Senin, 28 Juli 2014

KREATIFITAS UNIK, MENDOBRAK KERANCUAN BERFIKIR MASYARAKAT DANA MBOJO(BIMA) ?

Oleh : Alif Babuju 05

Beberapa hari terakhir ini kediaman Penulis di Lombok Timur ramai didatangi teman-teman Bima seangkatan kuliah yang telah menyandang gelar Sarjana Muda atau Sarjana Pendidikan(S.Pd). Mereka merupakan Wisudawan dan Wisudawati angkatan ke-26  dari 1.618 mahasiswa yang diwisudakan oleh Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan(STKIP) Hamzanwadi Selong pada tanggal 25 Januari 2014 lalu.  Kedatangan mereka bukan untuk bertamu atau berkunjung khusus ke kediaman penulis, tapi hanya sekedar numpang nginap untuk beberapa hari dalam keperluan pengambilan dan legalisir Izasah Sarjana di Perguruan Tinggi terkait. Karena usai wisuda beberapa bulan yang lalu mereka langsung pulang ke Bima, sehingga harus datang lagi untuk menuntaskan hal tersebut. Bagi penulis yang memang kesepian akibat ditinggal wisuda oleh teman-teman seangkatan tentunya merasa senang. Selain merasa senang karena bisa bersua kembali dengan teman-teman sesama suku Mbojo(Bima), Penulis juga berharap bisa mendapat suntikan baru dalam hal pengalaman dan Ilmu pengetahuan dari teman-teman Sarjana Muda. Riak canda dan tawa yang dibingkai dengan berbagai cerita tentang kampung halamanpun tak bisa dielakkan. Lama kelamaan pertemuan itu mulai terarah pada keluhan tentang keadaan para sarjana muda dikampung halaman, hingga akhirnya pembicaraan  mulai dibawah keranah kontemplasi yang serius.

Moment yang indah dan penuh bahagia itu cukup memberikan manfaat dan akhirnya mendorong penulis untuk menyusun tulisan ini dari hasil diskusi yang dibangun. Topik diskusipun tidak terlalu berlebihan. Hanya pada persoalan “Antrian Pengangguran dan Beralihnya Profesi”, kebanyakan dari rekan-rekan Sarjana Muda di Dana Mbojo(Bima). Dalam diskusi itu, banyak keluhan dari teman-teman tentang mereka yang harus mengeluarkan biaya untuk menjadi tenaga pengajar sukarela, ada yang kembali menjadi petani dan profesi-profesi lainnya, ada yang tidak punya pekerjaan sama sekali(pengagguran) dan adapula yang lagi sibuk mencari peluang untuk  membayar profesi Pegawai Negeri Sipil(PNS). Namun, dari semua keluhan yang ada, dikerucutkan pada pembahasan tentang pekerjaan apa yang mesti dilakukan oleh mereka yang belum memiliki pekerjaan. Kebetulan teman-teman yang datang tersebut banyak yang masih menjadi pengangguran(Sarjana Pengangguran).

 Apa yang harus dilakukan ?

            Bagi Penulis yang masih Mahasiswa  tentunya merasa sulit untuk menjawab problematika para Sarjana Muda tersebut. Selain tidak bisa menjawab, hal ini juga membuat penulis merasa “khawatir” mengalami hal yang sama ketika menjadi Sarjana Muda kelak. Meski demikian, tidak mempengaruhi jalannya diskusi. Berbekal pemahaman seadanya Penulis berupaya semaksimal mungkin untuk turut menyumbangkan ide-ide dalam disukusi itu.

