Senin, 28 Juli 2014

MOMENT PIALA DUNIA DAN BULAN SUCI RAMHADAN DALAM KONTESTASI POLITIK INDONESIA 2014


Menyusun Opini ini Penulis ingin mengutip  tesisnya  Niccolo Machiavelli dalam bukunya The Prince yang dikutip dari buku Political Theory (Pemikiran Machiavelli-Rawls) volume II.  Dalam   The Prince Machiavelli menulis : “Tiada yang dapat menyebutnya keluhuran dengan membunuh sesama warga, mengkhianati teman, menjadi tidak setia, tanpa jiwa pengampun, tanpa agama ; dengan cara-cara ini kekuasaan mungkin didapatkan, namun tidak dengan kemuliaan”.(Losco, Williams , 61: 2005 ). Tesis tersebut mungkin terlalu berlebihan jika dikaitkan dengan tulisan ini. Namun penulis tertarik dengan kata terakhir dari tesis tersebut ; dengan cara-cara ini kekuasaan mungkin didapatkan, namun tidak dengan kemuliaan”. Sedikit tidak mungkin bisa dikaitkan.

Pada tanggal 9 Juli 2014 mendatang, bangsa Indonesia akan kembali merayakan pesta demokrasi  pemilihan umum presiden dan wakil presiden Republik Indonesia. Sejak Komisi Pemilihan Umum(KPU) menetapkan Pasangan H. Prabowo Subianto – H. Muhammad Hatta Rajasa dan Ir Joko Widodo-Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla melalui surat keputusan nomor 453/KPTS/KPU Tahun 2014, tentang Penetapan Calon Presiden dan Penetapan Calon Wakil Presiden, hingga kini berbagai manufer politik  pasangan calon tersebut telah mewarnai labirin demokrasi di tanah air.
           
Seiring dengan pelaksanaan Pemilihan Umum tahun 2014 ini,  ada dua moment penting yang tidak bisa dipungkiri turut serta mewarnai fenomena global. Dimana kedua momen tersebut adalah Semarak piala dunia yang tengah kita saksikan saat ini serta bulan suci ramhadhan yang sebentar lagi kita hadapi. Menurut Penulis, kedua moment tersebut bisa saja terseret dalam kontestasi perpolitikan di Indonesia.
           
Usai pembukaan piala dunia 2014 yang diawali dengan pertandingan perdana antara Brazil versus Croatia pada  13 Juni  dini hari kemarin yang ditandai dengan kemenangan Tim tuan rumah(Brazil) dengan skor 3 : 1, beberapa media di tanah air gencar memberitakan tentang keikutsertaan para calon presiden dan wakil presiden mendukung piala dunia 2014 yang mengutarakan tim jagoan mereka dalam acara sepak bola sejagat tersebut. Sebut saja misalnya pasangan Calon nomor urut 1, Prabowo - Hatta yang dengan kompak menjadikan Brazil sebagai tim jagoannya  dan  bahkan Cawapres Hatta Rajasa siap menjadi komentator jika diinginkan tentang laga perseteruan perdana piala dunia tersebut. Selain itu H. Muhammad Jusuf Kalla juga tidak mau ketinggalan dalam memeriahkan piala dunia. Dengan Jagoan  yang sama(Brazil) seperti pasngan nomor urut 1, Calon wakil presiden dari nomor urut 2 tersebut  menyakini Brazil sebagai tim tuan rumah merupakan modal untuk mencapai trofi di Piala dunia musim ini. Penulis belum tahu Tim jagoan Ir. Joko Widodo.

