakan program pemerintah tersebut. Kamipun digaji oleh pihak
kampus sebesar seratus ribu rupiah perorang.
Terlepas dari sekelumit cerita tentang program
pemerintah diatas, aku ingin melanjutkan ceritaku tentang pengalaman saat KKN.
Ceritanya begini, program kami pemberantasan buta aksara. Warga belajar yang
menjadi sasaran kami adalah warga lansia. Ada yang lucu, memilukan sekaligus
memalukan kala itu. Dimana salah satu dari anggota kami kembali ke posko dengan
wajah gelisah. Iapun menghampiriku lalu menceritakan apa yang ia alami saat
menjalankan tugasnya sebagai tutor. Ketika dia hendak mengajarkan Warga Belajar
yang menjadi muridnya, Ia mendapatkan pelajaran berharga. Ternyata orang yang
yang menjadi warga belajarnya sangat lancar membaca Al-qur, an. Sebelum memulai
pembelajaran, Warga Belajar tersebut bertanya pada temanku,” kalau bisa baca Al-qur, an apakah tetap
dikatakan buta huruf “ ? Tanya Warga belajar. Mendengar pertanyaan itu, temanku kesulitan
menjawabnya. Sesaat kemudian warga belajar tersebut melanjutkan pertanyaannya. “mana yang lebih tinggi derajatnya huruf Al-Qur,
an dengan huruf ini ”? Lanjut warga sembari menunjukkan huruf abjad dalam
instrumen pemberlajaran temanku. Singkat cerita, karena tidak bisa menjawab
akhirnya temanku gagal menjalankan tugas karena dianggap belum pantas untuk jadi
guru oleh warga belajar tersebut. Aku mengambil kesimpulan dari kisah temanku
itu, bahwa sekolah meremehkan tuntutan
agama. Orang pandai membaca aksara Tuhan tetap dianggap buta huruf. Ini berarti
menganggap aksara abjad lebih tinggi dibandingkan aksara Tuhan. Wallahualam….
****Terinspirasi dari realitas hidup menjadi
anak sekolah
Kamar kost Selong, 23 Agustus 2014.
Dedicate
to :
·
Untuk Ayah tercinta, Arifin Ahmad, yang telah mendidiku
mengenal dunia dan menjadi lelaki sejati.
·
Bunda tersayang, Nurjannah, atas cinta dan kasih sayang yang
tulus dan tiada tara
·
Kakak tersayang, Asniati, yang mengajariku arti hidup
·
Adik-adiku tersayang, Nurhaidah, Ratna & Irma yang
menjadikan aku raja dalam hidup.
·
Nafisah & Nurhikma yang selalu ada dalam setiap helaan
nafas perjuanganku.