            Diskusi yang cukup alot itu mengingatkan penulis terhadap beberapa tulisan Kordinator Komunitas Babuju(Julhaidin, SE) atau yang akrab dengan akun facebooknya “Rangga Babuju”, seperti : "La Mone, Sarjana Muda Didepan ‘Gerbong’ Bencana,  Bima Didepan Gerbong ‘Kebangkrutan’.....!! dan  Dilema Hidup di Negeri yang Kaya Sarjana Miskin Karya”, Serta masih banyak lagi tulisan-tulisan lainnya yang sangat Inspiratif dan menggugah dari beliau. Tulisan-tulisan tersebutpun turut mewarnai landasan pembicaraan diantara kami. Meski demikian, tak jua menemukan “Benang Merah” dari diskusi yang dibangun. Namun ada hal yang menarik dari diskusi itu akibat terlalu banyaknya keluhan dari tema-teman penulis. Diantara mereka ada yang bercita-cita ingin menjadi bisnismen, ada yang mau membuka warung kecil-kecilan, ada yang mau memelihara ayam pedaging, ada yang mau menjadi petani. Sehingga diskusi mulai menjalar ka fenomena sosial Dana Mbojo(Bima).

            Cita-cita itu mengundang gelak tawa dari beberapa teman-teman sesama Sarjana Muda diantara mereka. Lahirlah saling mengejek bahwa pekerjaan-pekerjaan seperti itu dianggap kreatifitas “murahan”  bagi ukuran seorang Sarjana Muda .  Bahasa-bahasa bernada gengsi  pun mulai dimunculkan. Penulis yang memang masih menjadi mahasiswapun kadang dianggap tidak layak untuk memberikan masukan.

            Sebagai seorang Mahasiwa yang masih sibuk bergelut dengan teori dan buku serta belum dihadapkan pada tantangan realitas kehidupan yang praktis selayaknya mereka, Penulis memberanikan diri untuk mendobrak pola pikir teman-teman dengan membawa diskusi ke ranah yang  sedikit mampu mendiamkan suasana. Diawali dengan mendeskripsikan kondisi sosial Dana Mbojo(Bima) yang dipolesi dengan beberapa teori standar berdasarkan pemahaman penulis.

            Masyarakat Bima(Dana Mbojo) cenderung terjebak dalam Fallacy of Composition”, yakni, salah satu dari tujuh kesalaahan berfikir yang dikemukakan  Jalaluddin Rakhmat, dalam bukunya ; “Rekayasa Sosial(Revolusi atau Reformasi)”,  yang diterbitkan oleh Remaja Rosda Karya, 1999. Bandung. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa, Fallacy of Composition adalah dugaan bahwa terapi yang berhasil untuk satu orang pasti juga berhasil untuk semua orang. Sebagai contoh, di suatu kampung ada yang memelihara ayam petelur. Ayam petelur di kampung itu berhasil mendatangkan uang banyak bagi pemiliknya. Melihat itu, dengan serta-merta penduduk kampung menjual sawahnya untuk dijadikan modal bisnis ayam petelur. Akibatnya, semua penduduk kampung itu bangkrut lantaran merosotnya permintaan dan membanjirnya pasokan barang.

            Menyikapi  “Kreatifitas murahan” seperti yang dibahasakan oleh teman-teman sebagaimana telah dibahas diatas, tentunya akan dihadapkan pada Fallacy Of Composition.  Apalagi karakter orang Bima(Mbojo) yang “Sana kai Susa Dou, Susa kai Sana Dou”  atau dalam bahasasanya A'A Gym, “Senang Melihat Orang Susah Susah Melihat Orang Senang”(SMS). Namun sayangnya orang Bima tidak konsisten terhadap kerancuan berfikir, hingga seharusnya bersikap demikian juga terhadap orang-orang diluar Bima yang masuk jual Bakso atau membuka warung-warung kecil yang menghasilkan pendapatan  besar di Bima. Hal ini hanya cenderung terjadi antara sesama masyarakat Bima saja(Dou Mbojo). Jika tidak percaya, silahkan mencoba melakukan kreativitas-kreativitas tersebut diatas.

