Minggu, 24 Agustus 2014

TERSESAT DIBANGKU SEKOLAH

(Sebuh Cerpen Tentang Sisi Lain Keburukan Sekolah) 
Oleh : Alif BABUJU

Ufuk timur nampak memerah ketika fajar mulai menyingsing. Beberapa saat kemudian sinarnya berpencar mengukir bias pada butir-butir embun yang menggelantung dihujung dedaunan. Aurahnya menyeruak menghangati jagad.  Bumi yang masih basah oleh dinginnya udara malam tadi, mengeluarkan uap asap saat sinar mentari menancap ranah alam. Kicauan burung dan ragam suara hewan peliharaan serta hiruk-pikuk penduduk bumi       menyempurnakan suasana pagi.
Sesaat sebelum  mentari berajak sepenggalah tinggi diangkasa, aku belum menyibak selimut yang membalut tubuhku. Usai bangun tidur diawal pagi tadi, udara dingin sekali. Itulah sebabnya aku masih menyelimuti diri sambil duduk disebuah bangku panjang berukuran dua setengah meter yang terletak diemperan depan rumahku, sembari menanti beberapa saat untuk mandi lalu bersiap-siap ke kampus.
Hampir setiap pagi sejak masuk Sekolah Dasar hingga duduk dibangku kuliah, aku menjadi penonton setia bagi kedua orangtuaku.  Kebiasaanku setiap pagi sebelum berangkat sekolah aku menyempatkan diri untuk duduk santai sejenak. Hal ini kebiasaanku sejak pertama  masuk sekolah  hingga kini. Disaat-saat seperti inilah aku menjadi penonton menyaksikan kedua orangtuaku yang sibuk mempersiapkan alat-alat pertanian lalu bergegas ke sawah. Seperti sedang menyaksikan tayangan dalam adegan film laga tentang perjungan hidup orang-orang pinggiran dan kaum melarat. Hatiku tersayat. Ingin rasanya aku membantu mereka. Namun, sebagai seorang pelajar, aku terikat dengan sekolah.
Dijenjang sekolahku yang sudah tinggi, pikiranku mulai beranjak untuk memikirkan arti dan realitas kehidupan. Hatiku mulai tergugah dan sadar. Memikirkan lebih dalam tentang aku yang kerap diperlakukan seperti raja di rumah dan  hanya bisa menonton jerih payah orangtuaku. Aku dijadikan tulang punggung dan harapan keluarga. Itulah sebabnya mereka melarangku bekerja. Kata orangtuaku, sudah kewajiban merekalah menyekolahkan dan menafkahi anak sedangkan kewajiban seorang anak untuk sekolah. Sikap orangtuaku tentunya membuat aku menjadi manja. Terkadang muncul rasa penyesalan karena bersekolah. Sebab sekolah telah menjadi alasan bagi orangtuaku melarang aku membantu mereka. Sekolah telah membatasi kewajibanku sebagai seorang anak untuk mengabdi dan membantu orangtuaku. Lebih dari itu, aku telah menjadi pendurhaka yang menindas orangtuaku lantaran sekolah. Betapa tidak, mereka rela membanting tulang untuk menyekolahkan aku. Sedangkan aku hanya menikmati kenyamanan dibangku sekolah. Mereka memeras peluh memanggang diri dibawah teriknya matahari untuk membiayai hidup dan sekolahku. Bersekolah terlalu ringan jika dibandingkan dengan perjuangan mereka. Dunia pendidikan sukses menjadikan aku penindas yang lebih kejam dari imperialisme. Jika dijaman kolonial  para penjajah memperkerjakan kaum pribumi untuk kepentingan mereka, kini sekolah telah menjadikan aku penjajah bagi orangtuaku sendiri. Aku memperkerja rodikan mereka untuk kepentinganku. Mereka bekerja dan berjuang untuk masa depan yang bukan miliknya. Sekolah membelenggu kebebasanku hingga membekukan hatiku tanpa rasa kasihan terhadap orangtuaku.