Sebenarnya tidak ada yang salah dari euphoria “gila bola”  tersebut. Hal itu merupakan hak dan kegemaran tiap individu. Namun, ketika dikaitkan dengan sosok “Public Figure” yang tengah berseteru menuju senayan dan digembor-gemborkan di media sosial, ini tentunya akan menimbulkan kesan “Politisasi Piala Dunia” .  Diperkuat dengan janji politik salah satu pasangan Capres nomor urut 1(Prabowo) yang jauh sebelum ini berjaniji akan memajukan sepak bola Indonesia di mata dunia jika terpilh jadi presiden kelak. Disisi lain Moment  Piala Dunia bisa saja dimanfaatkan  oleh Tim sukses masing-masing calon untuk meraih dukungan sebanyak mungkin. Sebab, ketika pasangan calon yang mereka perjuangkan telah mengungkapkan ke publik tim mana yang menjadi jagoannya dalam ajang piala dunia, secara tidak langsung ini merupakan titah yang mesti dilaksanakan oleh para Tim Pemenangnya. Modusnya bisa jadi melalui nonton bareng, mengeluarkan biaya untuk mendukung hobi khalayak serta alasan kesamaan Tim Jagoan dalam piala dunia. Penulis khawatir fenomena  politisasi dunia olah raga ini juga turut terseret dalam kebiasaan destruktif kebanyakan orang yang menjadikan semarak piala dunia sebagai “Ajang Perjudian” . Sehingga tidak menutup kemungkinan, pengalihan perhatian terhadap kondisi bangsa yang akan diprioritaskan dengan serius pada Pemilihan Umum dalam menghasilkan pemimpin yang ideal untuk Indonesia terjadi. Karena realitasnya, semarak piala dunia lebih menyita perhatian masyarakat ketimbang penyelenggaraan Pemilihan Umum 2014.

Dalam analisa yang lebih luas, Penulis hendak mengajak pembaca untuk memperhatikan beberapa wacana yang dibangun  saat konsolidasi koalisi menuju Pencalonan Capres dan Cawapres beberapa waktu yang lalu.  Masih ingatkah siapa tokoh dari salah satu partai koalisi  merah putih yang dijuluki King Maker oleh pasangan nomor urut 1 pada saat konsolidasi pra pencalonan presiden beberapa hari yang lalu…? Perhatikan gegap gempita para penggila bola dari pelosok negeri pada saat pembukaan piala dunia yang berlangsung di Brazil dini hari kemarin. Bukankah dunia serba berkostum kuning dengan motif fans berat tim nasional Brazil sebagai tuan rumah piala dunia..? Untuk menjawab pertanyaan tersebut penulis tidak perlu melakukannya. Silahkan simpulkan sendiri. Intinya adalah moment Piala dunia yang dipolitisasi memiliki plesetan politik yang luar biasa.


            Selanjutnya yang tidak kalah penting untuk disimak bersama adalah moment bulan suci ramadhan yang tinggal beberapa hari lagi. Awal bulan suci ramadhan diperkirakan  pada tanggal 29 Juni 2014.  Interval  waktu dengan pelaksanaan pemilu 2014 sekitar 10 hari. Di moment yang berbeda ini ada kekhawatiran yang mendalam pula akan terjadi modus operandi yang sama untuk  “mempolitisasi bulan puasa”. Mengingat dalam kontestasi politik Indonesia tidak terlepas dari koalisi dari partai yang berlatar belakang Islam. Dua kubu Capres dan Cawapres kali inipun tidak terlepas dari koalisi partai-partai Islam. Seperti marak diwacanakan di sosial media tentang koalisi gemuk versus ramping, setidaknya pasangan nomor urut 1 Koalisi Merah Putih diusung oleh partai GERINDRA, PAN, PPP, GOLKAR dan PBB. Sedangkan nomor urut 2 diusung oleh partai koalisi PDIP,NASDEM,PKB dan HANURA. Nampak jelas kiranya Partai-partai Islam yang turut mewarnai arena Pemilu raya. Jadi, tidak berlebihan jika Indikasi “Politisasi Agama” akan terjadi pula. Modusnya menurut penulis bisa saja melalui ajang buka bersama, moment-moment ceramah ketika hendak melakukan sholat taraweh dan berbagai acara ritual keagama lainnya. 

Wallahualam Bissahwab…!!!

 ***Coretan  galau ditengan kesibukan menyusun skripsi***

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Kritik & Saran konstruktif Pembaca sangat Kami harapkan