            Terlepas dari fenomena dimaksud, seorang terpelajar(Sarjana Muda) tidak semestinya turut terseret dalam hal itu. Seorang Sarjana harus hadir  dengan karakter yang berbeda dari kebanyakan masyarakat Bima. Selama bergelut di Perguruan Tinggi sebelum menjadi seorang Sarjana tentunya Ia adalah aktor yang menempa diri untuk memiliki skill. Inilah yang akan menjadi modal utama saat Ia dihadapkan dengan realitas sosial yang praktis. Untuk bisa membangun kreativitas yang tidak murahan, dibutuhkan suatu kreativitas yang “unik” sebagai pendobrak fenomena tersebut. Kreativitas unik yang Penulis maksud adalah kreativitas yang dibangun berdasarkan kedisiplinan Ilmu Pengetahuan yang Ia miliki atau Skill yang Ia miliki sebagai hasil selama Ia berproses ketika masih menjadi seorang Mahasiswa.

Seperti apakah kreatifitas unik itu ?

            Untuk menerjemahkan seperti apa kreativitas  unik  adalah suatu hal yang mungkin mengalami kesulitan. Namun penulis mencoba menyederhanakannya seperti ini ; “Suatu kreativitas akan nampak unik(lain daripada yang lain) ketika dibangun berdasarkan Ilmu penegetahuan atau skill yang kita miliki”. Ketika kreativitas unik ini mampu kita terapkan dalam kehidupan sosial, penulis berkeyakinan akan mampu mendobrak kerancuan berfikir(Fallacy of Composition) sebagaimana dijelaskan diatas. Tentu saja tidak akan bisa dikelabui. Sebab kreativitas unik hanya bisa dilahirkan oleh kaum terpelajar(Kaum menengah). Kreativitas unik ini kalau kita canggihkan lagi dalam bahasa ilmiah sepadan dengan “Kreatifitas Intelektual”.

            Para pakar berbeda pendapat dalam mendefinisikan kata kreativitas. Meski demikian, arah dan tujuannya sama. Para pakar Bangsa Indonesia di antaranya mengemukakan batasan tentang kreatifitas, antara lain ,Cony Semiawan (1987) memberi batasan kreativitas sebagai; “kemampuan untuk menghasilkan atau menciptakan suatu produk baru”. Sedangkan Selo Sumarjan (1983) mengemukakan bahwa ; “kreativitas adalah kemampuan yang efektif dalam menciptakan sesuatu yang baru, yang berbeda dalam bentuk, susunan, gaya, tanpa atau dengan mengubah fungsi pokok dari sesuatu yang dibuat itu”. Daldjoeni (1977) memberi pengertian tentang kreativitas ; “tidak hanya kemampuan untuk bersikap kritis pada diri sendiri, tetapi juga kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dalam hal ini hubungan antara dirinya dengan lingkungan, baik dalam hal materiil, sosial maupun psikis”.
Berdasarkan beberapa pendapat para pakar tentang definisi kreativitas tersebut, dapat disimpulkan bahwa kreativitas adalah kemampuan  untuk menciptakan atau menghasilkan sesuatu yang baru dan asli, yang sebelumnya belum dikenal ataupun memecahkan masalah baru yang dihadapi.

Namun pertanyaannya adalah ; Sudah sejauhmana kita mempersiapkan diri untuk bisa menciptakan kreatifitas yang unik ?

            Malam semakin larut. Suasana yang tadinya nampak ceria, kini berubah menjadi tidak bergairah. Teman-teman Sarjana Muda terlihat lemas sambil menarik nafas dalam-dalam. Gelas kopi yang senantiasa menjadi penyemangat kontemplasipun kini menyisakan ampas. Demikian juga dengan bungkus rokok yang dibeli dari hasil uang kiriman orangtua terpaksa harus melayang ke tong sampah. Mata tak kuasa menahan perih akibat ngantuk yang mulai mengusik. Diskusipun berakhir dengan keluhan tanpa ada kesimpulan yang pasti.

***Kamar Kos, 18 Mei 2014___

_____ Selamat Menikmati nasib yang sengaja kita bentuk seperti ini_____
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Kritik & Saran konstruktif Pembaca sangat Kami harapkan