Kenapa baru sekarang aku sadari…? bukankah sejak dulu aku memperlakukan mereka seperti ini dan sekolahlah penyebabnya..? benakku mulai merangkai pertanyaan saat pengalaman dipagi itu menyita perhatianku. Kisah yang memang baruku sadari dipagi itu, mengajakku untuk menyelami lebih dalam tentang hal-hal yang direnggut oleh sekolah dalam hidupku. Akupun tertegun melamun seorang diri memikirkan kembali semua yang telah kulewati sebagai sisi lain dari keburukan menjadi anak sekolah. Yah, anak sekolah…! Sudah lebih dari tiga belas tahun aku menjadi anak sekolah. Mungkin karena aku telah menjadi anak sekolah inilah yang membuatku tidak lagi menjadi anak ayah dan ibuku. Aku merasa memang sudah tidak lagi menjadi anak bagi kedua orangtuaku. Sebab selama menjadi anak sekolah aku lebih banyak menghabiskan waktu mengabdi disekolah. Aku menghabiskan waktu untuk mengerjakan segala perintah guru dan taat terhadap peraturan sekolah. Aku rela menomor duakan pengabdianku dalam membantu kedua orangtuaku demi sekolah karena aku telah menjadi anak sekolah.
“Alif…., Alif….!!!”. Tiba-tiba terdengar suara orang memanggil namaku. Aku yang sedari tadi larut dalam pikiran tentang sekolah terkejut. Suara itu berkali – kali memanggil namaku. samar-samar sepertinya suara itu tidak asing lagi bagiku. Dugaanku benar. Itu suara Gatot teman kuliahku. Ternyata Ia memanggil untuk mengajakku ke kampus. Kebetulan disamping rumahku ada gang yang kerap dilewati Gatot menuju kekampus. Setiap kali berangkat kuliah, Gatot selalu menghampiriku dan mengajak untuk berangkat bersama. Sontak aku sadar bahwa aku hampir lupa dengan waktu kuliah lantaran larut dalam memikirkan sekolah. Akupun langsung menanggalkan selimut dari tubuhku lalu menggapai sabun kemudian menuju sumur untuk mandi. Sedang Gatot setia menungguku sampai aku selesai mandi untuk sama-sama kekampus.
            Dikampusku hari itu nampak ramai. Banyak wajah-wajah baru yang memadati sekitar sekretariat lembaga kampus dan mengantri diloket. Rupanya mereka adalah calon mahasiswa baru yang melakukan pendaftaran ulang setelah dinyatakan lulus tes seleksi dikampusku. Mereka diwajibkan daftar ulang oleh lembaga kampus. Hal ini sebenarnya sudah menjadi peraturan sejak masuk SMA dan akupun pernah mengalaminya. Namun entah kenapa, tiba-tiba aku reflex terhadap hal ini disaat sekarang pula. Mungkin karena terpengaruh oleh pikiranku yang sedari rumah sebelum berangkat kuliah tadi yang memikirkan tentang sisi buruk sekolah. Nalar kritis mulai lahir dalam pikiranku pada persoalan daftar ulang. Yach, daftar ulang. Aku sanksi terhadap hal itu. Kok daftar ulang sih ? emangnya mereka belum daftar awal masuk ? kenapa dibuat berliku jalan menuju kampus ? itupun pake biaya lagi…demikianlah nalarku mulai bertanya. Akupun mulai berfikir tentang uang yang dipungut untuk daftar ulang dari sekian ribu mahasiswa baru itu dan ini dilakukan setiap tahun. Uang itu untuk apa dan akan dikemanakan ? hmmmm…pantas saja para pembesar kampus ini kaya yach ? gumanku sendiri. Tentulah tidak salah jika aku menduga demikian, sebab tidak ada penjelasan yang transparan tentang penggunaan uang itu. Beda halnya dengan uang registrasi semester yang dijelaskan secara terperinci. Menyikapi hal ini, akupun sempat berfikir nakal. Secara tidak langsung pengurus lembaga kampusku telah mengajarkan kami tekhnik canggih untuk menjadi mafia berilmu. Hehehe…Disisi lain, biaya kuliah juga mahal. Ini tentunya menjadi alasan bagi orangtua kami untuk bekerja lebih giat lagi mencari uang kuliah. Sebuah tuntutan yang secara tidak langsung berpengaruh dan mengikat sebagai cambukan kepada orangtua untuk lebih giat bekerja. Lagi-lagi sekolah menjadi akibat dari semua ini. Akupun mulai berfikir pula bahwa pantas saja semakin tinggi jenjang sekolahku, semakin tinggi pula beban dan usaha orangtuaku mencari nafkah untuk membiayai aku.
