Oleh : Rangga Babuju
Dalam dua hari ini entah sudah berapa status yang mencak-mencak,
mencaci maki dan memprovokasi keadaan terkait kenaikan BBM yang
dilakukan oleh Presiden yang baru terpilih beberapa waktu yang lalu,
Jokowi – JK. Namun tidak sedikit pula yang pro atas kenaikan BBM
tersebut, terlepas apakah mereka yang pro itu adalah Jokowers atau followers. Namun yang pastinya, ribuan postingan dari ratusan account
Facebook selama seharian ini (sejak dini hari tadi), mengutuk kenaikan
BBM kali ini dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500 untuk jenis premium.
Beberapa tulisan dimedia online juga sempat saya ikuti, tidak ada yang berlebihan sesungguhnya. Fenomena dan euphoria
penolakan menaikan BBM kali ini sama dengan ungkapan dan bahasa-bahasa
penolakan tahun lalu. Saya teringat ketika Presiden SBY saat itu
memainkan politik populis dengan mempengaruhi sidang Paripurna kenaikan
harga BBM pada bulan Maret 2012. DPR saat itu akhirnya memutuskan untuk
tidak menaikan harga BBM dengan beberapa Opsi hingga bulan September
2012. Ironinya, harga Kebutuhan Pokok yang terlanjur naik saat itu tidak
langsung turun pada saat itu juga dan malah ada yang naik dan tidak
turun-turun hingga hari ini. atas fenomena tersebut, tidak ada yang
ribut meski beberapa harga barang sudah terlanjur naik dan enggan turun
kembali meski BBM tidak jadi dinaikan.
Melihat gejolak
akhir-akhir ini, berdasarkan pengamatan di media sosial, Kontroversi
kenaikan BBM yang dilakukan pada senin, 17 November 2014 lebih pada
gejolak dendam politik dan gejolak sakit hati dengan mengedepankan icon
‘salah pilih’, ‘siapa suruh pilih’, ‘salam 2 ribu’ dan lainnya. Hal ini
menjadi tidak murni sebagai penolakan dalam kesadaran sosial.
Kencenderungan mem-Bully secara person menjadi semakin menonjol dalam setiap kontra yang ada. Kesannya adalah yang Kontra lebih kelihatan menjadi Followers saja atau pengikut tanpa mendasarkan hitungan, Followers
diajak memahami konteks efek kerugian secara rasional bukan secara
logis. Alasannya adalah menaikan Harga BBM saat minyak mentah dunia
sedang turun.
Saya bukan sedang mendukung kenaikan BBM
kali ini, tetapi saya mencoba melihat sisi positif ditengah opini
negative yang terbangun. Saya pun bukan pendukung Prabowo yang mencoba
memanas-manasi situasi, tetapi kita lupa bahwa kita sedang menghabiskan
energy untuk sesuatu yang sesungguhnya kita sendiri tidak paham dengan
scenario kenaikan BBM kali ini. Namun yang pasti, saya menyerahkan
sepenuhnya kepada 60 porsen akademisi yang diangkat sebagai Menteri pada
‘Kabinet Kerja’ kali ini. mereka lebih paham dalam hal analisis
akademik dan sosial.
Saya melihat ada kesan bahwa kita Menolak kenaikan BBM akibat maindset
kita yang selalu ingin yang murah meriah, kalau bisa gratis. Memang
kata ‘gratis’ itu menjadi impian bagi semua orang. Namun kita tidak
sadar, dengan rendahnya harga dan murahnya produk yang kita inginkan,
kita cenderung menjadi penganut paham Hedonisme dan Pemalas. Hedonisme
ini dilahirkan oleh paham individualisme.
Dalam kajian
sejarahnya, Hedonisme ini muncul sekutar 433 SM, diawali oleh sokrates
yang menanyakan tentang apa yang sebenarnya menjadi tujuan akhir
manusia. Lalu Aristippos dari Kyrene (433-355 SM) menjawabnya dengan
pemikiran bahwa yang menjadi hal terbaik bagi manusia adalah kesenangan.
Dalam era globalisasi dan modernisasi saat ini, pandangan hidup
hedonisme telah menjadi trend bagi sebagian besar kalangan.
