
Moment yang indah
dan penuh bahagia itu cukup memberikan manfaat dan akhirnya mendorong
penulis untuk menyusun tulisan ini dari hasil diskusi yang dibangun.
Topik diskusipun tidak terlalu berlebihan. Hanya pada persoalan “Antrian Pengangguran dan Beralihnya Profesi”,
kebanyakan dari rekan-rekan Sarjana Muda di Dana Mbojo(Bima). Dalam
diskusi itu, banyak keluhan dari teman-teman tentang mereka yang harus
mengeluarkan biaya untuk menjadi tenaga pengajar sukarela, ada yang
kembali menjadi petani dan profesi-profesi lainnya, ada yang tidak punya
pekerjaan sama sekali(pengagguran) dan adapula yang lagi sibuk mencari
peluang untuk membayar profesi Pegawai Negeri Sipil(PNS). Namun, dari
semua keluhan yang ada, dikerucutkan pada pembahasan tentang pekerjaan
apa yang mesti dilakukan oleh mereka yang belum memiliki pekerjaan.
Kebetulan teman-teman yang datang tersebut banyak yang masih menjadi
pengangguran(Sarjana Pengangguran).
Apa yang harus dilakukan ?
Bagi Penulis yang masih Mahasiswa tentunya merasa sulit untuk menjawab
problematika para Sarjana Muda tersebut. Selain tidak bisa menjawab,
hal ini juga membuat penulis merasa “khawatir”
mengalami hal yang sama ketika menjadi Sarjana Muda kelak. Meski
demikian, tidak mempengaruhi jalannya diskusi. Berbekal pemahaman
seadanya Penulis berupaya semaksimal mungkin untuk turut menyumbangkan
ide-ide dalam disukusi itu.
Diskusi yang cukup
alot itu mengingatkan penulis terhadap beberapa tulisan Kordinator
Komunitas Babuju(Julhaidin, SE) atau yang akrab dengan akun facebooknya “Rangga Babuju”, seperti : "La Mone, Sarjana Muda Didepan ‘Gerbong’ Bencana, Bima Didepan Gerbong ‘Kebangkrutan’.....!! dan Dilema Hidup di Negeri yang Kaya Sarjana Miskin Karya”, Serta
masih banyak lagi tulisan-tulisan lainnya yang sangat Inspiratif dan
menggugah dari beliau. Tulisan-tulisan tersebutpun turut mewarnai
landasan pembicaraan diantara kami. Meski demikian, tak jua menemukan “Benang Merah”
dari diskusi yang dibangun. Namun ada hal yang menarik dari diskusi itu
akibat terlalu banyaknya keluhan dari tema-teman penulis. Diantara
mereka ada yang bercita-cita ingin menjadi bisnismen, ada yang mau
membuka warung kecil-kecilan, ada yang mau memelihara ayam pedaging, ada
yang mau menjadi petani. Sehingga diskusi mulai menjalar ka fenomena
sosial Dana Mbojo(Bima).
Cita-cita itu
mengundang gelak tawa dari beberapa teman-teman sesama Sarjana Muda
diantara mereka. Lahirlah saling mengejek bahwa pekerjaan-pekerjaan
seperti itu dianggap kreatifitas “murahan” bagi ukuran seorang Sarjana Muda . Bahasa-bahasa bernada gengsi pun mulai dimunculkan. Penulis yang memang masih menjadi mahasiswapun kadang dianggap tidak layak untuk memberikan masukan.
Sebagai seorang Mahasiwa yang masih sibuk bergelut dengan teori dan
buku serta belum dihadapkan pada tantangan realitas kehidupan yang
praktis selayaknya mereka, Penulis memberanikan diri untuk mendobrak
pola pikir teman-teman dengan membawa diskusi ke ranah yang sedikit
mampu mendiamkan suasana. Diawali dengan mendeskripsikan kondisi sosial
Dana Mbojo(Bima) yang dipolesi dengan beberapa teori standar berdasarkan
pemahaman penulis.
Masyarakat Bima(Dana Mbojo) cenderung terjebak dalam “Fallacy of Composition”, yakni, salah satu dari tujuh kesalaahan berfikir yang dikemukakan Jalaluddin Rakhmat, dalam bukunya ; “Rekayasa Sosial(Revolusi atau Reformasi)”,
yang diterbitkan oleh Remaja Rosda Karya, 1999. Bandung. Dalam buku
tersebut dijelaskan bahwa, Fallacy of Composition adalah dugaan bahwa
terapi yang berhasil untuk satu orang pasti juga berhasil untuk semua
orang. Sebagai contoh, di suatu kampung ada yang memelihara ayam
petelur. Ayam petelur di kampung itu berhasil mendatangkan uang banyak
bagi pemiliknya. Melihat itu, dengan serta-merta penduduk kampung
menjual sawahnya untuk dijadikan modal bisnis ayam petelur. Akibatnya,
semua penduduk kampung itu bangkrut lantaran merosotnya permintaan dan
membanjirnya pasokan barang.