            Berawal dari merenungi dan menyadari pengalamanku menjadi penonton bagi kedua orangtuaku pagi tadi, seketika merubah fikiranku hari ini. Aku menjadi kritis terhadap berbagai hal yang kualami. Semuanya mendapat sanksi dibenakku. Ada pengalaman yang juga turut menyita perhatianku dalam ruangan kampus saat perkuliahan tengah berjalan siang ini. Mata kuliahnya tentang Kritik Sastra. Maklum aku jurusan Pendidikan Seni dan Bahasa Indonesia. Bukan persoalan mata kuliahnya yang bermasalah. Tapi, persoalan peraturan dari dosen mata kuliah tersebut yang kujadikan persoalan. Kebijakannya sungguh membuatku menyadari tentang tidak pentingnya sekolah atau kuliah. Betapa tidak, dosenku mengharuskan setiap mahasiswa untuk membayar diklat tentang mata kuliah tersebut. Bagi yang tidak membayar katanya akan dikasih nilai C sedangkan yang membayar dijamin mendapat nilai A. bagiku sikap dosen tersebut membodohi mahasiswa. Kebijakannya akan berimbas pada pencangkokan kreatifitas dan belajar mahasiswa. Ini murni pembodohan dan akupun langsung angkat bicara untuk mengritisi kebijakan dosen tersebut. Namun, malang nian nasibku. Aku malah terancam mendapat nilai E dalam mata kuliah ini. Rupanya dosenku tidak merespon dengan bijak kritikanku tetapi, lebih menanggapinya dengan emosional. Hal ini nampak dari raut wajahnya yang  masam. Selain terancam mendapat nilai buruk, aku juga dicap telah melakukan dosa karena menantang seorang guru(dosen). Teman-temankupun membenciku dan menganggap aku kurang ajar. Menyikapi hal ini, aku menjadi gugup dan minder. Ada rasa penyesalan juga. Tapi, salahku apa ? aku ingin melancarkan kritikanku tanpa peduli dengan keadaan. Namun, dosenku segera keluar meninggalkan ruangan. Beberapa diantara teman-teman mahasiswa menghampirinya untuk bersalaman dan mrncium tangan pak dosen.Cium tangan di kampusku sudah menjadi sejenis budaya yang mencerminkan ketaatan seorang murid terhadap gurunya. Sedang aku hanya duduk termenung dibangku tempat dudukku.
Kritikanku tentang jual beli diklat yang dianggap membangkan oleh dosen dan teman-temanku dalam ruang kuliah tadi, tidak memberi pengaruh pikiranku untuk tetap sanksi terhadap hal-hal yang bagiku tidak masuk akal. Aku tetap bersih kukuh untuk menerjemahkan semua persoalan ini. Tetapi, ada sesuatu yang tiba-tiba mengusik perasaaku ditengah nalar kritisku semakin menjadi. Di kampusku yang namanya kritik terhadap kebijakan dosen dan lembaga dianggap membangkang. Aku jadi teringat dengan cerita temanku yang juga sempat melakukan kritikan. Ia akhirnya terancam di Drop Out(DO) oleh pihak kampus. Kata temanku, jika ada yang tidak senang dengan pelayanan dikampus ini, silahkan saja keluar dan hitung semua kerugianmu saat kuliah dikampus ini dan akan diganti semua. Demikian ungkap pihak lembaga kampus,  cerita temanku saat Ia diadili  ketika melakukan kritikan. Mengingat hal ini aku yang masih seumur jagung kuliah dikampusku tentunya takut. Sambil duduk menanti jam kuliah selanjutnya, aku menarik nafas dalam-dalam. Kutemukan lagi satu hal yang diakibatkan oleh sekolah, yakni kebebasanku terbelenggu. Mencoba menemukan kebenaran ternyata dianggap tabu dikampusku. Kewajiban mahasiswa adalah taat sepenuhnya pada dosen dan lembaga.