Mereka memiliki pemahaman yang mementingkan kesukaan dan kemewahan dalam
kehidupan, tanpa menghiraukan larangan agama dan tatasusila. Kesenangan, kesukaan dan kemewahan di era globalisasi dan modernisasi ini dilambangkan dengan uang.
Akibat
Hedonis ini kita kemudian menjadi masyarakat konsumerisme yang
‘berkembangbiak’ menjadi Masyarakat Sosialita. Dalam beberapa kamus dan
artikel tentang masyarakat Sosialita ini diartikan bahwa masyarakat yang
memiliki kecenderungan atau cita-cita hidup dengan bergelimangan harta,
glamour, hobi belanja, hobi jalan-jalan dan selalu ingin hidup tenang dan senang tanpa bekerja keras.
Sosialita tak ubahnya seperti syndrome yang muncul ditengah masyarakat kita. Hal ini didukung oleh latah budaya atau hidden goal yang ingin dicapai oleh sekelompok orang atau secara individu yang ingin mengklaim dirinya sebagai elite society. Untuk membedah kerangka berpikir atau mendekatkan maindset kita pada konsep sosialita ini, kita perlu membedah konsep one dimensional society-nya Herbert Marcuse serta konsep masyarakat konsumsi – nya Jean P. Baudrillard. One Dimensional Society
atau “Masyarakat dengan kesadaran satu dimensi” merupakan istilah yang
digunakan Marcuse guna mempresentasikan “Masyarakat yang lumpuh daya
kritisnya”.
Menurut Jean P. Baudrillard, pola konsumsi
masyarakat modern ditandai dengan bergesernya orientasi konsumsi yang
semua ditujukan bagi “kebutuhan Hidup” menjadi “Gaya Hidup”.
Dan itulah kita, coba kita bayangkan bahwa kita hari ini menolak
kenaikan BBM, tetapi justru hampir tiap bulan kita mengunjungi Mall atau
kita belanja di Hypermarket, mengganti HP hampir tiap bulan,
beli pulsa hampir tiap minggu meski ditipu oleh Provider karena
program-program yang mereka tawarkan dan menghisap pulsa yang kita
miliki. Hampir tiap hari kita membeli Rokok untuk sekedar Trendy, dan
ironinya, hampir Tiap hari kita makan diluar rumah meski mahal hanya
karena ingin menunjukan status sosial kita dihadapan orang banyak. Kita
menolak atas nama rakyat kecil yang tercekik, padahal kita tidak sadar
bahwa rakyat kecil ikut bahagia dengan naiknya BBM, karena mereka bisa
menjual sesuatu dengan menaikan harga barang dagangan mereka yang tidak
seberapa (menurut kita) dari harga semula. Petani bisa menjual hasil
taninya dengan menaikan sedikit harga jualnya untuk mendapatkan
keuntungan yang lebih baik dengan alasan naiknya BBM.
Demikian
juga nelayan, bisa menaikan sedikit harga jual dari hasil tangkapannya
dengan asumsi naiknya BBM. Demikian pula tukang ojek, tukang becak,
sopir bus dan lainnya. Mereka tersenyum, setidaknya, sebelum BBM naik,
mereka hanya bisa bawa pulang hasil keringat mereka dengan kisaran Rp
30.000 – 60.000, tetapi dengan naiknya BBM, mereka bisa bawa pulang
kisaran Rp 60.000 – 100.000. mereka-mereka yang disebutkan diatas itu
adalah orang-orang yang selama ini kita anggap remeh dan malah tidak
kita anggap bukan…?? Lantas, siapa yang dirugikan sebenarnya…? Bukankah
Kita yang sok Metropolis, kita yang sok Kaya (atau pura-pura kaya), kita
yang bercita-cita hidup mewah tapi tidak sadar sedang berada dikolong
jembatan. Yang dirugikan akibat naiknya BBM ini adalah Kaum Hedonis dan
Glamour yang setengah isi setengah kosong….!!!