Menyikapi “Kreatifitas murahan” seperti yang dibahasakan oleh teman-teman sebagaimana telah dibahas diatas, tentunya akan dihadapkan pada Fallacy Of Composition. Apalagi karakter orang Bima(Mbojo) yang “Sana kai Susa Dou, Susa kai Sana Dou” atau dalam bahasasanya A'A Gym, “Senang Melihat Orang Susah Susah Melihat Orang Senang”(SMS).
Namun sayangnya orang Bima tidak konsisten terhadap kerancuan berfikir,
hingga seharusnya bersikap demikian juga terhadap orang-orang diluar
Bima yang masuk jual Bakso atau membuka warung-warung kecil yang
menghasilkan pendapatan besar di Bima. Hal ini hanya cenderung terjadi
antara sesama masyarakat Bima saja(Dou Mbojo). Jika tidak percaya,
silahkan mencoba melakukan kreativitas-kreativitas tersebut diatas.
Terlepas dari fenomena dimaksud, seorang terpelajar(Sarjana Muda) tidak
semestinya turut terseret dalam hal itu. Seorang Sarjana harus hadir
dengan karakter yang berbeda dari kebanyakan masyarakat Bima. Selama
bergelut di Perguruan Tinggi sebelum menjadi seorang Sarjana tentunya Ia
adalah aktor yang menempa diri untuk memiliki skill. Inilah
yang akan menjadi modal utama saat Ia dihadapkan dengan realitas sosial
yang praktis. Untuk bisa membangun kreativitas yang tidak murahan,
dibutuhkan suatu kreativitas yang “unik” sebagai
pendobrak fenomena tersebut. Kreativitas unik yang Penulis maksud
adalah kreativitas yang dibangun berdasarkan kedisiplinan Ilmu
Pengetahuan yang Ia miliki atau Skill yang Ia miliki sebagai hasil selama Ia berproses ketika masih menjadi seorang Mahasiswa.
Seperti apakah kreatifitas unik itu ?
Untuk menerjemahkan seperti apa kreativitas unik adalah suatu hal
yang mungkin mengalami kesulitan. Namun penulis mencoba
menyederhanakannya seperti ini ; “Suatu kreativitas akan nampak
unik(lain daripada yang lain) ketika dibangun berdasarkan Ilmu
penegetahuan atau skill yang kita miliki”. Ketika kreativitas unik
ini mampu kita terapkan dalam kehidupan sosial, penulis berkeyakinan
akan mampu mendobrak kerancuan berfikir(Fallacy of Composition)
sebagaimana dijelaskan diatas. Tentu saja tidak akan bisa dikelabui.
Sebab kreativitas unik hanya bisa dilahirkan oleh kaum terpelajar(Kaum
menengah). Kreativitas unik ini kalau kita canggihkan lagi dalam bahasa
ilmiah sepadan dengan “Kreatifitas Intelektual”.
Para pakar berbeda pendapat dalam mendefinisikan kata kreativitas.
Meski demikian, arah dan tujuannya sama. Para pakar Bangsa Indonesia di
antaranya mengemukakan batasan tentang kreatifitas, antara lain ,Cony
Semiawan (1987) memberi batasan kreativitas sebagai; “kemampuan untuk menghasilkan atau menciptakan suatu produk baru”. Sedangkan Selo Sumarjan (1983) mengemukakan bahwa ; “kreativitas
adalah kemampuan yang efektif dalam menciptakan sesuatu yang baru, yang
berbeda dalam bentuk, susunan, gaya, tanpa atau dengan mengubah fungsi
pokok dari sesuatu yang dibuat itu”. Daldjoeni (1977) memberi pengertian tentang kreativitas ; “tidak
hanya kemampuan untuk bersikap kritis pada diri sendiri, tetapi juga
kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dalam hal ini hubungan
antara dirinya dengan lingkungan, baik dalam hal materiil, sosial maupun
psikis”.
Berdasarkan beberapa pendapat para pakar tentang
definisi kreativitas tersebut, dapat disimpulkan bahwa kreativitas
adalah kemampuan untuk menciptakan atau menghasilkan sesuatu yang baru
dan asli, yang sebelumnya belum dikenal ataupun memecahkan masalah baru
yang dihadapi.
Namun pertanyaannya adalah ; Sudah sejauhmana kita mempersiapkan diri untuk bisa menciptakan kreatifitas yang unik ?
Malam semakin larut. Suasana yang tadinya nampak ceria, kini berubah
menjadi tidak bergairah. Teman-teman Sarjana Muda terlihat lemas sambil
menarik nafas dalam-dalam. Gelas kopi yang senantiasa menjadi
penyemangat kontemplasipun kini menyisakan ampas. Demikian juga dengan
bungkus rokok yang dibeli dari hasil uang kiriman orangtua terpaksa
harus melayang ke tong sampah. Mata tak kuasa menahan perih akibat
ngantuk yang mulai mengusik. Diskusipun berakhir dengan keluhan tanpa
ada kesimpulan yang pasti.
***Kamar Kos, 18 Mei 2014___
_____ Selamat Menikmati nasib yang sengaja kita bentuk seperti ini_____