Terik matahari terasa menyengat memanggang bumi. Usai kuliah siang itu, sebelum pulang aku menyempatkan diri untuk minum kopi sambil ngombrol bareng teman-temanku dikantin kampus. Aroma White Coffe menyeruak menebar kenikmatan. Sedang asap rokok Class Mild pun setia melengkapi. Gelak tawa dan suara risih diskusi para mahasiswapun tak terelakkan. Ditengah keceriaan suasana kantin, sayup-sayup terdengar olehku dari sisi lain pojok ruang kantin suara beberapa orang mahasiswa yang tengah minum kopi sambil berdiskusi. Nampak dari raut wajah mereka kayaknya sedang membahas sesuatu yang serius. Akupun bergegas pindah tempat duduk tepat didekat mereka. Kebetulan ada meja kosong disana. Kucermati pembicaraan mereka sambil seruput kopi dan menghisap rokok. Rupanya mereka adalah mahasiswa senior dikampusku yang sedang membahas tentang pembuatan skripsi. Terdengar dari pembicaraan mereka bukan bagaimana caranya membuat skripsi sendiri. Tetapi, mereka tengah kompromi untuk mendatangi salah satu oknum dosen dikampusku yang menerima jasa pembuatan skripsi. Mendengar hal inipun sontak aku kaget. Tetapi, senior-senior tersebut nampak santai membahas masalah itu terang-terangan. Memang hari ini banyak hal yang mengganggu nalarku. Mendengar pembicaraan mereka, perasaan curiga timbul dalam diriku. Aku menjadi meragukan kebanyakan dari pembuatan skripsi telah dijadikan proyek oleh dosen. Ternyata bukan hanya diklat sebagaimana yang aku persoalkan dalam ruang kuliah tadi, namun kini skripsi juga menjadi sasaran yang tak luput dari jarahan komersialisasi para komporador pendidikan tersebut. Sekolah….sekolah…., gumanku dalam hati. Akankah waktuku akan tersita sia-sia lalu akhirnya buat skripsi saja tidak bisa seperti senior-seniorku ini ? apa gunanya sekolah menghabiskan biaya dan waktu jika akhirnya begini ? tanyaku dalam hati. lagi-lagi ini akibat sekolah, menyebabkan kita jadi anak durhaka. Orangtua jadi korban penipuan anaknya sendiri sebagai akibat jadi anak sekolah. Tidak hanya itu, yang lebih parah Tuhanpun dicumbui. Bukti menjadi anak durhaka dan  mencumbui Tuhan dapat dilihat dalam halaman motto dan persembahan skripsi. Selain itu bisa juga dilihat dalam sumpah Prasetya Sarjana. Orangtua kita dengan bangga membaca halaman moto dan persembahan skripsi kita. Selain itu, para orangtua dan segenap undangan terharu saat kita mengucapkan sumpah prastya sarjana pada saat acara wisuda berlangsung.
Kopiku  akan habis dan rokokku tinggal beberapa batang. Akupun menyeruput sisa kopiku lalu bergegas membayarnya pada kasir kantin kemudian pulang. Pengalamanku hari ini banyak sekali,  aku mulai jenuh memikirkannya. Mungkin karena mataku mulai perih akibat ngantuk yang mendera ingin tidur siang.