Bila
alasannya adalah pasal 33 UUD 1945 ayat (3) “Bahwa bumi air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat”. Maka, sangat salah
penempatannya ketika kita posisikan dalam hal kenaikan BBM ini. Sebab
Bumi, Air dan Kekayaan alam didalamnya tidak hanya Premium, tetapi
termasuk Emas, Perak, Tembaga, Pasir besi, ikan, permata, mutiara, air
(mineral) dan lainnya. Premium yang konon dekat dengan kepentingan
rakyat, yang lebih cenderung diteriakkan oleh kita yang sudah terlanjur
merasa nyaman dengan Harga yang ada adalah sebagian kecil dari banyak
hal yang tak kita sadari. Ini khan posisi status Quo yang terlalu egosentrise.
Yang merasa dirugikan akibat kenaikan ini semua adalah Mahasiswa yang sudah terlanjur nyaman dengan Status Quo
yang didapat. Disamping itu, yang dirugikan adalah pemilik
perusahaan-perusahaan yang akibat naiknya BBM mendapatkan keuntungan
yang sedikit, lalu mencoba menggerakkan massa untuk menolak agar
keuntungan mereka tidak jeblok. Yang dirugikan lainnya, adalah
para Pelayan Rakyat (Birokrasi) secara individu yang tidak mendapatkan
kenaikan Gaji dan tunjangan lainnya sehingga untuk disisipkan dalam
peningkatan status sosial tidak tercapai. Sehingga secara wajar para
oknum diantara mereka memprovokasi untuk melakukan gerakan menolak
kenaikan BBM, sebab, besok lusa oknum-oknum ini tidak bisa lagi bergaya
ditengah ketatnya pemeriksaan BPK dan BPKP atas kinerja dan keuangan
mereka di kantor.
Dan yang senyum secara nyata adalah para
pedagang kecil yang bisa sedikit menaikan harga, para pemuda kreatif
yang mampu menciptakan peluang usaha, para mereka yang memiliki Inovasi
membangun prospek dirinya menjadi lebih memiliki bargaining.
Para mereka yang terpelajar yang melihat kenaikan BBM ini sebagai
peluang untuk membuka lapangan kerja yang inovatif serta para masyarakat
yang sadar bahwa kenaikan BBM ini akan menjadi landasan untuk meraih
kesejahteraan yang lebih baik dari potensi-potensi yang mereka miliki
seperti para tukang batu, tukang kayu, tukang kebun dan masyarakat kecil
bakulan yang terbiasa menjual barang dagangan dari rumah ke rumah.
Merekalah ‘Kesejahteraan’ itu.
Negara diuntungkan dengan
menaikan BBM kali karena bisa membayar cicilan Utang luar negeri yang
mencekik ‘gerakan membangun bangsa’. Negara diuntungkan dengan menaikan
BBM kali ini karena bisa menghemat APBN untuk keperluan public
seperti infrastruktur penghubung dari wilayah yang satu dengan wilayah
yang lain. Dan yang paling beruntung adalah para Intelektual muda yang
mampu melihat semua ini sebagai Peluang untuk menata masa depan yang
lebih baik.
Suka tidak suka, mau didemo atau tidak didemo,
BBM akan tetap naik dari waktu ke waktu karena Minyak mentah semakin
menipis. Sebab Sumber Daya Alam yang satu ini adalah SDA yang tidak
dapat diperbaharui. Dan saya pun yakin, bahwa scenario menaikan BBM ini
sudah dipikirkan secara matang dengan target dan tujuan yang jelas
pula…..!!
Selamat Berjuang para Manusia Indoensia ditengah
keterbatasan akibat naiknya BBM, sebab hampir semua orang sukses
membangun dirinya akibat berbagai keterbatasan yang dimiliki. Dan
Selamat Tinggal “Kemalasan” sebab, akibat malas inilah yang membuat kita
mempertahankan ‘Status Quo’ karena terlanjur mengecap enak dan
nikmatnya hal-hal yang murah meriah. Sebab dengan murah meriah yang
telah ada secara instan, kita sebagai masyarakat yang memiliki budaya
Konsumerisme tinggi, akan memacu diri untuk bekerja lebih baik, belajar
lebih banyak dan menyadari hidup lebih jauh...!!! Jika tidak, mari kita sama-sama ucapkan Selamat Datang Kesengsaraan setelah kesenangan….
(Kota Mataram, Ditengah Mendung setengah hujan,18 November 2014)