Selama aku duduk dibangku sekolah banyak hal yang ingin aku ceritakan tentang sisi lain keburukan sekolah. Namun semakin aku ceritakan menurutuku semakin membuatku larut dalam pikiran. Cukuplah hal-hal yang tidak diungkapkan menjadi cermin diri untukku.  Kisah dan pengalaman diatas hanya bagian terkecil dari rentetan pengalaman buruk yang pernah aku alami menjadi anak sekolah.  Ada pengalaman terakhir yang ingin aku ceritakan. Yaitu, saat aku melaksanakan Kuliah Kerja Nyata(KKN).  Kebetulan pada saat itu program KKN kami diarahkan untuk menjadi tutor dalam pemberantasan buta aksara (ABSANO). Pemberantasa buta aksara itu sendiri sebenarnya program prioritas pemerintah Profinsi di daerahku yang dikenal dengan gerakan 3 A (ABSANO, ADONO, AKINO). Dan berdasarkan keterangan dari beberapa sumber yang kubaca, tutor yang digunakan dalam pemberantasan buta aksara harus mendapatkan didikan khusus dari pemerintah. Namun, entah kenapa mahasiswa dari kampus kami dijadikan tutor untuk melaksanakan program pemerintah tersebut. Kamipun digaji oleh pihak kampus sebesar seratus ribu rupiah perorang.
Terlepas dari sekelumit cerita tentang program pemerintah diatas, aku ingin melanjutkan ceritaku tentang pengalaman saat KKN. Ceritanya begini, program kami pemberantasan buta aksara. Warga belajar yang menjadi sasaran kami adalah warga lansia. Ada yang lucu, memilukan sekaligus memalukan kala itu. Dimana salah satu dari anggota kami kembali ke posko dengan wajah gelisah. Iapun menghampiriku lalu menceritakan apa yang ia alami saat menjalankan tugasnya sebagai tutor. Ketika dia hendak mengajarkan Warga Belajar yang menjadi muridnya, Ia mendapatkan pelajaran berharga. Ternyata orang yang yang menjadi warga belajarnya sangat lancar membaca Al-qur, an. Sebelum memulai pembelajaran, Warga Belajar tersebut bertanya pada temanku,” kalau bisa baca Al-qur, an apakah tetap dikatakan buta huruf “ ? Tanya Warga belajar.  Mendengar pertanyaan itu, temanku kesulitan menjawabnya. Sesaat kemudian warga belajar tersebut melanjutkan pertanyaannya. “mana yang lebih tinggi derajatnya huruf Al-Qur, an dengan huruf ini ”? Lanjut warga sembari menunjukkan huruf abjad dalam instrumen pemberlajaran temanku. Singkat cerita, karena tidak bisa menjawab akhirnya temanku gagal menjalankan tugas karena dianggap belum pantas untuk jadi guru oleh warga belajar tersebut. Aku mengambil kesimpulan dari kisah temanku itu, bahwa sekolah  meremehkan tuntutan agama. Orang pandai membaca aksara Tuhan tetap dianggap buta huruf. Ini berarti menganggap aksara abjad lebih tinggi dibandingkan aksara Tuhan. Wallahualam….

****Terinspirasi dari realitas hidup menjadi anak sekolah
Kamar kost Selong, 23 Agustus 2014.
Dedicate to :
·      Untuk Ayah tercinta, Arifin Ahmad, yang telah mendidiku mengenal dunia dan menjadi lelaki sejati.
·         Bunda tersayang, Nurjannah, atas cinta dan kasih sayang yang tulus dan tiada tara
·         Kakak tersayang, Asniati, yang mengajariku arti hidup
·         Adik-adiku tersayang, Nurhaidah, Ratna & Irma yang menjadikan aku raja dalam hidup.
·         Nafisah & Nurhikma yang selalu ada dalam setiap helaan nafas perjuanganku.

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Kritik & Saran konstruktif Pembaca sangat Kami harapkan